Namun, kenyataan berkata lain. Selang tujuh hari kemudian setelah diriku demam, suami dan kedua anakku pun mengalami hal yang sama.
Hingga pada malam ke 7 sakit kepala itu semakin menjadi-jadi. Aku sungguh tidak kuat. Ini adalah sakit paling sakit yang pernah kurasakan dalam hidupku. Aku bilang pada Tuhan, Tuhan saya tidak kuat.
Sungguh, tidak kuat. Ampunilah saya Tuhan.Â
Aku merasa, hidupku akan berakhir malam itu. Lalu, pada titik yang sudah tidak tertahankan lagi, terucaplah di hatiku, ya Tuhan, aku menerima sakit ini, segala pemberianMu adalah baik.Â
Lalu, aku merasa lemas, dan tertidur. Esok paginya, tepat di hari ke delapan sejak muncul gejala, badanku terasa segar, sakit kepala sudah sembuh. Ajaib. Mual sudah mereda, dan mulai bisa makan, yang awalnya ada mual dan muntah. Mulai muncul anosmia.
Ya, Tuhan, sungguh aku orang berdosa.
Suamiku mengalami batuk dan pusing sepertiku. Kondisi anak-anak sungguh ajaib, demam cepat turun, terap ceria, dan makan dengan lahap.
Dalam situasi seperti ini, saat aku menangkupkan kedua tanganku hendak berdoa, tiada kata yang bisa terucap dari mulutku maupun hatiku.Â
Sungguh tidak mampu. Hanya tangisan air mata yang selalu keluar dari mataku. Ya, tangisan ini adalah doa. Saat ini bukan waktunya bagiku untuk berkata-kata, tetapi waktuNya Tuhan berkata kepadaku. Ini adalah waktu bagiku untuk diam, hening dan mendengarkan Nya.
Aku melihat kondisi suami semakin melemah. Batuk semakin parah, demam tidak segera turun. Kulihat kedua anakku, tetap ceria, tidak khawatir. Si sulung, 12 tahun dan si bungsu, 6 tahun. Mereka tetap bersukacita dalam segala hal.
Aku merasakan kekuatan iman dari kedua anakku. Bersukacitalah senantiasa.Â