Mohon tunggu...
Harmen Batubara
Harmen Batubara Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Buku

Suka diskusi tentang Pertahanan, Senang membaca dan menulis tentang kehidupan, saya memelihara blog wilayah perbatasan.com, wilayahpertahanan.com, bukuper batasan .com, harmenbatubara.com, bisnetreseller.com, affiliatebest tools.com; selama aktif saya banyak menghabiskan usia saya di wialayah perbatasan ; berikut buku-buku saya - Penetapan dan Penegasan Batas Negara; Wilayah Perbatasan Tertinggal&Di Terlantarkan; Jadikan Sebatik Ikon Kota Perbatasan; Mecintai Ujung Negeri Menjaga Kedaulatan Negara ; Strategi Sun Tzu Memanangkan Pilkada; 10 Langkah Efektif Memenangkan Pilkada Dengan Elegan; Papua Kemiskinan Pembiaran & Separatisme; Persiapan Tes Masuk Prajurit TNI; Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah; Cara Mudah Dapat Uang Dari Clickbank; Rahasia Sukses Penulis Preneur; 7 Cara menulis Yang Disukai Koran; Ketika Semua Jalan Tertutup; Catatan Blogger Seorang Prajurit Perbatasan-Ketika Tugu Batas Digeser; Membangun Halaman Depan Bangsa; Pertahanan Kedaulatan Di Perbatasan-Tapal Batas-Profil Batas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Otsus Didesain untuk Warga Papua NKRI

6 April 2021   11:31 Diperbarui: 6 April 2021   11:44 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Harmen Batubara[1] 

Otsus harus dilihat dari kondisi Indonesia Paska Orde Baru.Orde Baru dalam sepanjang pemerintahannya juga ternyata tidak mampu meng inflementasikan pembangunan Indonesia sesuai dengan UUD 1945. Orde baru juga gagal tidak bisa fokus untuk membangun negaranya sendiri tapi malah terjebak dengan mengkooptasi Timor Timur mejadi bagian dari NKRI terlibat dengan persoalan masalah dalam negera tetangga itu. Di tengah keterpurukannya Orde baru harus kembali melepas Timor Timur untuk kemudian menjadi Timor Leste. Nah Papua khususnya para pendukung OPM melihat kesempatan ini sesuatu yang perlu dimanfaatkan. Kita tidak perlu melihat setting operasionalnya, tetapi hal itulah yang kemudian melahirkan OtSus dari hasil TAP MPR No,4/1999. 

Isi dari TAP MPR No. 4/1999 tersebut mengamanatkan pembentukanUndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua(Otsus Papua), suatu lebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua.Sebagaimana amanat UU No. 21 Tahun 2001, Otsus Papua pada dasarnyaadalah pemberian KEWENANGAN YANG LEBIH LUAS bagi pemerintah provinsi danrakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangkaNKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti tanggung jawab yang lebih besar bagi pemerintah provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakanpemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam untukkemakmuran rakyat Papua. 

Kewenangan ini berarti pula kewenangan untukmemberdayakan potensi sosialbudaya dan perekonomian masyarakatPapua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orangorang asliPapua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Undangundang Otonomi Khusus juga memberikankeberpihakan dan perlindungan terhadap hakhak dasar dari penduduk asli Papua. 

Untuk itu perlindungan terhadap hakhak dasar orang asli Papuamencakup enam dimensi pokok kehidupan, yaitu: (1) Perlindungan hakhidup orang Papua di Tanah Papua, yaitu suatu kualitas kehidupan yang bebas dari rasa takut serta terpenuhi seluruh kebutuhan jasmani danrohaninya secara baik dan proporsional; (2) Perlindungan hakhak orangPapua atas tanah dan air dalam batasbatas tertentu dengan sumberdayaalam yang terkandung di dalamnya; (3) Perlindungan hakhak orang Papuauntuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan aspirasinya; (4)Perlindungan hakhak orang Papua untuk terlibat secara nyata dalamkelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan kehidupan berdemokrasi yang sehat; (5) Perlindungan kebebasan orang Papua untuk

Otsus Papua juga mengamanatkan pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kulturaldari masyarakat asli Papua.Kedudukan MRP terdapat dalam Bab V Pasal 5 Ayat (2), Pasal 19, Pasal 20,Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 UU Otsus Papua,sedangkan pembentukannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Sebagai partner kerja daripemerintah daerah, kedudukan MRP dengan segala tugas dankewenangannya dapat memberikan suatu manfaat atas pelaksanaan OtsusPapua, dan diharapkan dapat memberi masukan yang memihak padakepentingan masyarakat asli Papua.  

MRP sesuai  [Pasal 23 ayat 1) UU 21/2001] mempunya kewajiban untuk mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua; mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan perundang-undangan; membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua; membina kerukunan kehidupan beragama; dan mendorong pemberdayaan perempuan.

 

Pembangunan Papua Masih Jauh Dari Harapan 

Papua dilihat dari segi territorial memang besar dan kaya akan sumber daya alamnya, tetapi kalau dilihat dari Sumber Daya Manusianya Papua justeru sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan daerah Indonesia lainnya. Sebagai informasi, jumlah penduduk di Tanah Papua[2] diperkirakan mencapai 4,3 juta jiwa pada 2019. Angka tersebut terdiri atas 963.600 jiwa penduduk Papua Barat dan 3,34 juta jiwa penduduk Papua dengan Perkiraan warga asli Papua tidak lebih dari 3 Juta jiwa. Jadi bisa dibayangkan seberapa besar perhatian pemerintah yang bisa diberikan ke wilayah ini, sementara Indonesia masih mempunyai 240 jutaan di daerah lainnya. Jadi secara logika pemerintah " kedederan" dalam memperhatikan dan membangun Papua. Apalagi pembangun pemerintahan sebelum era Jokowi memang masih lebih fokus pada Pulau Jawa dan sekitarnya. Dalam kondisi seperti itulah, para penggiat warga Papua yang pro kemerdekaan kian mendapat angin dan terus berusaha untuk mendiskreditkan pemerintah. Betul kelahiran Otsus sudah pada treknya, tetapi belum sepenuhnya terkelola secara baik. Namun satu hal yang telah memberikan warna adalah telah muncul dengan semarak para Pemimpin Papua dari warga Papua Asli.

Tahun 2021 adalah tahun ahir masa berlakuknya Otsus, berbagai pihak mengutarakan harapannya agar sebelum memperpanjang Otsus perlu terlebih dahulu Evaluasi menyeluruh terkait Otsus, suatu harapan yang sebenarnya sangat baik. Tetapi dihadapkan dengan fakta di lapangan justeru banyak hal juga tengah berjalan kea rah yang lebih baik. Khususnya Gubernur dan Bupati, Pangdam dan Kapolda sudah dari warga Papua Asli. Harapan kita setelah pimpinannya dari warga asli Papua mestinya segala sesuatunya akan lebih baik dan itu perlu waktu. 

Meski ada yang mengatakan untuk apa adanya Otsus sementara kekerasan masih terjadi?  Ya kita harus realistic dan melihat bahwa kekerasan yang terjadi itu adalah atas adanya kegiatan "kekerasan" yang dilakukan oleh KKB atau OPM diberbagai daerah. Pemerintah sudah mereseponnya sesuai dengan UU yang ada, serta melakukannya secara baik dan terbatas dilakukan oleh Polri dan TNI secara terkendali. Harapan kita demikian juga terhadap ASN, Lingkungan Pendidikan Tinggi Dll agar lebih fokus memberikan kesempatan kepada warga papua Asli yang pro NKRI. Sebaliknya terus mengeliminasi warga papua yang tidak pro NKRI. 

Bahwa ada juga yang mengatakan bahwa Papua bukan hanya butuh dana,  Majelis Rakyat Papua misalnya merasa "dibungkam" oleh pemerintah pusat karena tidak dilibatkan dalam rencana revisi UU Otsus Papua yang kini sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian dilakukan pembahasan. Yang menyebut "Itu adalah langkah sepihak Jakarta, tanpa persetujuan dan tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Papua. Kami mengalami pembungkaman demokrasi hak orang asli Papua. 

MRP menganggap tidak ada niat baik dari Pemerintah Pusat membangun Papua sebagai satu kesatuan dalam NKRI," kata Ketua MRP Timotius Murib. Kita bisa melihat kekecewaan dari mereka yang tidak puas atas apa yang terjadi setelah adanya Otsus, tetapi kita juga bisa melihat bahwa keberdaan Otsus saat ini masih relepan, dan bisa dilakukan lebih baik lagi di lapangan dan pemerintah Pusat justeru melihat lebih perlu untuk melakukan pemekaran wilayah untuk Papua. Karena apa? Karena hal itu akan membuka kesempatan kerja bagi warga asli papua pro NKRI. Bayangkan saja untuk satu provinsi saja ia membutuhkan kurang lebih 10 ribu prajurit Polri dan TNI belum lagi Pemdanya sendiri dan yang lebih penting lagi hal itu akan bisa mempersemput gerakan para penggiat KKB dan organisasi lainnya yang tidak pro NKRI. 

Para pejuang KKB atau OPM selama ini selalu berdalih bahwa kaum elit terdidikPapua telah merencanakan penentuan nasib sendiri melalui pembentukan NieuwGuinea Raad yang diresmikan pada April 1951. Ketua dan kawan kawan  Nieuw Guinea Raad  yaitu Nicolaas Jouwe  membentuk komite nasional dalam rangkamempersiapkan alatalat dan simbol kelengkapan negara. Negara bangsaPapua yang dipersiapkan itu dinamai Papua Barat (West Papua). Pada 1Desember 1961, Bintang Kejora, bendera nasional negara Papua Baratdikibarkan sejajar dengan bendera Belanda, dan lagu kebangsaan "HaiTanahku Papua" 

Dalam perjalanannya yang anti Indonesia  sejak 1960-an Nicolaas[3] berjuang agar hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang merdeka dihormati. Perjuangan itu sudah dilakukannya hingga 1969. Menurut Nicolaas, setelah 2/3 negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera 1969, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari negara-bangsa Indonesia. Baginya, dia harus menerima secara realistis keadaan ini dan menghabiskan sisa hidupnya untuk membantu pemerintah Indonesia menyejahterakan rakyat Papua. 

Masih ingat  Nick Messet adalah  mantan Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang juga memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka dan menjadi warga negara Swedia. Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini. Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982.  Setelah kembali ke NKRI, Nick Messet ditugasi membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Pasifik.

Peran Nick Messet dahulu sebagai Menlu OPM dalam merangkul negara-negara di kawasan Pasifik kini diminta  untuk mendukung kepentingan diplomasi Indonesia. Tak heran sejak pertengahan 2018, Nick Messet ditetapkan sebagai Konsul Kehormatan dari Indonesia untuk Nauru. Selama ini negara-negara di Pasifik seperti Nauru, Kepulauan Marshall, Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta Papua Nugini dipandang menjadi target untuk meraih dukungan bagi ide kemerdekaan Papua melalui referendum karena kesamaan ras yakni Melanesia. Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Nick Messet melontarkan alasannya kembali ke NKRI. 

Nick Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an. "Saya tinggalkan Papua untuk berjuang dari luar negeri selama lebih dari 40 tahun tapi hasilnya tidak ada. Setiap Negara yang saya minta dukungannya untuk Papua Merdeka. Mereka selalu bilang kalau Papua itu bagian yang sah dari Indonesia. Lalu saya kembali ke Indonesia dan  membangun Papua di dalam bingkai NKRI. Karena saya lihat hal seperti itu sudah jalan. Satu-satunya itu harus kerjasama dengan Indonesia untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial Papua," kata Nicholas Messet. 

New York Agreement 

Para penggiat OPM itu sering menyebut bawa New York Agreemeny pada 15 Agustus 1962. Sebagai kesepakatan antara pemerintah Belandadan pemerintah Indonesia itu berisi: (1) Belanda menyerahkan tanggung jawab administratif pemerintahan Papua Barat kepada PBB melalui UnitedNations Temporary Executive Authority (UNTEA); (2) Terhitung 1 Mei 1962 UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia; (3) Pada akhir 1969, di bawah pengawasan PBB, dilakukan  Act of Free Choice  bagi rakyat Papuauntuk dapat menentukan sendiri nasib atau kemerdekaannya sendiri."The Act of self-determination will be completed before the end of 1969," Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969,  Act of Free Choice  bagi rakyat Irian Barat digelar lewat PEPERA (PenentuanPendapat Rakyat). Namun PEPERA hanya diwakili 1,025 warga Papua,sedangkan  Act of self-determination  mengkaidahkan satu orang satu suara (One Man One Vote) 

Selama ini OPM selalu berdalih bahwa bagi rakyat Papua, hingga saat ini PEPERA masihdianggap sebagai bentuk manipulasi Indonesia untuk menguasai tanahPapua. Padahal para penggiat OPM itu juga melihat bahwa bentuk Pemilu hingga tahun 2021 di Papua masih dengan sistem "Noken" yang dalam pengertian budaya masih menganut asas musyawarah untuk mufakat. 

Dimana Noken dipakai sebagai simbol kebersamaan Suku atau keluarga besar yang diwakilakn oleh para kepala Suku. Jadi secara Hukum dan sesuai sejarahnya Papua itu adalah bagian syah dari NKRI. Jadi bagi mereka yang tidak suka NKRI ya sebaiknya jangan tinggal di wilayah itu, tetapi ke wilayah lain yang bisa menerima mereka. Menurut hemat saya, berbagai alasan untuk mengevaluasi Otsu situ ide yang baik tetapi jika dilihat dengan realitas di lapangan kita masih perlu membangun Papua yang lebih baik lagi, Khususnya perlu dana yang lebih besar dan pemekaran wilayah soal ada yang tidak setuju hal itu ya sah-sah saja. Nanti setelah sistemnya lebih baik lagi maka evaluasi bisa dilakukan kembali.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun