Mohon tunggu...
Siti Suharni
Siti Suharni Mohon Tunggu... Editor lepas - Suka menulis

ibu rumah tangga yang suka baca dan film India

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengapa Editor Kalah Tenar dari Penulis Buku?

6 Juni 2024   06:59 Diperbarui: 6 Juni 2024   07:18 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Editor bekerja menyunting buku (freepik)

KETIKA kata editor terdengar dalam percakapan, kemungkinan respons yang muncul selama ini setidaknya ada dua. Pertama, kata editor dikoreksi menjadi auditor, yakni profesi yang tugasnya memeriksa laporan keuangan. Kedua, editor yang dimaksud adalah editor foto/video.

Kendati tidak selalu valid demikian, yang jelas skenario semacam itu sering terjadi. Bukti bahwa editor buku masih terasa asing di pikiran banyak orang. Apalagi di era serbadigital sekarang, editor video banyak diburu oleh content creator demi menghasilkan visual yang mengagumkan dan mungkin akan berbuah cuan.

Buku bagus berkat editor

Barangkali dengan dasar itulah komunitas Kompasianer Jawa Timur alias Cak Kaji menggelar IG Live tanggal 25 Mei 2024 lalu. Judulnya cukup provokatif: Dibayar untuk Cari Kesalahan, yang tak ayal membetot perhatian warganet. Selama ini orang mencari kesalahan selalu dihujat, maka jadi menarik kalau mencari kesalahan justru diganjar cuan.

Lumayan juga malam Minggu daripada gabut saya pun merapat di IG Live @belalangcerewet yang malam itu didapuk sebagai narasumber. Dipandu Mbak Rahma Chemist bloger Jatim asal Makassar, acara berlangsung gayeng dengan banyak pertanyaan. 

Mbak Rahma yang akrab disapa Amma pun memulai sesi sharing dengan pertanyaan: Bagaimana awal mula Mas Rudi bisa kerja jadi editor? Apa alasan memilih pilih profesi editor? Ternyata narasumber mengatakan bahwa daya tarik editing adalah pertemuannya dengan NH Dini pada masa awal kuliah. 

Saat itu Rudi ikut menghadiri bedah buku di Semarang dan mendapatkan hadiah berupa buku bertanda tangan penulis langsung. Yang masih dikenangnya adalah ucapan novelis gaek yang pernah tinggal di Jepang itu. Bahwa buku-bukunya bisa tampil bagus dan memikat berkat tangan dingin seorang editor. 

Sejak saat itulah Rudi bercita-cita jadi editor buku. Kesempatan datang pada tahun 2006 ketika penerbit buku sekolah di Bogor menerimanya sebagai penyunting. Setelah itu, pernah juga bekerja sebagai penyunting di penerbit buku umum untuk genre motivasi dan bisnis. 

Hingga kini ia masih berkerja sebagai editor lepas (freelance) karena bisa dikerjakan secara remote. Waktu masih tinggal di Bogor, ia pernah terlibat sebagai tim penyunting kamus Indonesia - Inggris karangan Hassan Sadily & John M. Echols terbitan Gramedia yang sangat populer.

Beda genre beda job desc   

Ketika ditanya apa beda penyuntingan buku sekolah dan buku umum, Rudi menuturkan bahwa buku sekolah lebih kompleks karena punya banyak rubrik sebagai pelengkap materi bidang studi. Kadang juga ada contoh soal dan pembahasan, maka ketelitian adalah keniscayaan. 

Tugas editor buku sekolah bisa lebih njelimet kalau buku yang diedit diikutkan penilaian proyek karena biasanya sangat lengkap, termasuk indeks dan glossary. Pedoman lainnya: konten harus sesuai dengan butir-butir Pancasila dan tidak melanggar HAM, bias gender, atau menyinggung isu SARA serta muatan pornografi. 

Adapun buku umum relatif lebih leluasa. Tugas editor adalah mengemas buku semenarik mungkin dengan eksplorasi ide yang bahkan out of the box. Harus relevan dengan kebutuhan kekinian agar dilirik pembaca. Intinya, harus up-to-date. 

Editor tak cuma periksa salah eja. (storyset/freepik)
Editor tak cuma periksa salah eja. (storyset/freepik)

Lantas apakah editor hanya mencari kesalahan berupa salah ketik atau tipo? Ternyata tidak. Sebelum menjawab pertanyaan ini, Rudi menyampaikan bahwa setidaknya penerbit mempekerjakan dua macam editor di kantor. Satu editor akuisisi (juga disebut editor) dan satu lagi adalah penyunting naskah (juga dinamakan kopieditor).

Editor akuisisi biasanya lebih banyak berada di luar kantor karena harus menjalin relasi dengan calon penulis atau penulis yang sudah bekerja sama dengan penerbit. Ini karena dia bertugas merencanakan buku apa saja yang menarik diterbitkan dan memutuskan mana naskah dari penulis baru yang layak diterbitkan atau sebaliknya.

Sedangkan tugas memeriksa ketepatan ejaan, tata bahasa, dan struktur kalimat (disebut mechanical editing) diemban oleh seorang kopieditor. Editor wajib memberikan brief kepada kopieditor tentang apa yang perlu diperbaiki dalam proses penyuntingan.

Namun, penerbit di Indonesia biasanya hanya mempekerjakan satu macam editor dengan dua peran sekaligus yang tadi disebutkan. Sangat mungkin untuk menghemat biaya atau biar ringkas.

Proyek editing yang berkesan

Lazimnya pekerjaan lain, proyek penyuntingan buku pun ada yang meninggalkan kesan mendalam. Rudi mengaku proses editing yang berkesan termasuk kamus Indonesia Inggris terbitan Gramedia karena edisi revisi wajib memuat lema dan sublema yang lebih lengkap. Ada kebanggaan tersendiri meskipun bekerja sebagai tim.

Ada juga kesannya berkomunikasi dengan penulis asal Selandia Baru saat mengedit buku-buku seri motivasi. Sebagai editor, Rudi jadi punya banyak kesempatan untuk mengontak penulis sehingga jadi pengalaman unik untuk berkorespondensi dalam bahasa Inggris.

Sepenggal pengalaman lain tentang editing adalah saat ia dikomplain seorang penulis. Komplain memang disampaikan lewat penerbit indie yang memberinya pekerjaan.

Penulis memprotes mengapa seolah tulisannya tidak diedit. Rudi menegaskan bahwa meskipun editor punya privilese mengoreksi tulisan, tetapi ia tidak serta-merta mencari kesalahan membabi buta sekadar untuk terlihat jumawa atau demi memenuhi egoisme belaka. Kalau naskah sudah bagus dan minim koreksi, ya editor membiarkannya sebagai apresiasi.

Syarat editor yang baik

Akhirnya ada seorang peserta IG Live yang mengajukan pertanyaan tentang syarat yang wajib dipenuhi kalau seseorang ingin jadi editor yang baik. Narasumber memastikan agar editor atau calon editor memiliki penguasaan ejaan yang memadai, juga menguasai tata bahasa yang mumpuni karena ia bertugas menyoroti ketimpangan tulisan -- baik dari ide maupun strukturnya.

Tak heran jika syarat berikutnya adalah dia wajib punya kemampuan menulis. Menyunting bukan cuma cari kesalahan ketik atau menyesuaikan ejaan dengan KBBI. Lebih dari itu, ia bisa membaca kedigdayaan sebuah ide lewat penyajian yang terstruktur dan luwes sehingga dapat menggerakkan pembaca lewat tulisan tersebut.  

Kepekaan dalam berbahasa tak bisa ditawar lagi sebab pengemasan atau pengolahan naskah membutuhkan proyeksi serapan pasar, termasuk menjauhkan muatan pornografis atau isu sensitif yang berbahaya bagi masyarakat.

"Kalau ingin serius, bersahabatlah dengan kamus dan tesaurus," ujar Rudi lebih lanjut. 

Kamus untuk mengecek ejaan terkini, sedangkan tesaurus untuk membantu menemukan sinonim atau padanan kata agar tulisan lebih hidup dan tidak monoton.

Karena banyak berhubungan dengan penulis atau calon penulis, maka seorang editor juga dituntut punya communication skill yang mumpuni. Selain menjaga hubungan baik dengan penulis, editor juga kadang mesti berkomunikasi dengan pembaca lewat bedah buku atau media sosial.

Lebih bagus lagi jika ia cakap berbahasa asing (minimal bahasa Inggris) untuk membekalinya keterampilan bergaul, misalnya saat ikut pameran buku di luar negeri dan bertemu penerbit atau editor asing.

Khusus untuk editor akuisisi, kejelian untuk membaca kebutuhan pasar jadi syarat mutlak. Karena dia punya tugas memilih dan meloloskan mana judul yang bisa diterbitkan atau ditolak dengan catatan.

Selain itu, editor haruslah banyak membaca buku, menonton film, mengonsumsi berita, dan mengikuti tren di medsos untuk konteks masa sekarang. Dari sana sumber ide muncul, intinya banyak peluang untuk digarap sesuai kebutuhan pembaca.

Kalah pamor dari penulis

Dengan syarat seperti itu, bagaimana cara kita mengenalkan profesi editor kepada anak-anak Gen Z karena mereka tampaknya kurang familier. Demikian tanya Mbak Amma. Acara IG Live yang digelar Cak Kaji kemarin termasuk ikhtiar yang positif. Anak-anak zaman now sangat akrab dengan apa pun yang berbasis digital, sehingga acara yang bisa diakses di gawai akan diminati.

Sharing pengalaman sebagai editor
Sharing pengalaman sebagai editor

Bisa juga diadakan sharing seputar profesi editor yang lagi-lagi memang kurang populer karena dibanding penulis atau penerjemah. Misalnya lewat Zoom atau kulwap (WhatsApp) dengan latihan editing sekaligus. Praktik akan menuntun pada kecintaan asalkan dikelola dengan menarik. Syukur-syukur di akhir kelas, peserta terbaik mendapatkan job tipis-tipis. Win-win solution kan? 

Profesi editor masih kalah pamor dibanding penulis mungkin karena pekerjaannya lebih banyak di belakang layar. Tak banyak ulasan buku yang menghadirkan editor. Biasanya penulis saja dengan ditemani moderator. Kalaupun dilibatkan, kadang perannya kurang digali.

Selain itu, fee atau bayarannya terbilang belum menggembirakan. Bisa jadi karena anggapan bahwa: apa susahnya sih mencari tipo doang? Sehingga penulis amatir kadang merasa mampu melakukannya sendiri, padahal tugas editor jauh lebih kompleks seperti saya tuslis di atas. 

Dengan gaji UMR (malah ada yang belum), editor inhouse wajarlah belum jadi profesi idaman. Apalagi kalau sistemnya freelance, biasanya dihitung per halaman atau sesuai kesepakatan. Tentu sesuai juga dengan jam terbang. Lagi-lagi kembali pada penghargaan penulis atau penerbit indie pada jasa editor. Inilah masalahnya.

Jadi, jangan heran kalau anak sekarang jika ditanya tentang profesi di dunia perbukuan yang ingin digeluti. Kalau bukan penulis, penerjemah, atau minimal desainer grafis (layouter). Boleh jadi karena fee lebih besar atau kesempatan belajar tersedia lebih besar.

Optimistis 

Namun, Rudi optimistis bahwa profesi editor akan terus eksis. Ini merujuk kesadaran bahwa penulis dan editor sebenarnya adalah mitra, bukan atasan dan bawahan. Keduanya saling membutuhkan demi menciptakan buku yang bagus dan bermanfaat bagi pembaca. Semangat kolaborasi harus dijunjung tinggi, tanpa gengsi.

Si sulung baca buku di luar gedung book fair di Surabaya (Dok. pri)
Si sulung baca buku di luar gedung book fair di Surabaya (Dok. pri)

Ya, harapan memang selalu ada. Saya sebagai ibu rumah tangga yang suka membaca pun akan terus menularkan virus literasi kepada duo bocil di rumah. Bukan cuma agar menghargai profesi editor yang masih kalah pamor dibanding penulis, tetapi lebih dari itu mendorong mereka untuk melihat peluang di banyak bidang.

Belajar dan berkolaborasi, itu yang perlu saya tekankan kepada mereka supaya optimistis memandang masa depan lewat hobi yang mereka miliki dan skill yang harus dipenuhi. Semoga lewat acara IG Live ini profesi editor makin dikenal dan digemari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun