Portugis setelah berhasil menguasai kota Malaka, pada tahun 1513 sampai 1530 orang Portugis mendapat keuntungan besar, mendominasi pasaran Eropa dengan membawa masuk rata-rata lebih dari 30 ton cengkih dan 10 ton pala, sementara jalur Timur Tengah tetap memasukkan jumlah yang sedikit dan tidak ajeg.
Sekalipun jatuhnya Melaka merupakan hal yang penting, peristiwa itu hanya sebentar saja menganggu perdagangan orang Asia Tenggara. Selanjutnya, mereka menyebarkan perdagangan dan pedagangnya di beberapa kota pelabuhan lainnya. Orang-orang Portugis menimbulkan suatu keadaan di mana perdagangan menjadi tersebar di beberapa pusat lainnya. Patani, Johor, Pahang, Aceh, Banten, merupakan pelabuhan-pelabuhan yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari jatuhnya Malaka. Hal itu disebabkan karena pedagang-pedagang yang biasanya berasal dari Persia, India, Cina, dan daerah-daerah lainnya yang biasanya singgah ke kota Malaka, mulai menghindari kota itu. Para pedagang itu pindah dari Malaka dikarenakan politik Portugis yang memaksakan sistem monopoli kepada para pedagang yang sudah terbiasa dengan sistem perdagangan bebas. Para pedangang ini pun mencoba jalur baru melalui Selat Sunda demi menghindari praktek monopoli Portugis. Dengan beralihnya para pedagang itu melewati Selat Sunda membuat Banten menjadi tempat transit baru bagi para pedagang dari penjuru dunia. Namun seiring datangnya bangsa Belanda pada tahun 1619 yang berhasil merebut Jayakarta yang pada saat itu dipimpin oleh Wijayakrama dan mengganti namanya menjadi Batavia, membuat Batavia menjadi pusat baru politik dan perdagangan.
Dan juga kehancuran Melaka dan pelayaran niaga orang Islam yang pertama kali dilakukan oleh Portugis tidak berakibat meluasnya agama Kristen tetapi justru terjadi konsolidasi kekuasaan dalam tangan dinasti-dinasti Muslim yang sanggup dan bersedia untuk melawan ancaman itu. Aceh dan Banten dibangun sebagai pusat-pusat Muslim yang anti-Portugis di tahun 1520-an. Sedangkan kondisi di kota Malaka sendiri, penduduk Malaka berkurang seperempatnya setelah direbut Portugis pada tahun 1511 dan hanya bisa dikembalikan ke keadaan semula dalam masa kini. Dengan adanya penaklukkan Portugis atas kota Malaka membuat banyaknya daerah-daerah yang sebelumnya menjadi kekuasaan Malaka seperti Kampar dan Siak, mulai memisahkan diri dari Malaka.Â
Pada abad ke-16 ini pun Aceh mulai peranan penting di bagian utara Pulau Sumatera. Pengaruh Aceh meluas dari Barus disebelah utara hingga ke selatan di dearah Indrapura. Dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis dan banyaknya daerah-daerah kekuasaan Malaka yang mulai memisahkan diri dari Kerajaan Malaka, dimanfaatkan oleh Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Muqhayat Syah untuk memperluas kekuasaannya ke daerah-daerah disekitarnya. Dengan cara mengadakan operasi-operasi militer dengan maksud politik, agama, dan ekonomi. Daerah-daerah seperti Pidie, Pasai, dan Daya harus menghadapi serangan dari kerajaan Aceh ini. Dalam peperangan ini pun Aceh mampu meraih kemenangan  dan berhasil merebut senjata-senjata dari orang-orang portugis yang berada di benteng-benteng mereka di Pidie. Keberhasilan dalam peperangan ini juga tidak terlepas dari adanya pasukan asing yang berasal dari Turki, Arab dan Abesinia dipihak kerajaan Aceh.Â
Lambat laun Portugis pun mengalami kemerosotan hal ini disebabkan ketidakmampuan armada laut Portugis untuk mengamankan jalur pelayaran di Selat Malaka dan juga Goa di India Selatan, yang berakibat banyaknya kapal dagang yang membawa rempah-rempah tidak singgah ke Malaka melainkan melalui jalur pantai barat Sumatera Aceh, dan kepulauan Maladewa, menyeberangi Teluk Benggala dan langsung menuju ke Laut Merah. Jalur baru ini membuat Portugis tidak lagi menjadi pusat bagi pasaran Eropa, karena produk rempah-rempah mengalir melalui Mesir dan Laut Tengah.
Hingga pada akhirnya pada tahun 1641 kota Malaka berhasil direbut oleh bangsa belanda yang dilakukan oleh kongsi dagang mereka Verenigde Oost Indische Compagne (VOC). Setelah berhasil menduduki Malaka, orang-orang belanda terbentur akan dua keinginan. Pertama adalah membuat Malaka menjadi pelabuhan yang ramai yang dikunjungi oleh pedagang-pedagang dengan menyediakan barang dagangan dari daerah sekitarnya. Mengingat pada waktu itu kota Malaka sedang mengalami kemunduran akibat permusuhan-permusuhan yang terjadi di antara kerajan-kerajaan di Semenanjung Malaya dan Aceh. Hal ini membuat banyak para pedagang menghindari Selat Malaka dan memilih berdagang di pulau Sumatera ataupun di Semeanjung Malaka yang letaknya lebih ke utara. Namun hal ini tidak bisa juga terlaksana karena kompeni Belanda lebih mau menggunakan politik perdagangan yang memonopoli. Belanda pun sempat mengambil langkah mengenakan suatu sistem tarif. Namun karena bea yang diberikan jauh lebih besar dibandingkan oleh orang Portugis cara ini pun kembali gagal. Karena sistem perdagangan yang digunakan selalu gagal, akhirnya orang-orang Belanda pun merasa perlu mengadakan perjanjian-perjanjian dengan sultan-sultan di dataran semenanjung Malaya untuk mendapatkan monopoli atas beberapa macam barang dagangan.
Daftar Pustaka:
- Poelinggomang, D. E. (2012). Bahan Ajar Sejarah Maritim Dunia. Makassar: Lembaga Kajian Dan Pengembangan Pendidikan (LKPP).
- Poesponegoro, M. D. (1984). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Putaka.
- Pradjoko, D., & Utomo, B. B. (2013). Atlas Pelabuhan Pelabuhan Bersejarah di Indonesia. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
- Reid, A. (2011). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
- Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H