Pada tanggal 14 Desember 2022 di Gedung KPU RI telah ditetapkan 17 partai politik (parpol) yang telah resmi menjadi peserta Pemilu pada tahun 2024 mendatang. 17 parpol tersebut terdiri dari 9 Partai Parlemen, 6 partai non-parlemen, dan 2 partai baru. Jumlah ini tidak jauh berbeda pada pemilu 2019 yang dimana terdapat 16 partai politik yang bersaing untuk mendapatkan kursi di tingkat pusat dan daerah.
Mayoritas para partai memiliki latar belakang ideologi yang tidak jauh dari nasionalis dan religius hanya Partai Buruh yang lebih memfokuskan pada golongan masyarakat yaitu kelompok buruh, tani, dan pekerja infomal.
Tetapi banyak partai-partai ini sering melupakan salahsatu “kelompok” yang menurut penulis sendiri berbeda dari ideologi nasionalis, religius maupun kelas pekerja dan memiliki jumlah yang sangat besar dan sebenarnya bisa menetukan hasil pemilihan legislatif (Pileg) setiap 5 tahun sekali yaitu kelompok yang penulis namakan kelompok Apatis, merupakan orang-orang yang merasa tidak peduli atau merasa tidak ada perubahan yang terjadi pada kehidupan mereka jika menggunakan hak pilih mereka pada setiap pemilu maupun itu Pemiihan Presiden (Pilpres), Pileg, ataupun Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada).
Namun pada tulisan kali ini hanya lebih menitikberatkan pada Pemilihan Legislatif yang menurut penulis sendiri memiliki urgensi yang paling penting ketimbang dua pemilihan lain. Alasan penulis menganggap demikian bisa kita lihat dari peraturan-peraturan yang dibuat oleh anggota DPR RI Periode 2019-2024 yang banyak menimbulkan kegaduhan ditengah masyarakat.
Dimulai dari UU cipta kerja, UU IKN, UU Minerba dan yang terbaru RKUHP, kesemua UU tersebut dianggap sebagian orang hanya untuk menguntungkan elit-elit atau para pengusaha tertentu tidak dengan masyarakat secara luas.
Tidak hanya sampai disitu DPR periode ini juga melakukan pencopotan pada Hakim MK Aswanto yang dianggap ole DPR kerapkali menolak rancangan UU yang dibuat DPR, banyak para pakar seperti mantan Ketua MK Jimly Asshidieq yang mengatakan apa yang dilakukan DPR dengan mencopot hakim MK melanggar konstitusi dan UU karena DPR tidak memiliki wewenang melakukan hal itu.
Pengaruh presiden sendiri seperi pada masa Presiden Jokowi yang bukan merupakan ketua umum suatu partai tentu sulit untuk melakukan intervensi di DPR meskipun koalisi pengusung Jokowi menguasai suara mayoritas di DPR namun bukan berarti semua partai ini akan menuruti semua kemauan Presiden. Mengingat kedudukan Presiden dan DPR dalam sistem pemerintahan Indonesia sejajar yang sebagain orang masih beranggapan bahwa Presiden memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada anggota DPR.
Melihat hal itu tentu saja kita sebagai masyarakat Indonesia yang memiliki hak pilih khawatir dengan para pejabat yang memiliki wewenang membuat UU ataupun mencopot/mengangkat orang-orang di posisi strategis di pemerintahan.
Dengan memutuskan untuk tidak menggunakan hak suara dengan berbagai alasan terutama yang menganggap semua partai sama saja harus segera diubah oleh masyarakat karena jika hanya terfokus pada sosok presiden dengan mengharapkan Presiden bisa mencegah langkah-langkah DPR yang dianggap kontroversial oleh rakyat bisa dilakukan dengan mudah.
Maka dari itu perlunya masyarakat untuk menaruh perhatian yang lebih serius untuk menentukan partai politik yang dipilih pada PIleg 2024 mendatang. Jika merujuk pada pemilu 2019 kita bisa melihat angka golput antara Pilpres dan Pileg yang dilaksanakan bersamaan menghasilkan angka golput yang sedikit berbeda.
Kondisi Pemilihan Presiden 2019
Merujuk data pada BPS yang dihimpun dalam “Statistik Politik 2019: 1955-2019”, terlihat bahwa dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) terdapat 34 juta lebih orang atau sekitar 18,03% dari jumlah DPT tidak menggunakan hak pilih mereka dalam Pilpres lalu dan ada hampir 4 juta orang yang suaranya dianggap tidak sah yang jika melihat dari pemberitaan yang ada tidak sedikit juga masyarakat yang ada ke TPS untuk sekadar merusak surat suara mereka dengan tujuan sebagai aksi penolakan atau mencegah surat suara mereka digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dan jika kita coba kumpulkan berarti dari 192,7 Juta penduduk Indonesia yang memiliki hak pilih hanya 80% yang menggunakan suara mereka secara sah, yang jika kita melihat dari peroleha kedua pasangan calon capres-cawapres pada saat itu tidak ada yang berhasil mengantongi lebih dari 50% DPT yang sudah ditetapkan oleh KPU.
Kondisi Pemilihan Legislatif 2019
Kondisi yang mirip juga terjadi pada pileg 2019 yang dilakukan bersamaan dengan pilpres dimana angka golongan putih (golput) mencapai 18,31% dari jumlah DPT. Namun pileg mendapatkan jumlah surat suara yang tidak sah 4 kali lebih besar daripada pilpres dimana ada 17,5 Juta orang surat suaranya tidak sah.
Angka suara tidak sah yang jauh lebih tinggi daripada pilpres kemungkinan besar terjadi karena banyak masyarakat Indonesia yang hanya menginginkan memilik Presiden dan Wakil Presiden mendatang dan tidak mempercayai partai politik manapun meski beberapa diantaranya mengusung kandidat presiden yang mereka idolakan, yang berarti surat suara sah pada pileg 2019 ini hanya sekitar 72% dari jumlah pemilih.
Dan jika kita buat perolehan suara seluruh partai politik dan memasukkan angka golput dan suara tidak sah yang berdasarkan data dari BPS akan menghasilkan tabel berikut;
Dari tabel tersebut telihat jumlah golput yang sebesar 35 Juta orang lebih besar dibandingkan jumlah yang didapatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mendapat sekitar 27 Juta suara. Angka suara tidak sah pun yang sebesar 17,5 Juta yang bila kita persentasi berdasarkan DPT sekitar 9,03% hanya selisih 90.000 suara dengan suara partai Gerindra yang berada diposisi kedua perolehan suara Pileg yang mengusung Prabowo dan Sandiaga sebagai capres dan cawapresnya.
Dan dan andaikan kita berasumsi suara tidak sah berasal dari orang-orang yang memang ingin golput pada Pileg lalu maka kita akan mendapatkan persentase sekitar 27,39% dari DPT. Maka seandainya Parliamentary Threshold berpatokan dari sini maka hanya ada 8 partai saja yang lolos parlemen dengan Partai Pesatuan Pembangunan (PPP) tidak akan lolos parlemen.
Memilih Partai Politik pada Pileg 2024
melihat uraian diatas maka bisa disimpulkan bahwa masyarakat yang masih tidak peduli dengan partai politiik manapun di Indonesia memiliki kekuatan yang besar jika mereka mau bersatu untuk memutuskan pilihan mereka pada partai lain yang sangat bisa mengubah komposisi anggota DPR secara masif.
Semisal masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa semua partai politik sama saja, saran dari penulis melihat dari partai politik yang berada diparlemen yang itu-itu saja, mungkin alangkah lebih baiknya untuk memilih partai-partai yang selama ini tidak pernah masuk parlemen dan secara terang-terangan memang banyak menolak kebijakan dari DPR sekarang ini.
Namun tentu saja tidak menjadi jaminan bahwa partai tersebut akan membawa aspirasi rakyat tapi paling tidak bisa menjadi semacam “sinyal” bahaya bagi para anggota DPR dan partai politik yang mapan bahwa jika mereka mencoba “memain-mainkan” peraturan yang mereka rancang ataupun menggunakan kewenangan mereka secara berlebihan masyarakat juga bisa “memain-mainkan” suara mereka di pemilihan selanjutnya yang jika melihat dari biaya kampanye yang jauh lebih besar daripada tunjangan dan gaji mereka tentu saja para calon anggota legislatif (caleg) akan berpikir ulang ingin melakukan tindakan sewenang-wenang dalam merumuskan sebuah peraturan dan kebijakan untuk masyarakat luas.
Sumber:
BPS. (2019). Statistik Politik 2019.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48130161
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H