Mohon tunggu...
Siti Suharni
Siti Suharni Mohon Tunggu... Editor lepas - Suka menulis

ibu rumah tangga yang suka baca dan film India

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Selaksa Asa Heri Chandra Santoso Merawat Sastra di Desa

18 Agustus 2023   11:25 Diperbarui: 18 Agustus 2023   16:42 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

The internet is the first thing that humanity has built that humanity doesn’t understand, the largest experiment in anarchy that we have ever had. 

--Eric Schmidt

Era internet saat ini merupakan salah satu masa di mana manusia, mulai dari generasi Baby Boomers, Gen X, Y (Milennials), Z, bahkan hingga Gen Alpha secara global memiliki pengalaman terhubung mengenai berbagai hal yang campur aduk meski pengalaman ini belum sepenuhnya bisa disadari atau dipahami oleh diri mereka sendiri. 

Segala sesuatu datang dan berjalan begitu cepat serta membutuhkan respon yang cepat pula, sebagaimana halnya ketika kita mengalami derasnya arus informasi di media sosial.

Warga Dunia Membutuhkan Sastra

Kemudahan dan kecepatan dalam mengakses internet pada gawai seperti ponsel pintar (smartphone) hampir merata di seluruh belahan dunia dan memberikan dampak yang tidak bisa dikatakan sederhana. Masyarakat perkotaan maupun masyarakat yang letaknya di pelosok daerah mengalami hal yang serupa. Kita bisa mengatakan bahwa pengaruh internet tersebut ibarat memiliki dua sisi dari sebuah koin, ada sisi positif maupun negatifnya.

Betapa miris ketika belakangan ini kita menemukan fakta bahwa terdapat sebagian netizen menjadi pengguna ujaran-ujaran kasar serta tingginya fenomena perilaku korupsi, ancaman radikalisasi, intoleransi, dan menurunnya kesehatan mental. Kenyataan tersebut sangat bisa dipengaruhi oleh tingkat literasi yang masih rendah dan hal tersebut merupakan tantangan besar bagi seluruh komponen masyarakat kita.

Gen Z mendominasi (Sumber: katadata)
Gen Z mendominasi (Sumber: katadata)

Generasi muda, terutama generasi milenial dan Generasi Alpha yang kini menjadi bagian terbesar populasi jelas menjadi penentu peradaban bangsa ini di masa depan. Tentu saja ini bukan pekerjaan atau tanggung jawab yang bisa dilakukan dengan mudah. Menata kembali sendi-sendi kepribadian melalui penanaman kembali nilai-nilai moral bangsa yang adiluhung harus dilakukan secara bersama-sama dan kita bisa mulai dari sisi humaniora, lingkungan, atau pendidikan, salah satunya melalui sastra. Mengapa sastra?

Ya, sejak zaman dulu sastra telah memberikan pengaruh yang besar terhadap peradaban suatu bangsa. Kita perlu menanamkan optimisme bahwa budaya terkait sastra, baik yang ditulis untuk menghasilkan karya atau hanya sekadar untuk dinikmati dengan membaca akan dapat memberi pengaruh signifikan meski secara lembut dan perlahan.

Pergulatan Heri Membidani Komunitas Sastra di Lereng Medini

Heri telah mengawal Komunitas Lereng Medini lebih dari 15 tahun. (Foto: Satu Indonesia Awards)
Heri telah mengawal Komunitas Lereng Medini lebih dari 15 tahun. (Foto: Satu Indonesia Awards)

Sastra, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai dengan “bahasa (dalam hal ini adalah kata-kata atau gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari)”. Dengan demikian, sastra merupakan bacaan atau tulisan yang memiliki keistimewaan, nilai ketinggian, keagungan, atau kehalusan dan sangat berharga. Karya sastra diwujudkan dalam bentuk imajinatif dengan alur cerita yang sistematis di mana kebanyakan cerita berdasarkan kehidupan nyata.

Jenis karya sastra itu sendiri dibagi tiga, yaitu prosa, puisi, dan drama. Prosa adalah karya sastra yang berbentuk cerita naratif sehingga lebih mudah dipahami. Prosa memiliki dua bentuk, yaitu cerpen dan novel. Puisi merupakan karya sastra yang dominan dengan estetika bahasa yang terkandung di dalamnya. Puisi tidak lepas dari rima, diksi, lirik, bait, dan lain-lain.

Adapun drama adalah karya sastra yang diciptakan dalam bentuk cerita, kemudian disajikan dalam bentuk pertunjukan (gerak atau aksi). Masalahnya, bagaimana sastra mampu menjadi bagian dari proses membangun kembali peradaban masyarakat yang kini tengah bergulat dengan pesatnya dampak arus teknologi dan informasi di segala bidang? 

Keindahan kebun teh di lereng Medini (Foto: sonora.id)
Keindahan kebun teh di lereng Medini (Foto: sonora.id)

Adalah Heri Chandra Santoso, salah satu sosok yang memiliki concern untuk membumikan sastra di masyarakat tempat tinggalnya, Desa Boja. Hingga hari ini ia masih terus menapaki langkah merawat sastra di pelosok desa sejuk yang berada di atas ketinggian sekitar 2.050 mdpl di wilayah Gunung Ungaran, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah itu.

Sastra, di mata seorang Heri yang merupakan lulusan Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya),Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang, tidak hanya dimonopoli oleh segelintir orang. Sebagaimana halnya masyarakat kota, penduduk desa yang berkiprah di bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan juga sangat berhak untuk bersastra. 

Lebih dari sekadar mencintai rangkaian kata, mempelajari, dan menikmatinya, Heri merasa sastra bisa menjadi salah satu instrumen atau sarana untuk menjahit kembali nilai-nilai kebaikan sekaligus keindahan jiwa, baik di desa maupun di kota.

Sesungguhnya terdapat banyak sekali fungsi sastra dalam kehidupan yang mungkin masih belum diketahui oleh masyarakat luas, di antaranya fungsi rekreatif yang memberi rasa senang, gembira serta menghibur; fungsi didaktif, yaitu menjadi sarana atau media untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan; fungsi estetis yang memberi keindahan, baik dari bahasa hingga alur cerita serta fungsi moralitas maupun religius. 

Halus dan indahnya suatu karya sastra yang ditulis atau dibaca bahkan bisa menjadi katarsis dari pergulatan batin atau ketegangan emosional dalam diri seseorang. Tak heran jika membaca dan menulis pun sering kali menjadi terapi dan pengobatan bagi mereka yang mengalami tekanan dalam jiwa sehingga merawat kesehatan mentalnya.

Komunitas Lereng Medini Menata Langkah Awal

Heri yang menceritakan lika-liku perjalanannya melalui chat lewat Whatsapp memaparkan bahwa ia merintis langkah pertamanya dengan membuka perpustakaan gratis bernama Pondok Maos Guyub (sering disebut Guyub) pada tahun 2006. Perpustakaan ini memanfaatkan sebuah rumah di Jalan Raya Bebengan 221, Bebengan, Desa Boja milik Sigit Susanto –sesama penggagas Komunitas Lereng Medini (KLM)– yang saat ini bermukim di Swiss. 

Adapun cikal bakal pembentukan KLM diawali dengan obrolan tiga orang pemuda, Sigit Susanto, Nurhadi, dan Heri Chandra Santoso di sela-sela hajatan Parade Obrolan Sastra pada tanggal 3-11 Mei 2008 di Pondok Maos Guyub tersebut.

Keseruan Kemah Sastra, belajar sambil lesehan (Foto: mojok.co)
Keseruan Kemah Sastra, belajar sambil lesehan (Foto: mojok.co)

Sambil lesehan mereka membahas tentang perlu adanya ruang bersama sebagai suatu wadah untuk saling berbagi ide antarpengunjung perpustakaan Pondok Maos Guyub dan pencinta sastra di Boja. Setelah konsep itu disepakati, tepatnya tanggal 3 Agustus 2008, mereka membentuk Komunitas Lereng Medini (KLM) yang bisa mewadahi atau memfasilitasi aksi dan kreativitas anggotanya, khususnya dalam proses kreatif kepenulisan, baik sastra maupun nonsastra.

Heri mengungkapkan bahwa nama Lereng Medini disepakati sejak awal karena menjadi ikon lokalitas bagi mereka selama beraktivitas di Pondok Maos Guyub. Medini merupakan nama sebuah perkebunan teh di sebelah barat Gunung Ungaran. Perkebunan teh Medini dianggap menginspirasi mereka, yaitu merujuk pada orang-orang di pojok desa yang memiliki semangat besar dalam bekerja dan antusiasme yang selalu bersemi untuk belajar sastra.

Akan tetapi, kata Heri, “Sebelum belajar sastra, kita perkenalkan mereka dengan bacaan.” Hal ini berarti bahwa Pondok Maos Guyub turut memiliki andil yang besar untuk mempersiapkan anggotanya mengikuti aktivitas di KLM. Tentu saja sistem semacam ini merupakan sebuah terobosan hebat di desa karena peran antarlembaga tersebut saling mendukung satu sama lain.

Perjalanan Komunitas Lereng Medini bersama Harmoni Sastra

Sejak awal, KLM bersifat terbuka bagi siapa pun. Komunitas ini merangkul dan melibatkan para pelajar, guru, dan semua pihak yang ingin belajar sastra, menulis, atau berproses menjadi individu yang kreatif. Masyarakat umum juga tak malu ikut nimbrung di dalamnya karena bagi mereka ilmu, membaca buku, dan sastra adalah hak siapa saja, tidak terkecuali para petani dan peternak.

Jatuh bangunnya komunitas ini menunjukkan bahwa memang tidak mudah mengawal sastra yang sudah kadung dianggap eksklusif. Namun, hal itu bukan berarti tak mungkin mengusahakan agar sastra bisa dicintai dan justru semakin berkembang luas di masyarakat Lereng Medini. 

Kita bisa melihat dinamika tersebut dari beberapa kegiatan yang diadakan oleh Komunitas Lereng Medini terkait dengan belajar dan mengapresiasi sastra bersama masyarakat Desa Boja.

1. Reading Group (Kelab Baca) Novel

Kegiatan kelab baca KLM (Foto: litera.co.id)
Kegiatan kelab baca KLM (Foto: litera.co.id)

Kegiatan ini digelar setiap Sabtu sore yang diikuti para pelajar mulai dari SD, SMP, SMA, mahasiswa hingga masyarakat umum. Peserta bisa melakukan kajian sastra ini secara mandiri atau dengan membuat reading group, yaitu membaca dan mendalami karya sastra secara bersama-sama tanpa terburu-buru untuk selesai.

Pada kajian ini, beberapa novel telah dibaca, baik novel berbahasa Indonesia atau novel berbahasa asing (Inggris). Uniknya, salah satu sastrawan terkenal seperti Ahmad Tohari pernah dihadirkan di hadapan peserta reading group novel di sela hajatan Parade Obrolan Sastra ke-4 pada 22 Mei 2011.

 “Ini dilakukan sebagai bentuk apresiasi para peserta yang telah tekun dan menyuntuki novel klasik ini,” papar Heri yang sejak kuliah telah aktif berorganisasi.

2. Bedah Karya dan Workshop Penulisan Kreatif

Bedah karya, bedah buku, dan diskusi adalah kegiatan yang digelar bulanan oleh KLM. Salah satu kegiatan jangka panjang KLM yang bisa digelar adalah Hajatan Bahasa dan Sastra dalam rangka memperingati Bulan Bahasa setiap Oktober. Kegiatan ini meliputi apresiasi seni, workshop (lokakarya) penulisan kreatif, dan lomba karya tulis sastra dan budaya. 

Heri di tengah Jemuran Puisi (Foto: inibaru.id)
Heri di tengah Jemuran Puisi (Foto: inibaru.id)

Ada pula kegiatan yang dihelat secara insidental, seperti dalam kegiatan untuk mengisi Ramadan dengan menggelar Pesantren Jurnalistik, Marathon Puisi, Pameran Puisi Jalanan atau Jemuran Puisi, Sastra Sepeda, dan menghadirkan penulis di sekolah-sekolah.

3. Kendal Novel Award 2022 dan Residensi

Selama ini, kegiatan di ranah lokal yang memberi apresiasi kepada dunia sastra masih sangat kurang. Kegiatan dan apresiasi itu hanya ada di ranah pendidikan formal antarsekolah atau pada momen-momen kalender akademik. Inilah yang mendorong KLM menyelenggarakan perhelatan Kendal Novel Award 2022 sebagai bagian dari Bulan Bahasa tahun 2022. KLM menggandeng sejumlah komunitas dan penerbit di Kabupaten Kendal demi mendukung kesuksesan acara ini.

Kendal Novel Award dimaksudkan untuk memberi ruang apresiasi sekaligus motivasi bagi penulis di Kabupaten Kendal berupa penganugerahan novel terbaik yang digelar pada Minggu, 30 Oktober 2022 di Kebun Sastra Guyub, Desa Bebengan, Boja.

Hadiahnya sangat unik berupa kambing peranakan Etawa (juara 1), sepasang kelinci (juara 2), sepasang ayam (juara 3), dan sepasang bebek (juara favorit). Semua hadiah ini memiliki nilai ekonomi dan edukasi yang bisa jadi hanya bisa dilihat dari sudut pemahaman sastra dan kesadaran literasi yang sudah berkembang.

Para pemenang Kendal Novel Award (Foto: inibaru.id)
Para pemenang Kendal Novel Award (Foto: inibaru.id)

Kendal Novel Award 2022 juga dihelat dalam satu rangkaian dengan Residensi Akhir Pekan. Dalam residensi ini, para penulis yang terpilih difasilitasi untuk belajar secara intens (menurut konsep Jawa dikenal dengan nyantrik) kepenulisan dari ahlinya, yaitu penulis atau sastrawan yang kompeten.

Residensi angkatan pertama berhasil memilih sepuluh orang dari berbagai tingkat usia dan daerah di Kabupaten Kendal. Peserta terpilih kemudian secara intens berdiskusi dan membedah karya selama dua hari (Sabtu—Minggu, 22—23 Oktober 2022) di Teras Budaya milik Prof. Mudjahirin Thohir di Sabrang Lor, Kaliwungu.

4. Penerbitan Buku

Penerbitan buku karya anggota juga merupakan agenda jangka panjang KLM. Hingga tahun 2022, tercatat sudah belasan buku yang diterbitkan, di antaranya Donat untuk Kusno: Antologi Puisi dan Cerpen (2008), Kumpulan Catatan Perjalanan Sastra Sepeda di Boja (2009) berisi catatan kegiatan masyarakat ketika diajak bersepeda dan mengunjungi tempat-tempat tertentu, lalu diminta menulis tentang objek yang dikunjungi. 

Yang menarik, mereka juga menggagas penerbitan buku Antologi Puisi SMS Maaf (2009) yang menghimpun puisi dengan ide yang terinspirasi dari kian akrabnya masyarakat dengan telepon seluler.

Menurut Heri, dengan segala keterbatasannya, KLM tidak berlagak mengorbitkan penyair atau cerpenis muda yang terkenal. Tujuan utamanya adalah merangsang pelajar untuk mempelajari sastra dan berprinsip sederhana, yakni mengenalkan sastra, menikmati, dan berkarya.

Kendati demikian, mereka terbukti berhasil memenangkan beberapa perlombaan penulisan sastra tingkat Jawa Tengah, bahkan beberapa karya mereka juga dimuat di surat kabar. Ini merupakan pencapaian luar biasa meski mereka tinggal di pelosok desa.

5. Parade Obrolan Sastra dan Wisata Sastra di Kebun Medini

Parade Obrolan Sastra dan Wisata Sastra di Kebun Medini merupakan program tahunan dan berskala nasional. Acara yang digelar kali pertama pada April 2008 tersebut berbentuk apresiasi dan diskusi sastra pada malam hari selama sepekan berturut-turut. Selain memberi pentas pada sosok lokal, KLM juga mengundang sastrawan kenamaan agar para anggota dan masyarakat bisa menimba ilmu secara langsung seputar proses kreatif menulis sastra.

Sejumlah sastrawan yang pernah diundang KLM. (Foto: amanat.id)
Sejumlah sastrawan yang pernah diundang KLM. (Foto: amanat.id)

Beberapa sastrawan kondang yang pernah diundang ke acara ini antara lain Puthut EA (2007), Wayan Sunarta (2008), Anindita S. Thayf (2009), Kurnia Effendi (2009), Agus Noor (2010), Ahmad Tohari (2011), Saut Situmorang (2011), Dwi Cipta, F. Rahardi, dan Remy Sylado (2012), Iman Budhi Santosa dan Martin Aleida (2013), Muda Wijaya (2014), Korrie Layun Rampan (2015), dan Gus tf Sakai (2016).

6. Kemah Sastra di Kebun Medini

Menjadi ajang para pesertanya untuk srawung (membaur) budaya, upaya silaturahim spiritualisme antarindividu dan komunitas, bersastra, dan belajar pada alam adalah beberapa tujuan awal penyelenggaraan dari agenda tahunan ini. 

Harapan dari diadakannya perhelatan ini adalah bisa menjadi ruang menyemai proses mengenal sastra secara lebih sederhana. Kemah Sastra yang digelar perdana pada 1—3 Mei 2015 ini menjadi ruang asah, asih, dan asuh antarpenulis, baik itu penulis pemula maupun penulis yang sudah kawakan. 

Kemah Sastra diakhiri dengan Wisata Jalan Kaki sejauh 5 km dengan menyusuri Lereng Medini menuju Promasan sebagai napak tilas jejak sastrawan F. Rahardi tahun 1970-an. Anak-anak dan masyarakat setempat juga diajak ikut serta sebagai upaya KLM untuk mensosialisasikan kegiatan komunitas dengan mengajak mereka mencoba dolanan kreatif, sulap, dan yoga pagi hari di kebun teh. Instalasi seni genting jerami dan pendirian Gubuk Baca Medini turut menyempurnakan hari terakhir penyelenggaran kemah sastra tersebut.

KLM menyebar virus literasi pada anak-anak melalui berbagai kegiatan. (foto: dok. KLM)
KLM menyebar virus literasi pada anak-anak melalui berbagai kegiatan. (foto: dok. KLM)

Selama gelaran acara, ada pula berbagai kegiatan lain yang menarik. Mulai pentas teater, bermain dan berliterasi dengan anak-anak Medini, lokakarya wayang suket, spontanitas baca puisi, dan musikalisasi puisi digelar dengan antusiasme peserta yang luar biasa. 

Belum lagi sesi menampung buku atau majalah (baru/bekas) untuk didonasikan kepada Gubug Baca Medini, pameran wayang gaga (kreasi wayang kontemporer berbahan daun dan tumbuh-tumbuhan), bursa buku, dan pemberian buku kepada perpustakaan Dusun Medini—seluruhnya kian menambah atmosfer literasi dan gairah kesusastraan di sana. Kemah Sastra ini sudah terselenggara hingga kali keempat (terakhir tahun 2018 atau sebelum pandemi).

7. Wakul Pustaka (Pustaka Bergerak)

Alih-alih sibuk menyalahkan tentang rendahnya minat baca orang Indonesia, KLM berinisiatif membuat program Wakul Pustaka sebagai upaya jemput bola. Konsepnya sederhana: buku diletakkan di dalam wakul (bakul nasi dalam bahasa Jawa). Bakul-bakul ini lantas dititipkan di warung-warung warga yang mau menerima.

Agar tidak bosan, judul buku divariasi dengan buku lainnya setelah beberapa minggu berselang. “Daripada menunggu atau main HP, mari baca buku!” ujar Heri mempertegas slogan gerakan Wakul Pustaka.

Bakul dipilih sebagai simbol literasi sebab menyimpan nilai-nilai kearifan. Dalam budaya Jawa, bakul menjadi alat yang serbaguna di dapur keluarga. Bukan cuma menampung nasi setelah matang dari dandang, bakul juga kerap dipakai sebagai wadah bermacam benda, termasuk buah, sayur hingga umbi-umbian hasil pekarangan. 

Sayangnya, keberadaan bakul kini mulai terkikis seiring penanak nasi (rice cooker) dan semacamnya kian menjadi primadona. Meminjam ungkapan Jawa, wakule ngglimpang (bakulnya terkapar), KLM seolah ingin menegaskan betapa keberadaan petani kini makin terpinggirkan, jadi pihak yang marginal akibat masifnya pembangunan hunian yang mencaplok tanah-tanah di desa yang menjadi tempat tumbuhnya aneka pangan. 

Upaya jemput bola untuk mendekatkan pembaca melalui program Wakul Pustaka. (Foto: dok. KLM)
Upaya jemput bola untuk mendekatkan pembaca melalui program Wakul Pustaka. (Foto: dok. KLM)

Simbol kearifan dan perlawanan di tengah budaya serbadigital juga terwakili oleh bakul. Pemilihan bakul sebagai media menyiratkan pesan bahwa asupan gizi berupa ilmu pengetahuan melalui buku tak kalah penting dari gizi dan asupan makanan untuk mengenyangkan perut.

Kita sangat khawatir akan mengalami stunting (kekerdilan) pada tubuh atau jasmani akibat kekurangan gizi dan nutrisi makanan, tapi kita jarang peduli bahwa akal dan jiwa bisa mengalami kekerdilan akibat kurangnya asupan ilmu pengetahuan, imajinasi,dan budaya dalam pengertian seluas-luasnya.

Menyiapkan Generasi Muda Penjaga Budaya yang Mencintai Sastra 

Sebagai organisasi sosial, KLM yang dikomando oleh Heri tak terlepas dari tantangan. “Regenerasi menjadi salah satu kendalanya,” ujarnya singkat. Namun, komunitas ini enggan diam atau mati. Meski terkendala minimnya sumber daya, KLM terus berupaya bergerak dan bertahan lewat berbagai gebrakan.

Adapun terbatasnya jumlah SDM pengurus, mereka siasati dengan menjalin berkolaborasi atau berjejaring dengan para pegiat sastra di Kendal dengan mengusung program-program yang bisa dikerjakan bersama.

Kendala lainnya adalah kuatnya gempuran televisi di rumah-rumah warga dan masifnya perkembangan teknologi, dalam hal ini gawai (gadget) yang sulit terlepas dari genggaman. 

“Namun, kami sadar diri dan sadar posisi. Sastra (memang) belum menjadi isu vital bagi masyarakat. Revolusi masih seputar mengisi perut. Untuk itu, kami pun tak pernah berekspektasi yang lebih,” tutur Heri dengan nada miris, tapi tetap menyiratkan optimisme.

Masyarakat Desa Boja belajar literasi dan sastra bersama KLM. (Foto: Profil Penerima Satu Indonesia Award 2011)
Masyarakat Desa Boja belajar literasi dan sastra bersama KLM. (Foto: Profil Penerima Satu Indonesia Award 2011)

Ketika mengungkapkan hal itu, Heri masih tetap optimistis bahwa kegiatan KLM setidaknya mampu membangkitkan semangat dan menyalakan harapan untuk bersama-sama menyemai bibit literasi dan merawat kearifan lokal melalui sastra hingga ke desa-desa. 

Spirit literasi dan kearifan lokal ini dilakukan sesuai dengan kapasitas dan aktivitas masing-masing pribadi, mulai dari ranah keluarga, sekolah/kampus hingga masyarakat.

Heri yang pernah meraih penghargaan Prasidatama dari Balai Bahasa Jawa Tengah sebagai Pegiat Bahasa dan Sastra tahun 2014 ini pun sadar bahwa membangun sebuah komunitas harus didukung jejaring dan lingkungan sekitar.

 “Prinsip gotong royong menjadi pijakan kami. Kami sadar, kami tak kan bisa berbuat banyak bila kami sendirian,” tegas Heri. Ini sekaligus menegaskan pula bahwa hanya dengan sinergi semua bisa bergerak maju dan lebih mudah. 

Saling support antarsesama jejaring komunitas dan masyarakat sekitar untuk memperluas jangkauan sastra, misalnya ditunjukkan oleh KLM dengan menggelar bedah sastra secara daring pada akhir tahun 2021 yang menggandeng Komunitas 127 Line.net, sebuah komunitas anak muda pecinta skateboard.

Agar menjaring banyak peminat, bedah buku sastra daring dilakukan di taman dekat warnet komunitas tersebut dengan memanfaatkan layar lebar melalui telekonferensi. Bedah buku berlangsung menarik dengan kehadiran sejumlah narasumber: Ally Dalijo di Hongkong, Sigit Susanto di Swiss, dan komunitas sastra di Lebak, Banten.

Menikmati Sastra Menabur Kepekaan dan Keindahan Rasa; Inspirasi dari Heri

Pantaslah jika Heri diganjar penghargaan Satu Indonesia Awards pada tahun 2011 untuk kategori pendidikan. Munculnya nama Heri sebagai salah satu dari enam pemenang Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards menunjukkan bahwa pendidikan bukan melulu menyangkut proses belajar di kelas atau bangku sekolah. Penyemaian nilai baik dan penumbuhan budaya positif —sebagaimana yang diyakini Astra, salah satunya lewat sastra juga tak kalah penting.

Kecintaan Heri pada sastra membuatnya setia mendampingi masyarakat Desa Boja hingga kini. (Foto: Profil Penerima Satu Indonesia Award 2011)
Kecintaan Heri pada sastra membuatnya setia mendampingi masyarakat Desa Boja hingga kini. (Foto: Profil Penerima Satu Indonesia Award 2011)

Heri Chandra Santoso, sosok dengan kepribadian yang ramah dan berpenampilan bersahaja itu sudah bergerak dan menolak untuk berhenti. Kecintaannya pada dunia sastra menjadikannya terus semangat hingga mampu melewati rentang waktu 15 tahun lebih. Komunitas Lereng Medini saat ini masih tetap eksis berdiri untuk menemani mimpi besar generasi muda di Kendal, Jawa Tengah.

Kiprah Heri sebagai koordinator Komunitas Lereng Medini membuktikan bahwa sastra bisa tumbuh dan berkembang di mana saja serta bisa dinikmati oleh siapa saja. Tak melulu oleh mereka yang berjuluk sastrawan atau mereka yang berpenampilan eksentrik dan hadir di perhelatan sastra bergengsi.

Dari Heri kita juga belajar tentang semangat untuk hari ini dan masa depan Indonesia yang terkandung dalam sastra, tentang spirit bekerja tanpa lelah, dan memberi pengaruh melalui kehalusan akal budi, suburnya imajinasi, juga lahirnya kreasi yang memperkaya hati. 

Pada akhirnya, sumbangsih sastra lambat laun akan menghaluskan rasa atau budi pekerti, merangsang imajinasi, dan melahirkan kreasi atau daya cipta sehingga pola-pola budaya luhur bangsa yang sempat tercabik dan tercerabut dari akarnya akibat dampak globalisasi informasi dan teknologi akan mencari pijakannya kembali. 

Heri telah meyakini bahwa jika sastra mampu bergeliat dari pelosok desa di Lereng Medini, maka sastra pun bisa bergeliat di mana pun, sesederhana apa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun