Kemudian dilakukan koreksi geometri citra yakni penyesuain sistem koordinat citra terhadap sistem koordinat nasional (WGS 84). Â Metode yang dimaksud cukup dengan model image to map register, dengan peta RBI skala 1 : 5000 Â sebagai master correction. Karena diperlukan juga untuk kontrol vertikal (ketinggian), diharapkan juga citra terkoreksi terhadap data ketinggian. Data ketinggian yang dimaksud cukup menggunakan data SRTM yang memadai. Sehingga output citra final berupa citra yang terkoreksi baik secara horisontal maupun vertikal (Ortho Rectified Imagery).
Pada tahap Processing Citra, adalah prosesing pada citra yang sudah terkoreksi (ORI) dan itu dilakukan dengan tahapan lewat  Cropping image (ROI) sesuai lokasi kegiatan; Overlay data citra dan data kewilayahan; dan Analisis untuk updating segmen batas wilayah berbasis citra. Dalam tahapan pekerjaan prosesing Citra ini bisa mempergunakan berbagai Software terkait prosesing yang diperlukan seperti : Global Mapper 11, Argis 10.1, Google earth, Spectral Transformer Tools untuk Landsat-8 Imagery (GeoSage) dll.  Proses data citra didahului dengan melakukan Penggabungan (pembuatan Mosaik) peta RBI untuk seluruh liputan batas Desa yang akan di tegaskan Batasnya. Hal ini dilakukan dengan penyusunan liputan peta sesuai dengan nomor Lembar peta (NLP) dibutuhkan atau sesuai corridor batas.
Tahapan berikutnya adalah melakukan buffering terhadap segmen koridor batas yang dibutuhkan. Proses buffering dilakukan dengan memanfaatkan software misalnya dengan Argis. Proses ini dilakukan dengan mengikuti pemberian indeks segmen corridor batas sesuai kode wilayah sebagaimana yang diberikan oleh PPBW-BIG dan sekaligus akan menetapkan jumlah segmen koridor batas sesuai dengan ketentuan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang telah ditetapkan. Dari proses buffering ini diperoleh sejumlah segmen koridor batas ( sesuai Peta segmen koridor batas).
Untuk memperkaya atau memperlihatkan lebih jelas keadaan lapangan yang sebenarnya, maka dilakukan proses pemodelan baik dalam 2 ataupun 3 dimensi yang dilakukan dengan memanfaatkan Citra yang ada. Prosesing ini lebih sederhana karena berbagai data citra yang ada sudah dalam bentuk jadi (matang), dengan demikian prosesnya lebih sederhana dan lebih cepat.Â
Penyelesaian Perselisihan Batas Desa
Secara teknis sebenarnya permasalahan Batas Desa tergolong sangat sederhana, tetapi persoalannya para pihak sudah datang dengan perhitungannya sendiri-sendiri. Masalah Batas yang sebenarnya bisa dengan jelas dapat dilihat pada Peta Kerja di Ruang Rapat serta bisa di cekkebenarnnya di lapangan, tetapi menjadi ruwet karena para pihak sudah terpola pikirannya. Apalagi sudah dapat masukan dari para pendukung yang juga punya kepentingannya masing-masing. Secara Undang-undang masalahnya juga sudah di atur dengan baik, kuat dan mengikat. Misalnya seperti pada. Permendagri No 76 Tahun 2012 yang pada intinya penyelesaian sengketa atau perselisihan batas bisa dilakukan diatas peta secara Kartometrik serta memberikan penekanan secara lebih tegas dan kuat kepada Pemda Provinsi ( Gubernur) sebagai perpanjangan tangan Mendagri di daerah. Revisi tersebut kembali memberi penekanan sesuai amanat penyelesaian perselisihan batas daerah sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 198, yakni :
Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kab/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud.
Apabila terjadi perselisihan antar provinsi, antara provinsi dan kab/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kab/Kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final.. Juga ditegaskan jangka waktu dan mekanisme yang lebih jelas. Tapi memang demikianlah tipikal perseleisihan Batas Desa, tidak berbeda dengan batas-batas lainnya. Susah di kompromikan dan hanya fokus pada kepentingannya sendiri-sendiri.