Mohon tunggu...
Harris Suhardja
Harris Suhardja Mohon Tunggu... Guru - Memulai untuk menulis

Selalu berpikir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sesuatu dengan Pendidikan di Indonesia

22 Agustus 2017   22:02 Diperbarui: 23 Agustus 2017   08:14 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2009, Presiden SBY  mengalokasikan 20% dari APBN untuk pendidikan di Indonesia1. Angka ini melonjak dari 12.3% pada tahun sebelumnya. Hal ini tentunya sebuah tindakan yang tepat demi majunya kualitas SDM di Indonesia. Nelson Mandela, Presiden Afrika Selatan pertama yang menjabat setelah Rezim Apartheid bahkan mengatakan bahwa education is the most powerful weapon which you can use to change the world.

Di era globalisasi yang modern, pendidikan memiliki arti yang penting dan semakin penting. Globalisasi membuat dunia semakin sempit, perdagangan bebas membuat batasan negara semakin kabur, dan teknologi membuat tenaga manusia semakin tergantikan. Semuanya itu, secara akumulatif, menuntut manusia untuk melaju lebih cepat, terutama pikirannya.

Survival of the fittest dan pendidikan kini dapat dikaitkan dengan erat. Saat ini, pencari kerja bukan hanya bersaing dengan sesamanya yang tinggal di satu wilayah atau kota. Tetapi, bersaing pula dengan orang-orang yang tinggal nun jauh di kota dan negara lain2. Globalisasi membuat hal ini mungkin, begitu pula perdagangan bebas dan teknologi. Kompetisi dilakukan demi mencari yang paling hebat. Only the fittest can survive!

Permasalahannya dengan sumber daya manusia Indonesia, apakah kita bisa bersaing dengan tenaga kerja asing? Apakah pendidikan kita mampu membuat tenaga kerja kita kompeten dan siap berkompetisi? Apabila ya, bersyukurlah kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tapi, apabila tidak, apa yang salah dan bagaimana memperbaikinya?

Seperti yang sudah diuraikan diatas, sejak periode kedua pemerintahan Presiden SBY, anggaran pendidikan di Indonesia sudah dipatok di angka 20%. Nilai yang begitu fantastis. Tidak ada pos anggaran yang lebih besar dari anggaran pendidikan. Ini berarti Indonesia sudah sadar arti penting pendidikan, sebuah langkah awal yang baik.

Anggaran besar diatas, sebagian besar digunakan untuk mensejahterakan guru dan tenaga pengajar yang tadinya hidup ditengah kemiskinan3. Juga untuk memperbaiki sekolah-sekolah dan fasilitas pendidikan yang hampir roboh. Tentu hal ini adalah tepat, bagaimana pendidikan yang efektif dapat dilaksanakan apabila tidak memiliki tempat yang baik?

PERTAMA

Dari 2009 hingga 2017, artinya sudah 8 tahun anggaran pendidikan menjadi jawara di APBN. Seharusnya, banyak guru yang sudah mulai terangkat dari kemiskinan dan sekolah yang diperbaiki. Lalu, apakah jika kita lanjutkan program ini sampai 100 tahun yang akan datang, cukup untuk membuat Indonesia menjadi negara dengan kualitas SDM yang baik? Atau, misalkan anggaran pendidikan ditingkatkan menjadi 50% dari APBN selama 100 tahun, apakah kualitas SDM Indonesia akan meningkat secara efektif? Saya rasa jawabannya adalah TIDAK.

Kesejahteraan guru dan fasilitas belajar memang berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan. Tetapi, kedua hal ini memiliki titik jenuh yang begitu cepat timbul. Mari kita bayangkan seorang yang tidak dapat mengajar, lalu mendapat gaji yang besar dan fasilitas mengajar yang begitu baik. Apakah anak yang diajarnya dapat dikatakan sebagai SDM yang berkualitas? Saya hampir yakin, jawabannya adalah tidak. Tetapi, apabila ada seorang yang mendapat pengetahuan mengajar yang baik, walaupun hidupnya lebih tidak sejahtera dan tidak mendapat fasilitas mengajar yang baik, pengajar tersebut masih dapat menghasilkan SDM yang berkualitas. Disini kita dapat melihat bahwa kualitas guru begitu penting dalam menghasilkan SDM yang berkualitas. Pemerintah harus berhati-hati dalam menganggarkan anggaran, jangan sampai 20% tersebut habis sia-sia untuk menyejahterakan perut guru dan memewahkan sekolah-sekolah, tetapi tidak mengisi otak dan isi kepala guru-guru tersebut dengan teknik mengajar dan motivasi yang baik. Sehingga pada akhirnya menjadi sia-sia dan tidak mengubah SDM Indonesia.

KEDUA

Pendidikan di Indonesia juga sepertinya cukup jauh tertinggal dibanding negara tetangga seperti Malaysia, apalagi Singapura. Sepertinya ada yang kurang pas dengan sistem Ujian Nasional (UN) di Indonesia. UN memang diperlukan untuk mengukur kualitas siswa, tetapi kontennya yang perlu diperbaiki. Apabila dibandingkan dengan sistem ujian di Singapura (Primary School Leaving Exam/PSLE) atau dengan yang diselenggarakan oleh Cambridge, Inggris (Cambridge Primary Checkpoint), Ujian Nasional di Indonesia sebagian besar adalah soal hafalan, berbeda dengan ujian dari PSLE dan Cambridge yang lebih memerlukan pengertian mengenai suatu isu (terlampir contoh soal PSLE dan Cambridge dengan UN). Ujian Nasional memerlukan anak untuk menghafal begitu banyak hal, yang begitu rumit dan sulit. Sedangkan PSLE dan Cambridge hanya membutuhkan anak untuk memahami tidak terlalu banyak hal. Tetapi, fakta menunjukkan Singapura memiliki kualitas pendidikan dan SDM yang lebih baik dibandingkan Indonesia. Apa penyebabnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun