Oleh  : Harmen Batubara
China mengklaim kedaulatan atas sebagian besar  Laut China Selatan dan dalam beberapa tahun terakhir telah membangun pulau buatan dan memperluasnya untuk memperkuat klaimnya. Beijing juga telah membangun jalur udara, dermaga dan fasilitas militer di beberapa pulau pulau tersebut dan menegaskan klaim maritimnya.
Klaim teritorial Beijing digambarkan pada peta China dengan apa yang disebut "Nine-Dash Line", garis melengkung putus-putus ke bawah yang meliputi sebagian besar Laut China Selatan.Pada zamannya sesungguhnya cara kalaim suatu wilayah juga masih sederhana. Â Pertama temukan wilayahnya, tentukan batas kira-kiranya dan "Declare" umumkan bahwa wilayah tersebut sebagai miliknya. Selesai. Kalau ada yang complain, ya bicarakan kalau tidak ya perang. Itu saja. Hal seperti itu dilakukan oleh Jerman di Papua. Deklare nya juga sederhana. Wilayah Papua yang tidak masuk Inggeris dan Belanda menjadi Wilayah Jerman. Selesai. Dalam kaca mata saya, Klaim "nine dash" China itu sebenarnya ya sah sah saja.
Amerika Serikat (AS) menolak klaim maritim China atas kawasan Laut China Selatan (LCS) dan  juga menuduh Beijing telah menindas negara-negara yang memiliki klaim di kawasan tersebut. Penolakan Amerika atas klaim maritim China itu disampaikan Menteri Luar Negeri Michael Pompeo dalam sebuah pernyataan."Kami memperjelas; klaim Beijing atas sumber daya lepas pantai di sebagian besar Laut China Selatan sepenuhnya melanggar hukum, seperti kampanye penindasan untuk mengenda likannya," kata Pompeo, seperti dikutip NPR, Selasa (14/7/2020). Amerika Serikat, memang telah menandatangani UNCLOS tapi belum meratifikasinya. Selama ini seringkali bergantung pada kesepakatan internasional untuk menyelesaikan sengketa teritorial.
Masalahnya pada 2016, pengadilan internasional di Den Haag memutuskan bahwa klaim China atas kedaulatan di sepanjang "Nine-Dash Line" tidak memiliki dasar hukum dalam hukum internasional. Terkait keputusan ini Beijing menolak nya dan  mengatakan pengadilan di Den Hag tidak memiliki yurisdiksi untuk memutuskannya.
Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag menjadi pegangan AS. Â AS secara eksplisit mendukung temuan kasus pengadilan 2016, yang diajukan oleh Filipina. "RRC tidak memiliki alasan hukum untuk memaksakan kehendaknya secara sepihak pada kawasan itu," bunyi pernyataan tersebut, merujuk pada Republik Rakyat China (RRC). Â "Beijing menggunakan intimidasi untuk melemahkan hak-hak kedaulatan negara-negara pantai Asia Tenggara di Laut China Selatan, menggertak mereka keluar dari sumber daya lepas pantai, menegaskan kekuasaan unilateral, dan mengganti hukum internasional."Â
Klaim China atas wilayah di Laut China Selatan telah lama menjadi sumber konflik dengan sejumlah negara di Asia seperti Malaysia, Vietnam dan Indonesia. China pernah mengirim patroli untuk memperingatkan Malaysia dan Vietnam agar tidak mengeksplorasi minyak dan gas di dalam zona ekonomi eksklusif mereka. China mempergunakan pengaruh, intimidasi, Uang dan Diplomasi agar Negara-negara yang juga mengklaim wilayah LCS mau melepaskan tuntutannya. Hasilnya? Lumayan. Filipina jelas mendukung China dan malah tidak mengizinkan AS untuk memakai pangkalan AU nya. Malaysia sudah bilang tidak mau ikut rebut-ribut terkait LCS. Indonesia jadi Netral dan menekankan perlunya mematuhi UNCLOS. Sementara Vietnam melawan dan Brunai tidak terpantau penolakannya.
China Bisakah Diharapkan?
China memang punya sumber dana yang hampir tidak terbatas. Sejak Presiden Xi Jinping berkuasa tahun 2013, Beijing juga memperkenalkan kebijakan luar negeri baru, terutama di bidang ekonomi dan investasi. Untuk mengelola dana investasi ke luar negeri, China mengumumkan pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan apa yang disebut prakarsa "One Belt, One Road (OBOR)". OBOR - juga dikenal dengan sebutan Prakarsa Jalur Sutra Baru -- adalah membangun infrastruktur lintas benua memperluas jaringan dagangnya ke Eropa, Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara, baik melalui darat maupun laut. OBOR ini adalah pembaharuan atas Jalur Sutra nya Tiongkok masa lalu dengan semangat baru, bersama membangun dunia yang lebih sejahtera. Termasuk di dalamnya jargon Asia untuk warga Asia Dll.
Pada tahun 2014[1], Xi Jinping menjelaskan bahwa prakarsa baru China ini bukan melulu soal ekonomi dan uang, namun didsarkan pada "nilai-nilai bersama". William A Callahan dari London School of Economics mengatakan, "Bisa disimpulkan, Xi menganggap komunitas regional sebagai perpanjangan dari negara China, atau setidaknya sebagai bagian dari nilai-nilai peradaban Tiongkok," katanya. "Jadi, gagasan, nilai-nilai bersama Xi dirancang untuk membangun pengaruhnya di kawasan dan pada tatanan dunia".Dengan bantuan OBOR, Beijing berusaha memperluas pengaruhnya tidak hanya secara ekonomi, melainkan juga secara politis dan ideologis.
Â