Sudah hampir setahun menjelang pemilihan presiden di Indonesia, namun tidak ada satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) yang sudah memastikan diri untuk berkompetisi menjadi RI-1 dan RI-2 selanjutnya.Â
Meski terlihat para partai politik sudah membentuk komunikasi maupun berkoalisi dengan sesama partai lain untuk memenuhi ambatang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) 20% kursi DPR.
Dari KIB, KIR, dan Koalisi Perubahan yang sudah terlihat mulai terbentuk Koalisi Perubahan selalu menjadi pemberitaan hangat selama beberapa bulan terakhir. Dari pencapresan Anies Baswedan yang dikenal sosok oposisi oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang merupakan partai pertama yang secara terbuka mendukung Presiden Joko Widodo pada tahun 2014 ketika Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat.
Tidak hanya sampai disitu isu mengenai sosok cawapres yang akan mendampingi Anies Baswedan pun juga mengalami deadlock karena setiap partai sama-sama menyodorkan nama-nama yang berasal dari partainya sendiri, Partai Demokrat mengusung ketua umum mereka Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), lalu ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang ingin mantan Gubernur Jawa Barat yang merupakan kader dari PKS. Sedangkan NasDem meski pada awal deklarasinya menyerahkan sosok cawapres kepada Anies tetapi sosok seperti Mantan Panglima TNI Andika Perkasa dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.Â
Kedua sosok tersebut dianggap oleh NasDem dan banyak pihak sebagai usaha untuk meraih suara di Jawa Timur dan Indonesia bagian Timur yang dianggap Anies sangat sulit mendapat suara didaerah-daerah tersebut yang mayoritas beragama Nasrani atau non-Islam yang Anies selalu diterpa isu politik identitas imbas kampanye Pilgub DKI Jakarta tahun 2017.
Anies-Khofifah
Namun selain merendam isu politik identitas pada Anies akan unik jika Anies dipasangkan oleh Khofifah yang dikenal dekat dengan Nahdlatul Ulama (NU), Kedua orang ini selain pernah dan sedang menjabat sebagai Gubernur di daerahnya masing-masing tetapi juga pernah menjabat posisi menjadi Menteri pada periode pertama Presiden Jokowi.Â
Khofifah pada pemerintahan Jokowi pernah menjabat posisi Menteri Sosial namun mengundurkan diri karena ikut Pilgub Jawa Timur tahun 2019, berbeda dengan Anies Baswedan yang diberhentikan pada tahun 2016 dari Menteri Pendidikan dan digantikan oleh tokoh Muhammadiyah Muhadjir Effendy. Alasan pencopotan Anies tersebut digadang-gadang karena dianggap kurang memberikan gebrakan dalam kinerjanya.
Melihat keduanya pernah menjadi Menteri di pemerintahan dan periode yang bersamaan yaitu periode pertama Jokowi pasangan Anies-Khofifah jika benar-benar bisa terjadi akan mirip dengan Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang dimana SBY dan JK merupakan menteri pada saat itu.
Jusuf Kalla pada pemerintahan Megawati menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejateraan Rakyat Indonesia yang mengundurkan dari setelah mencalonkan diri sebagai wakil presiden bersama dengan SBY. Sedangkan SBY Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam).
Dejavu
Pasangan Anies-Khofifah akan menjadi seakan dejavu bagi perpolitikan Indonesia. Bukan karena isu politik identitas yang baru menjadi isu hangat pada beberapa tahun terakhir ini tetapi akan mengulang hubungan antara presiden sebelumnya. SBY dan Megawati karena pencalonan SBY yang dianggap tidak diberitahukan kepada Megawati membuat hubungan keduanya tidak baik bahkan kedua partai mereka (PDIP dan Demokrat) sepajang jalannya Pilpres tidak pernah berkoalisi ataupun berada di posisi yang sama di pemerintahan. Ketika Pemerintahan SBY PDIP lebih memutuskan menjadi partai oposisi pemerintah sedangkan Demokrat tentu saja partai pemerintah.
Kemudian ketika pemerintahan Jokowi, PDIP menjadi kubu pemerintah sedangkan Demokrat yang awalnya bingung menjadi kubu pemerintah atau oposisi pada periode pertama Jokowi, namun lebih jelas pada periode ke-2 menjadi oposisi pemerintah.
Sedangkan hubungan antara Megawati dan Jusuf Kalla tidak buruk seperti SBY. Bahkan pada Pilpres 2014 saat PDIP mengusung Jokowi pertama kali, para koalisi pengusung Jokowi memilik JK sebagai pendamping Jokowi. Hal memperlihatkan hubungan JK dan Megawati masih baik karena berbeda dengan SBY, JK masih menghubungi Megawati sebelum akan mencalonkan diri sebagai cawapres.
Kemudian pada relasi hubungan Khofifah dengan Presiden Jokowi tidak terlihat di media pemberitaan yang signifikan dan juga pada masa Khofifah masih menduduki jabatan Mensos juga tidak terlihat permusuhan diantara ia dengan Presiden terliebih lagi ia mengundurkan diri dari jabatannya berbeda dengan Anies yang mengalami reshuffle kabinet pada tahun 2016.
Hubungan yang kurang baik juga terlihat dengan Jokowi dan Anies, meski keduanya sama-sama mengatakan pada media memiliki hubungan yang baik, tetapi kita melihat juga ajang saling sindir yang terjadi belakangan ini seperti Jokowi yang memuji Plt Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang menggarap proyek sodetan kali ciliwung yang mangkrak selama 6 tahun. lalu ada Anies Baswedan di sosial medianya berofoto sambil membaca buku di kereta Argo Parahyangan yang mengharapkan kereta tersebut akan selalu ada dimasa yang akan datang.Â
Padahal sudah muncul wacana penghapusan KA Argo Parahyangan karena akan dioperasikan kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Anies Baswedan pun sempat meminta maaf akan foto tersebut tetapi bukan pernyataan melainkan cara ia memegang buku yang ia bilang membuat emosi banyak pihak.
Tentu saja ajang saling sindir kedua tokoh tersebut memperlihatkan pada publik hubungan yang kurang baik antara keduanya. Melihat kebenaran kedua kebijakan tersebut, sodetan ciliwung sendiri yang tertunda pada masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena permasalahan pembebasan lahan. Padahal kenyataannya proyek ini sudah dikerjakan sejak tahun 2021 hal ini terlihat dengan sering dibuka tutupnya jalan Raya Otista III yang merupakan lokasi pengerjaan sodetan itu (pengalaman penulis pribadi). Â Permasalahan mengenai pembebasan lahan sudah ditemukan titik temu dan sudah dilakukan penggusuran sejak 2021.
Kemudian mengenai KA Argo Parahyangan yang masih merupakan wacana tersebut imbas adanya kereta cepat. Jika merujuk pada target pasar KCJB dan KA Argo Parahyangan memiliki golongan masyarakat yang berbeda, jadi bila tetap menutup KA Argo Parahyangan tidak serta merta para penumpang akan beralih ke travel atau transportasi lain seperti bus karena harga tiket KCJB lebih mahal ketimbang KA biasa dan stasiun KCJB tidak berada dipusat kota berbeda dengan Argo Parahyangan yang berada dipusat kota sehingga penutupan KA ini tidak akan terlalu memengaruhi penjualan tiket KCJB.
Melihat penjelasan diatas jika koalisi perubahan nantinya akan mengusung Anies-Khofifah akan seperti dejavu bagi perpolitikan Indonesia karena pasangan ini mirip seperti SBY-JK melihat relasi hubungannya dengan Presiden sebelum mereka dan sama-sama pernah menjadi anak buah (Menteri) di Presiden sebelumnya.Â
Meski memang melihat perkembangan pemberitaan sekarang ini pasangan ini masih sangat sulit terjadi karena dinamika yang terjadi pada sesama partai pengusung Anies Baswedan yang masih kukuh dengan calon andalan mereka demi kepentingan masing-masing partai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H