Saya tinggal di Makassar beberapa belas tahun lalu, sejak semester satu di Universitas hingga kini, memiliki 3 anak. Sependek ingatan saya, sejak Makassar membangun kota dengan massif, dalam upayanya entah menjadi  Smart City ataupun Kota Dunia, sejak itu pula tidak ada satu pun musim hujan yang tidak meninggalkan kisah banjir setiap tahunnya.
Sebuah fakta yang nelangsa karena pembangunan yang sejatinya diharapkan memudahkan manusia nyaris selalu berjalan tidak beriringan dengan kelestarian alam. Pembangunan rumah, pusat perbelanjaan, ruko, yang menimbun sawah dan rawa-rawa, nyaris tidak menyisakan daerah serapan air. Pelebaran jalan yang menegasikan fungsi selokan ataupun gorong-gorong, dan reklamasi Pantai Losari demi project pembangunan berskala maha besar. Sudah lebih dari cukup untuk mengundang banjir setiap kali hujan datang.
Kisah banjir di Makassar, hampir sama di kota-kota besar lainnya, adalah kisah berulang tiap kali musim penghujan datang. Bahkan di beberapa wilayah, menjadi rutinitas tahunan. Karena dipastikan setiap kali hujan akan banjir, kebanyakan masyarakat tidak lagi memikirkan cara pencegahannya, melainkan mencoba bersiasat agar meminimalisir kerugian saat banjir datang.
Mulai dari meninggikan rumah, membuat loteng, sampai membeli perabotan yang bahannya tahan air. Jika curah hujan mulai tinggi, biasanya masyarakat mulai siaga. Di akhir tahun 2020 kemarin, di awal Desember Makassar sudah menjemput banjir.
Saya sendiri secara pribadi, bersyukur tidak pernah terdampak banjir secara langsung karena tinggal di pemukiman yang lumayan tinggi. Walau begitu, kami tetap waspada. Saat musim hujan datang, sebelum curahnya semakin besar, biasanya kami memastikan got di sekitar rumah tidak tersumbat. Tetangga-tetangga di sekitar pun melakukan hal yang serupa.
Selain cerita tentang banjir, sejujurnya musim hujan adalah musim favorit saya. Musim yang basah namun juga sangat hangat. Â Musim di mana kehangatan rumah menjadi begitu terasa dan berarti. Musim yang sungguh serasi dengan mie instan, sehingga saya tanpa berdosa bisa menikmatinya berkali-kali. Musim yang memberikan kita kesempatan untuk tidak perlu tergesa-gesa, karena hujan bisa jadi alasan.Â
Saya menyukai hujan. Begitu pun anak-anak, setiap musim hujan datang, mereka menyambutnya dengan riang. Sekali dua kali mereka saya perbolehkan mengguyur badan di bawah langit sambil bermain dan berlari.
Makassar yang biasanya gerah dengan mataharinya yang lantang, saat musim hujan seolah mengambil jeda sejenak. Matahari kadang tidak muncul hingga berhari-hari.
Tahun ini, semuanya berbeda. Bahkan musim hujan beserta cerita yang datang bersamanya pun akan berbeda. Hujan datang saat pandemic belum berakhir. Saya jadi membatasi anak-anak bermain hujan, karena takut imun mereka drop.Â
Mungkin musim hujan pula yang membuat angka penyebaran Covid di Makassar saat akhir tahun kemarin melonjak. Salah satunya, karena musim hujan biasanya imun kita menurun, sedikit-sedikit flu, sedikit-sedikit bersin. Tingkat penularan virus pasti jauh lehih tinggi. Saya juga membayangkan saat kemarin banjir datang, protokol kesehatan pasti sulit ditegakkan. Tapi mau apa? Selamat dulu, jaga jarak kemudian. Â
Demi agar musim hujan tetap menjadi musim favorite, kami sekeluarga yang memang gemar berhibernasi di rumah menghabiskan banyak waktu dengan beraktivitas bersama. Menonton beberapa drama Korea bersama di ruang keluarga, menonton konten kreatif youtuber dari masak, makan, hingga jalan-jalan, lalu menyantap jenis makanan yang baru saja kami lihat bersama di layar kaca. Musim hujan adalah musim yang identik dengan lapar. Apalagi saat sekarang, di mana semua aktivitas berpusat di rumah.
Hingga pagi ini, hujan masih mengguyur Makassar sejak kemarin. Saya percaya, saat hujan doa kita dijawab lebih cepat dari biasanya oleh Sang Maha. Karenanya, doa-doa baik semoga tidak berhenti kita rapalkan di musim hujan kali ini, semoga pandemic segera berakhir dan semoga kita semua tangguh menghadapinya hingga akhir.Â
Saya jadi teringat, memiliki kesempatan untuk bisa berdoa dengan layak, memiliki kesempatan untuk menanam harapan, di masa yang dipenuhi kehilangan kehilangan ini, adalah sebuah anugerah. Dan saya bersyukur. Semoga hujan meluruhkan cerita cerita sedih yang menghinggapi beranda kita tiap pagi. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H