Pandemi Covid-19 yang saat ini sedang dialami oleh dunia merupakan suatu peristiwa yang penting sepanjang masa. Muncul berbagai macam protokol kesehatan akibat dari Covid 19 ini. Perilaku cuci tangan, memakai masker, dan physical distancing merupakan hal yang senantiasa diinformasikan kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk juga dengan stay at home atau tetap tinggal di rumah. Perilaku-perilaku tersebut tentu saja merupakan hal yang baru bagi semua orang. Dimana perilaku baru harus senantiasa dilakukan berulang supaya menjadi kebiasaan. Apalagi saat ini memasuki era New Normal. Segala aspek kehidupan kembali berjalan normal dengan kondisi yang baru, termasuk perilaku baru.
Tidak terkecuali, aspek keluarga yang terimbas. Demikianlah dampak pandemi ini ke seluruh aspek kehidupan. Dalam hal ini keluarga mengalami terpaan yang cukup besar karena keluarga menjadi pusat, segala sesuatu mengalir dan berkumpulnya di dalam keluarga. Dengan stay at home membuat setiap anggota keluarga harus berada di rumah. Hal ini membuat pertemuan di dalam keluarga menjadi meningkat secara frekuensi dan intensitasnya.
Ada keluarga yang tidak bermasalah dengan perubahan ini. Namun, tidak banyak juga keluarga yang membutuhkan upaya penyesuaian diri yang lebih keras. Komunikasi orangtua dan anak, seringkali karena kesibukan, akhirnya hanya sebatas komunikasi permukaan saja, misalnya, sudah makan belum, mau pergi kemana, pulang jam berapa, PR sudah dikerjakan belum, dll.Â
Acapkali komunikasi mendalam jarang dilakukan di dalam keluarga. Contoh komunikasi mendalam, misalnya 'Bagaimana perasaan adik mengerjakan tugas sekolah ini?' 'Bagaimana perasaan mama seharian berada di rumah?' 'Bagaimana perasaan papa ketika harus Work From Home?'Â
Pertanyaan yang menggali mengenai perasaan merupakan komunikasi mendalam. Komunikasi mendalam ini sangat dapat digunakan sebagai pendorong untuk keterbukaan hati terhadap perasaan yang dimiliki. Pada dasarnya, secara psikologis, setiap individu itu ingin dimengerti dan diterima. Melalui komunikasi perasaan ini anggota keluarga dapat saling menyampaikan isi hatinya, yang tentu saja tidak akan disampaikan jika komunikasi perasaan tidak dimulai.
Menyampaikan perasaan itu merupakan katarsis (dalam istilah psikologi). Katarsis merupakan kemampuan seseorang untuk mengutarakan perasaannya. Ketika seseorang dapat mengutarakan isi hatinya, maka seseorang akan merasa lebih lega, tenang, dan dapat mengurangi beban psikologis.
Terlebih dengan adanya pandemi ini, dimana aspek ekonomi, pendidikan, aktivitas dan berbagai kebiasaan hidup sangat berbeda. Tidak semua anggota keluarga dapat menerima dan beradaptasi dengan mudah. Berkomunikasi secara mendalam dengan menyampaikan perasaan sangat membantu untuk menghilangkan rasa cemas atau ketidaknyamanan yang dialami. Perasaan psikologis yang lebih tenang dapat membuat imunitas tubuh meningkat. Imunitas inilah yang saat ini sangat kita butuhkan dalam menghadapi pandemi.
Beberapa topik yang dapat menjadi alternatif yang dapat diangkat dalam komunikasi perasaan, contohnya :
Menyampaikan perasaan yang dialami kaitannya dengan :
a. Pandemi Covid-19 ini.
b. Berbagai macam berita di media massa tentang Covid-19.