Mohon tunggu...
Harnandita Aqla Khizaya
Harnandita Aqla Khizaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Mahasiswa Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Kekhalifahan dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam

1 Juli 2024   11:18 Diperbarui: 1 Juli 2024   11:18 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Bincang Syariah

Kekhalifahan, yang secara harfiah berarti "penggantian" atau "kepemimpinan," telah menjadi simbol penting dalam sejarah politik Islam sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kekhalifahan pertama kali didirikan untuk mengisi kekurangan kepemimpinan setelah wafatnya Nabi, dengan tujuan utama mempertahankan dan mengembangkan ajaran Islam dan memimpin umat Muslim. Proses musyawarah di antara para sahabat Nabi menghasilkan pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah pertama. 

Pemerintahannya ditandai dengan menjaga kesatuan umat dan menumpas pemberontakan di berbagai tempat. Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib kemudian menjadi Khulafaur Rasyidin, atau khalifah yang dibimbing dengan benar. Lalu, bagaimana warisan politik kekhalifahan awal Islam membentuk debat kontemporer tentang kepemimpinan dan keadilan di dunia Muslim? Dalam artikel ini akan menguak pengaruh historis yang masih terasa hingga kini.

Setelah kekhalifahan yang dilakukanm oleh para khulafaur rasyidin, kekhalifahan dilanjutkan dengan 2 dinasti besar, yakni Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Kekhalifahan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan setelah berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin, Pusat kekuasaan kekhalifahan Umayyah dipindahkan ke Damaskus, Suriah. 

Ketika dinasti Umayyah berkembang, ia membawa Islam ke Spanyol di Barat dan India di Timur. Mereka menciptakan pemerintahan yang lebih terorganisir dan menggabungkan elemen dari pemerintahan Bizantium dan Persia. Meskipun demikian, Umayyah sering dikritik karena kecenderungannya terhadap nepotisme dan gaya hidup mewah, yang bertentangan dengan prinsip Islam awal.

Kekhalifahan Abbasiyah bermula dari pemberontakan yang dipimpin oleh keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad, Abbasiyah berhasil menggulingkan Umayyah. Mereka memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad, Irak, yang kemudian menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan global.

Zaman Abbasiyah adalah Zaman Keemasan Islam, yang menampilkan kemajuan besar dalam perdagangan, seni, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Kekhalifahan tetap menjadi simbol persatuan umat Islam, meskipun kekuatan politik Abbasiyah melemah seiring waktu dan penguasa militer atau wazir sering mengambil alih pemerintahan.

Kemudian ada pula sebuah kekhalifahan yang diakui secara luas, yakni Kekhalifahan Ustamniyyah yang merupakan kekhalifahan terakhir yang didirikan oleh Osman I, dan mencapai puncak kejayaannya di bawah Sultan Suleiman al-Qanuni (Suleiman the Magnificent). Kekhalifahan Utsmaniyah, dengan ibu kota di Istanbul, menguasai bagian besar Eropa Tenggara, Asia Barat, dan Afrika Utara. 

Utsmaniyah menggunakan sistem millet untuk menjaga stabilitas politik dan sosial di wilayah yang mereka kuasai, memberikan otonomi kepada non-Muslim. Karena tekanan internal dan eksternal, seperti invasi militer dan pengaruh kolonial Eropa, Ottomanisme mengalami kemunduran pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. 

Pada tahun 1924, Mustafa Kemal Atatrk secara resmi menghapus kekhalifahan sebagai bagian dari upayanya untuk modernisasi dan sekularisasi Turki. Sistem kekhalifahan yang berlangsung lebih dari seribu tahun berakhir dengan Pembubaran Kekhalifahan Utsmaniyah. 

Namun demikian, ide kekhalifahan masih merupakan simbol penting bagi banyak gerakan Islam modern yang mencoba menciptakan pemerintahan yang berbasis Islam. Ketika orang berbicara tentang kepemimpinan, keadilan, dan penerapan syariah dalam pemerintahan kontemporer, mereka sering mengingat warisan kekhalifahan ini.

Teori kekhalifahan tradisional mungkin bertentangan dengan prinsip demokrasi kontemporer yang menekankan representasi langsung rakyat dan pemilihan umum. Sementara nasionalisme modern menekankan kedaulatan dan identitas nasional yang berbeda, kekhalifahan historis berusaha menyatukan umat Islam dalam satu entitas politik. 

Seiring berkembangnya zaman, ancaman globalisasi terus muncul dan menghalangi kemajuan ekonomi serta budaya global yang seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Jika kita mempertimbangkan bagaimana gagasan kekhalifahan dapat diterapkan atau dibangun kembali dalam konteks politik Islam kontemporer, kita dapat melihat bahwa prinsip-prinsip seperti keadilan, musyawarah, dan kepemimpinan moral dapat dimasukkan ke dalam struktur politik kontemporer. 

Ini dapat dicapai melalui penerapan model pemerintahan yang memadukan nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Model pemerintahan ini dapat memenuhi keinginan masyarakat Muslim modern sambil mempertahankan identitas religius mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun