Mohon tunggu...
haris eri
haris eri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam di Sebuah Cafe

12 Mei 2016   17:58 Diperbarui: 12 Mei 2016   18:07 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak memandangnya ketika dia berbicara. Aku masih memandangi permukaan meja yang basah dan membentuk alas sebuah gelas. "Kenapa?" tanyaku yang coba menyadarkan diriku sendiri dari lamunan.

Dia menggeleng, rambutnya yang di kuncir kuda dan kecoklatan terkibas-kibas di belakang kepalanya. Wajahnya masih menunduk ketika aku mulai mengangkat kepalaku dan melihat-lihat ke arah meja lain.

"Kita tidak sekedar temankan?"

"Iya, tapi . . ."

"Tapi apa?" hardikku. "Jangan bilang kalau kau . . ."

"Aku sudah bertunangan." Sautnya dan wajahku nyaris terbakar. Dadaku berat dan terasa sangat berat. "Maafin aku." tambahnya dengan parau.

Sejak malam itu aku tak melihatnya lagi. Aku pergi begitu saja ketika dia selesai mengatakan semuanya dan tidak mendengarnya ketika dia memohon memaaf. Tapi aku tidak perduli dan kemudian pergi meninggalkannya yang sedang menangis. Aku sudah tak perduli dengannya sejak saat itu dan selalu menghindar jika aku harus bertemu dengannya di jalan.

Seminggu yang lalu dia menemuiku. Ketika hujan mengguyur Jl. Mastrip dengan sangat lebat hingga menyebabkan banyak genangan air di sana-sini. Dia datang mengetuk pintu rumahku dengan basah kuyup. Matanya sembam dan terlihat lebih kurus dari yang dulu. Dia langsung menangis bahkan sebelum dia masuk kedalam.

"Maaf," katanya sambil menggigil.

"Masuk lah, akan aku ambilkan handuk. Tapi aku tidak punya baju ganti untukmu." Aku bergegas masuk tapi dia lebih dulu memelukku dari belakang menyebabkan punggungku basah. Aku hanya mematung saat itu, aku bisa merasakan dia tengah menangis dan tak ada yang bisa aku lakukan. Memang aku membencinya tapi aku tak bisa melihatnya lebih buruk dari ini.

Aku pun menuntunya untuk duduk dan memutuskan untuk menunda mengambilkan handuk. "Apa yang terjadi?" tanyaku ketika dia meletakkan wajahnya di bahuku. Dia masih menangis, tapi dia mulai bercerita. Mulai dari penyesalanya yang sudah menipuku hingga pernikahanya yang hancur karena suaminya menikah lagi dengan wanita lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun