Mohon tunggu...
Harmen Batubara
Harmen Batubara Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Buku

Suka diskusi tentang Pertahanan, Senang membaca dan menulis tentang kehidupan, saya memelihara blog wilayah perbatasan.com, wilayahpertahanan.com, bukuper batasan .com, harmenbatubara.com, bisnetreseller.com, affiliatebest tools.com; selama aktif saya banyak menghabiskan usia saya di wialayah perbatasan ; berikut buku-buku saya - Penetapan dan Penegasan Batas Negara; Wilayah Perbatasan Tertinggal&Di Terlantarkan; Jadikan Sebatik Ikon Kota Perbatasan; Mecintai Ujung Negeri Menjaga Kedaulatan Negara ; Strategi Sun Tzu Memanangkan Pilkada; 10 Langkah Efektif Memenangkan Pilkada Dengan Elegan; Papua Kemiskinan Pembiaran & Separatisme; Persiapan Tes Masuk Prajurit TNI; Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah; Cara Mudah Dapat Uang Dari Clickbank; Rahasia Sukses Penulis Preneur; 7 Cara menulis Yang Disukai Koran; Ketika Semua Jalan Tertutup; Catatan Blogger Seorang Prajurit Perbatasan-Ketika Tugu Batas Digeser; Membangun Halaman Depan Bangsa; Pertahanan Kedaulatan Di Perbatasan-Tapal Batas-Profil Batas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membangun Warga Desa Tertinggal di Garis Batas

30 Juli 2016   13:46 Diperbarui: 30 Juli 2016   14:20 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mencoba menghubungkan program kementerian Desa Tertinggal ini dengan Kementerian Perikanan dan Kelautan terkait dengan kondisi riel masyarakat Nelayan miskin di berbagai kawasan Nusantara yang direkam oleh penulis Harian Kompas (Akses untuk Perbaikan Kesejahteraan Masih Minim; 6 April 2015). Saya mencoba menghubung-hubungkannya, tetapi hemat saya memang tidak “gatuk”. Cobalah baca realitas para nelayan miskin ini.

Kemiskinan kronis menjerat nelayan di sejumlah daerah di Nusantara. Kesejahteraan mereka secara turun-temurun tak kunjung membaik. Penyebabnya, mereka jauh dari akses untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Kemiskinan telah menjadi bagian hidup nelayan kecil karena penghasilan yang tidak sesuai dengan ongkos melaut serta bergantung pada cuaca.

Cobalah berkunjung ke kampung nelayan Muara Angke, Jakarta Utara, di sepanjang tepi Kali Adem. Nelayan berada di tempat itu sudah lebih dari tiga generasi. Sebagian besar dari mereka adalah nelayan dengan kapal rata-rata berbobot 5 gros ton dan panjang sekitar 6 meter. Kapal ini merupakan kapal motor terkecil. Kapal ukuran ini merupakan kapal yang paling banyak dimiliki nelayan Indonesia. Permukiman nelayan itu berada di atas aliran Kali Adem. Sekitar 200 rumah berukuran 4 meter x 4 meter dibangun dengan topangan pilar-pilar bambu. Dinding rumah terbuat dari tripleks, berlantai papan, dan beratap seng. Sampah rumah tangga, seperti plastik, botol, dan sisa memasak, terlihat menumpuk di bawah rumah itu. Limbah mandi-cuci- kakus (MCK) tiap keluarga juga langsung dibuang ke Kali Adem.

Di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah lain lagi, nelayan mengakui bahwa kehidupan mereka sangat tergantung dengan harga bahan bakar minyak, perawatan kapal serta biaya opreasional. Kelompok nelayan di Indramayu, Jawa Barat, kerap mendapat tangkapan yang minim, hingga kalau lagi apes hanya mendapat Rp 10.000 per orang perhari dan bahkan pernah tidak mendapat uang sama sekali. ”Kalau tidak ada uang, kami berutang biaya perbekalan sama bos,” dan kehidupan seperti itu sepertinya akan terus berjalan. Sulit untuk bisa keluar dari pusaran hidup yang sudah meleganda itu kecuali ada bantuan pemerintah menjadikan kami mampu memiliki sumber-sumber penghasilan.

Para nelayan mengatakan, sulit meningkatkan kemampuan mereka untuk menambah atau membeli kapal dengan kapasitas besar. Mereka mengakui pendidikan mereka sangat rendah. Mulyadi (35), nelayan generasi ketiga di Muara Angke, hanya mencicipi pendidikan sampai kelas III SD. Sekarang ia berusaha menyekolahkan anaknya agar tidak menjadi nelayan lagi. Bagi dia, nelayan identik dengan kemiskinan. Ia menyekolahkan anaknya dengan harapan agar bisa bekerja di luar pekerjaan nelayan.

Darmin (30) melaut sejak lulus SMP. Ia mengikuti jejak ayahnya yang juga nelayan di Muara Angke. Ia lahir dan tinggal di permukiman nelayan tradisional Muara Angke. Menurut dia, hidup bersama anak dan istrinya sekarang tidak banyak berbeda dengan kehidupan ayah dan ibunya dahulu. ”Penghasilan tak pernah bisa ditabung, sedangkan utang selalu saja ada. Yang berbeda hanya permukiman yang semakin padat dan kumuh, sementara penghasilan semakin menurun,” tuturnya.

Kemiskinan nelayan tidak beda dengan warga perbatasan atau pulau-pulau terluar, berbagai persoalan mendasar yang belum terpecahkan sejak dulu telah menjerat mereka dengan jeratan simpul mati. Sebenarnya, para ahli tahu bahwa nasib para nelayan tidak banyak berubah karena keterbatasan akses hulu-hilir, mulai dari permodalan, sarana penunjang, hingga pemasaran produk. Persoalannya tidak ada ahli yang mendesain bagaimana bisa mensejahterakan pawa warga yang termarjinalkan itu. Seperti kita mulai dari awal tulisan ini, bahwa persoalan para warga itu muncul karena mereka tidak mempunyai “sumber” penghasilan, akibatnya mereka tidak mampu untuk menyekolahkan anak-anak nya dan tidak mampu untuk menjaga kesehatannya, karena pelayanan kesehatan langka dan sering tidak terjangkau.Padahal bukannya pemerintah tidak punya dana. Hanya cara memanfaatkannya yang tidak pada tempatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun