Ternyata permasalahan sampah di Indonesia itu bukan pada jumlah produksinya. Masih banyak negara lain seperti di Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa yang jumlah produksinya melebihi Indonesia.
Namun permasalahan mendasar adalah cara pengelolaannya. Sampai saat ini pengelolaan sampah di Indonesia masih menggunakan sistem tradisional. Sampah-sampah dikumpulkan di Tempat Pembuangan Sementara (TPS), lalu diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Hal ini berbeda dengan pengelolaan sampah di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa di atas. Mereka sudah mengadopsi teknologi tinggi, sehingga sampah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali menjadi energi terbarukan. Informasi ini saya dapat dari ketika mengikuti materi "Bijak dengan Plastik" Â yang dibawakan oleh Dini Trisyanti dari Sustainable Waste Indonesia pada hari ke-3 "kuliah" Danone Blogger Academy 2018.
Melihat kenyataan ini saya jadi ingat tempat tinggal saat ini yaitu di Perumahan Griya Melati Bogor. Saat saya mulai tinggal pada tahun 2004 lalu, beberapa warga berinisiatif membuat tempat pengelolaan sampah dan langsung dibuat sebagai kompos. Tekniknya sangat sederhana. Sampah dikumpulkan dari warga, kemudian dipilah antara organik dan non-organik.Â
Sampah organik langsung diolah menjadi kompos. Sementara sampah non-organik dipisah-pisah lagi menjadi sampah kertas dan plastik. Kemudian setelah terkumpul dijual kepada pedagang rongsok. Hal itu berlangsung bertahun-tahun hingga kini. Sampah organik yang dijadikan kompos sebanyak 30-35%, sampah an-organik berupa plastic dan kertas sebanyak 30-35% dan sisa sampah berupa residu hanya tinggal 30-40% saja dan diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Galuga, Bogor.
Setiap rumah diberi semacam karung untuk menyimpan sampah botol plastik dan ember besar plus tutupnya untuk menyimpan bahan organik. Mereka diminta mengumpulkan sampah plastiknya dengan niat sodaqoh. Nantinya sampah plastik yang sudah terkumpul diberikan kepada petugas sampah dan jika sudah terkumpul banyak akan dijual kepada pedagang rongsokan yang akan datang mengambil setiap dua pekan dengan hasil berkisar antara Rp 1-1,5 juta per bulan yang hasilnya diberikan secara ikhlas untuk para petugas sampah sebagai tambahan dari penghasilan bulanannya. Itulah mengapa disebut Sodaqoh Sampah, karena niatnya memang untuk beramal dalam bentuk sampah. Dua hal yang didapat, rumah dan lingkungan jadi bersih dari sampah plastik dan mendapat pahala dari sodaqoh.
Tantangan yang dihadapi oleh petugas sampah adalah masih adanya warga yang belum disiplin memilah sampah. Bowo salah seorang petugas sampah mengatakan, "Jika sampah tidak dipilah dari rumah, tentu para petugas sampah akan memilahnya kembali di rumah kompos. Bagi kami tidak masalah sih, tapi dengan demikian banyak waktu yang terbuang, padahal dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain."
Hal tersebut dibenarkan oleh Imam. "Memang masih ada warga yang enggan memilah sampah, untuk itu kami terus mengedukasi warga agar melakukan hal tersebut. Bahkan kami beri media-nya untuk tempat memilah sampah organik dan an-organik".
Untuk Teknik pembuatan kompos digunakan teknologi yang sangat sederhana. Tidak perlu mesin pencacah yang menggunakan listrik. Cukup menggunakan saringan berupa tabung yang diputar dengan menggunakan tangan. Sampah organik berupa daun-daunan dari pohon serta sampah rumah tangga sisa masak ditumpuk selama beberapa hari, setelah beberapa hari akan membusuk dan mengering. Jika warnanya sudah coklat seperti brownies, kita tinggal menyaringnya dengan alat sederhana dan tinggal packing dalam plastik ukuran 1 kg dan dijual seharga Rp 3.500 per bungkus atau Rp 10.000 per 3 bungkus. Lagi-lagi hasilnya untuk para pengelola tim kompos.
Kegiatan warga Griya Melati bidang lingkungan tidak sebatas pemilahan sampah dan pembuatan kompos saja. Seiring dengan waktu, mereka juga mempunyai program yang  ramah lingkungan, diantaranya pembuatan lubang biopori di pekarangan rumah dan taman. Biopori ini berguna untuk penyerapan air hujan agar segera meresap ke dalam tanah dan tidak menimbulkan banjir. Sebagai warga Bogor, nggak enak juga selalu disalahin warga Jakarta karena dianggap mengirim air ke wilayahnya sehingga menyebabkan banjir. Namun pembuatan biopori ini perlu diantisipasi agar tidak menjadi sarang tikus, oleh karena itu lubang biopori ditambahkan ram kawat sebelum lubang itu ditutup oleh pot tanaman.