Mohon tunggu...
Harrist Riansyah
Harrist Riansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lulusan Jurusan Ilmu Sejarah yang memiliki minat terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelayaran, Perdagangan, dan Syahbandar dalam Kesultanan di Nusantara

17 Oktober 2022   15:30 Diperbarui: 17 Oktober 2022   15:33 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pelayaran. sumber: Digital Collections Universiteit Leiden.

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa interaksi dalam motif ekonomi membuat antar daerah dapat mengenal dan berkembang satu sama lain, begitu pula dengan Nusantara. Perdagangan dengan menggunakan kapal layar/ Jung yang melalui Selat Malaka untuk melanjutkan perjalanan menuju Cina oleh para pedagang muslim Arab membuat ajaran agama Islam dikenal dan berkembang dengan besar di beberapa wilayah Nusantara, seperti wilayah Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau kecil yang dilalui para pedagang didekat Selat Malaka.

Sebenarnya pada awalnya para pedagang Arab dan Cina sudah sering melakukan perdagangan melalui jalur darat yang dinamai dengan Jalur Sutra ( The Silk Road) yang sudah berlangsung selama berabad-abad. Namun  jalur ini lambat laun mulai ditinggalkan sebagai dampak dari rawannya dirampok dari para suku-suku Asia Tengah yang nomaden. Hal itu membuat keuntungan yang dihasilkan menjadi tidak sepadan dengan resiko keamanan yang mungkin terjadi.

Pada akhirnya para pedagang mulai berpindah menggunakan jalur laut. Selain rawannya keamanan jalur darat, perkembangan teknologi perkapalan yang mampu membuat kapal yang besar dan mampu memuat banyak barang juga mendorong para pedagang berpindah melewati jalur laut untuk berdagang.                   

Dengan semakin maraknya perdangan melalui jalur laut membuat jalur ini dikenal sebagai jalur sutra laut. Jalur laut ini membentang dari Samudra Hindia (bagian Timur Afrika, Laut Merah, Teluk Persia, Teluk Bengala, pantai barat Sumatera dan Selat Malaka)  menuju timur melewati laut Cina Selatan, Laut Cina Timur, Laut Jepang dan Semenanjung Korea. Namun kelemahan dari jalur laut ini adalah pelayarannya sangat tergantung dengan angin musim yang mempunyai periode waktu pada bulan-bulan tertentu untuk bertiup. Dengan adanya jeda waktu ini membuat memunculkan pelabuhan -pelabuhan transito sebagai tempat singgah sementara kapal-kapal dari Cina, Arab, maupun India untuk menunggu waktu yang tempat untuk melanjutkan perjalanannya.

Pelayaran laut yang sangat dipengaruhi oleh angin musim membuat para pelayar membutuhkan pengalaman dan keahlian untuk bisa mengaungi lautan dengan waktu yang lebih singkat karena memang pada abad-abad pelayaran laut pada waktu itu memiliki waktu tempuh yang berbeda dengan asal dan tujuan tempat yang sama seperti yang terjadi pada Fa Hsien (414) yang memerlukan waktu 50 hari dari Malaka ke Kanton, sedangkan Tome Pires (1517) memerlukan 45 hari dengan trayek yang sama. Sedangkan Chia Tan (8 M) membutuhan 18,5 hari dari kanton ke "Selat", lalu ada Ch'ang Chun (7 M) yang berlayar 20 hari dari Kanton ke bagian selatan Semenanjung, atau I-Tsing (671) yang berlayar dari kanton ke Sriwijaya dengan waktu tempuh kurang dari 20 hari.

Dengan adanya pelayaran melalui Selat Malaka dan juga munculnya pelabuhan-pelabuhan transito yang diikuti juga dengan adanya kota-kota pesisir pantai sumatera memunculkan perdagangan dan juga interaksi antara para pribumi dengan para pendatang yang beberapa dari mereka juga merupakan pedagang. Yang tentu saja juga membuat berkembangnya daerah-daerah yang berada dipesisir dan juga memunculkan kerajaan/ kesultanan di Nusantara khususnya di pulau Sumatera. Kesultanan seperti Pasai, Aceh, Kampar, Siak, dll. 

Menurut Tome Pires dalam  "Suma Oriental", kerajaan dan Kesultanan yang ada di Nusantara banyak melakukan pertukaran barang atau melakukan transaksi perdagangan dengan para pedagang yang berasal dari Arab, Cina, India, ataupun dari Bangsa Eropa. Biasanya mereka memiliki para Syahbandar/ Shahbandar, yaitu semacam kepala/penguasa pelabuhan yang memiliki tugas sebagai perantara (penghubung) antara pedangang lokal dengan pedangang yang berasal dari negara lain. Istilah Syahbandar sendiri merupakan kata yang berasal dari Persia, shah yang artinya raja dan bandar adalah pelabuhan. Syahbandar sendiri biasanya bukan orang yang berasal dari orang asli kerajaan/ kesultanan tersebut, justru berasal dari daerah-daerah luar yang biasanya banyak pelayar dan pedangangnya singgah ke negeri itu. 

Alasan pengangkatan Syahbandar asing itu guna untuk mempermudah transaksi antara pedagang asing dengan lokal dan juga untuk mendorong para pedagang asing untuk ke Kerajaan tersebut tanpa khawatir dengan adanya masalah bahasa komunikasi yang digunakan. Contohnya Syahbandar yang ada di Malaka yang dicatat Tome Pires sebagai berikut:

Di Malaka terdapat 4 xabamdare (Syahbandar) yang berarti pejabat kotamadya. Mereka adalah para pejabat yang menyambut kapten-kapten Jung yang merapat di wilayah masing-masing. Mereka melapor pada bemdara (bendahara), membagi jatah gudang kepada para kapten, membuat laporan mengenai komoditas yang dibawa, apabila kapten-kapten tersebut dilengkapi dengan surat-surat maka mereka akan menyediakan penginapan. Mereka juga memberikan perintah terkait gajah-gajah. Para pejabat ini terdiri atas xabamdar Gujarat, yakni yang terpenting; xabamdar untuk wilayah Bunuaqujlim (Narsinga), Bengal, Pegu, Pasai; xabamdar untuk Jawa, Maluku, Banda, Palembang, Tanjungpura (Tanjompura) dan Lucoes; serta xabamdar untuk wilayah Cina, Lequeos, Chancheo, dan Champa. Tiap orang yang datang ke Malaka akan melapor ke xabamdar berdasarkan asal negeri masing-masing, termasuk ketika mereka datang dengan membawa barang dagangan ataupun pesan.

Bukan hanya adanya Syahbandar dengan adanya pelayaran dan perdagangan di Kerajaan/Kesultanan di Nusantara juga mendorongnya penggunaan barang-barang dari luar seperi kain-kain dari Persia, Bengal dan beberapa daerah di Timur Tengah dan juga Keramik dan rempah-rempah yang berasal dari cina yang digunakan oleh masyarakat di Kerajaan/ Kesultanan begitu pula sebaliknya banyak barang-barang yang berasal dari Nusantara yang di ekspor ke negeri lain seperti kapur barus, rempah-rempah, emas, timah, kayu gaharu dan lada, yang merupakan banyak yang dicari oleh banyak bangsa barat setelah pada tahun 1453 Konstatinopel direbut oleh kesultanan Turki Utsmani yang membuat perdagangan rempah yang berasal dari asia afrika tidak bisa ke Eropa karena Turki Utsmani menutup akses perdagangan dengan bangsa barat yang membuat harga rempah-rempah menjadi naik di Eropa. 

Perdagangan ini pun juga menurut Leonard Y. Andaya dalam bukunya Selat Malaka Sejarah Perdagangan dan Etnisitas. Ia mengungkapkan bahwa dengan adanya perdagangan di Selat Malaka juga mendorong terbentuknya Etnisitas di antara orang Melayu yang membuat suku bangsa baru dengan beberapa hal yang berbeda dengan komunitas lain. Dalam bukunya Leonard Y. Andaya membagi etnisitas yang ada di bangsa Melayu terpecah menjadi munculnya etnik Aceh, Minangkabau, Batak, Orang laut, Orang asli/suku terasing. Dalam bukunya ia menulis bahwa munculnya etnik-etnik ini sebagai akibat dari adanya interaksi dengan bangsa lain yang terjadi karena motif ekonomi.

Dengan begitu munculnya jaringan pelayaran dan perdagangan dapat berperan bagi bertumbuhnya kerajaan/kesultanan bercorak islam di Nusantara tentu saja membawa dampak yang besar dengan terjadinya pertukaran barang dan kemudian diikuti dengan pertukaran budaya dan juga memengaruhi sistem ekonomi dan pemerintahan di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Seperti munculnya syahbandar yang bukan berasal dari orang asli daerah tersebut justru berasal dari daerah-daerah lain yang sering berdagang dengan kerajaan tersebut.

 Sumber:

  • Andaya, L. Y. (2019). Selat Malaka, Sejarah Perdagangan dan Etnisitas. Depok: Komunitas Bambu.
  • Cortesao, A. (2018). Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues. (A. Perkasa, & A. Pramesti, Penerj.) Yogyakarta: Penerbit Ombak. 
  • Poesponegoro, M. D. (1984). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Putaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun