Warga bersama-sama menikmati ubi dan ketela yang telah dimasak dengan bakar batu di samping rumah keluarga di Kampung Hepuba, Papua. (Kompas/Wisnu Widiantoro)
Masalah Papua, atau apa yang dialami oleh Papua sesungguhnya tidak beda jauh dengan wilayah Indonesia lain yang juga belum terjamah oleh Pembangunan. Istilah kasarnya, selama ini Indonesia hanya dan “baru peduli” dengan pembangunan di Jawa. Karena memang semua presidennya baru bisa jadi, kalau ia dari suku Jawa. Kedengarannya memang konyol, tetapi itu fakta. Apakah itu berarti sukuisme? Arahnya bukan ke sana. Tetapi karena presidennya dari Jawa, pola atau cara pandang adat Jawalah yang dominan dalam cara pandang bangsa kita mengelola pembangunan di Tanah Air. Apakah itu jelek? Arahnya bukan ke sana. Tetapi sedikit banyak pembangunan nasional kita, menjadi kurang peka terkait budaya lokal.
Nah, mari kita lihat ke Papua? Mari kita lihat permasalahannya. Pembangunan Papua sejatinya sama dengan daerah Indonesia yang tertinggal lainnya. Inginnya proses pembangunan itu menuntut adanya pemahaman menyeluruh tentang kompleksitas permasalahan di Papua. Papua tergolong wilayah yang mempunyai masalah keterisolasian wilayah yang akut. Sudah itu sangat minim infrastruktur. Bayangkan pulau yang besarnya lebih dari 3 kali Pulau Jawa itu infrastrukturnya serba nggak nyambung. Lewat darat nggak bisa, lewat laut dan udara mahalnya minta ampun. Sudah itu “Papua” nggak punya gambaran kapan mereka terbebas dari keterisolasian ini. Andainya gambaran itu ada, semua orang pasti berupaya untuk bersabar menunggunya.
Masalah yang dihadapi rakyat Papua tidak hanya terbatas pada bidang infrastruktur dan perekonomian, tetapi juga mencakup bidang lain. Salah satunya terabaikannya hak-hak dasar sosial budaya orang asli Papua, sejatinya ini juga tidak jauh berbeda dengan wilayah Kalimantan Utara atau Natuna di ujung utara sana. Tapi jadi beda kalau itu di Papua. Juga perusakan dan penghancuran kekayaan alam termasuk tempat-tempat khusus bagi orang Papua; saya pernah bertugas di Papua dan pernah berada di wilayah pusat-pusat permasalahan itu; dan melihat bagaimana kekayaan alam Papua itu dikuliti oleh konglemarasi jahat; maksud saya perpaduan para pengusaha dan pemilik keamanan dan kekuasaan. Masif serta mulai dari kelas teri hingga kelas dunia. Sungguh dan saya ingin mengatakan sejujurnya yang saya tahu tentang Papua; warga Papua itu mulai dari atas hingga ke bawah seolah dan merasa tidak mempunyai teman “Indonesia” yang mau memikirkan nasib mereka. Bahkan para penulis pun hanya mau menuliskan-kulit-kulitnya-saja; nggak ada dagingnya.
Bisakah Jokowi Jadi Bapak Papua?
Saya ingat betul takkala ada pembukaan Sekolah Staf dan Komando (Seskoad) suatu saat dahulu, betapa hancurnya hati seorang Gubernur Papua waktu itu; dia tidak menemukan satu perwira pun dari Papua, sementara ada dua orang dari Papua Nugini. Bagaimana bisa? Dari negeri tetangga diwakili oleh dua orang, sementara dari Papua sendiri, yang notabene pemilik sah negeri ini; nggak ada yang mewakili. Sungguh Jakarta telah membuat diskriminasi yang tiada banding. Dilihat dari kacamata ini, Jakarta sejatinya nggak peduli dengan Papua. Saya pribadi merasakan getirnya perasaan Gubernur itu. Dalam hati, kenapa Gubernur Papua itu diundang, kalau hanya untuk kecewa? Maksudnya barangkali baik, biar sang Gubernur lebih peduli dengan warganya, tetapi apakah pesan itu sampai?
Belakangan ini juga kita kembali mendengar suguhan berita Menkopolhukam dan Menhan yang marah-marah terkait Papua; gubernur dianggap tidak hormat kepada Presiden Jokowi karena sudah dua kali Jokowi berkunjung ke Papua namun Gubernur tidak ada di tempat. “Presiden datang dua kali ke sana, Gubernur tidak ada. Wakil Gubernur juga tidak ada,” kata Menkopolhukan Luhut Binsar Pandjaitan di kantor Kemenko Polhukam, Kompas Selasa (18/8). Sebagai pengamat, saya sangat memahami cara pandang kedua petinggi keamanan dan Pertahanan yang kita hormati itu. Sebaliknya mari kita bertanya dengan “hati” apakah kedua beliau peka dengan kegelisahan Gubernur Papua?
Gubernur sebagai panutan di wilayahnya, selama ini sudah kecewa berat terkait pembangunan smelter Freeport yang tidak jadi di Papua. Bukan itu saja, Gubernur juga sudah kecewa berat karena selama ini (sebelum Jokowi-JK) setelah bertahun-tahun memperjuangkan DRAFT perbaikan OTSUS, akhirnya tidak jadi dibahas. Gubernur juga kecewa atas upaya pendataan dan pengembangan SDA yang ada di tanah Papua namun tidak melibatkan warga asli Papua. Apa yang ingin kita katakan, adalah minimnya respons Jakarta terkait keluhan yang datangnya dari akar rumput di Papua. Gubernur Papua secara administrasi tidak ada bedanya dengan gubernur wilayah tertinggal lainnya. Tapi jangan lupa di daerah lain itu, gubernurnya bisa saja bukan asli wilayah itu. Tetapi Papua? Konstruksi sosialnya sangat berbeda. Kalau hal-hal seperti ini belum juga bisa dipahami oleh para petinggi kita; selamanya komunikasi tidak akan bersambut. Bukan pada salahnya siapa; tapi komunikasi jelas tidak bersambut.
Jokowi Adalah Harapan Papua
[caption caption="papua"]
"Jokowi sudah pernah ke sana, dia sudah berjanji akan menyelesaikan masalah di sana. Dia tidak memiliki latar belakang militer, dia tidak memiliki agenda militer. Kalau ada orang yang bisa menyelesaikan masalah di Papua, saya melihat Presiden Widodolah yang bisa melakukannya," tambah Horta. "Saya juga mendesak kalangan elite di Papua untuk mengambil kesempatan ini, bekerja sama dengan presiden yang baru, guna membuat perubahan yang lebih baik antara Jakarta dan Papua," tambah Ramos Horta, Presiden Timor Leste periode 2007-2012.(Berita Satu, 24 Juli 2015).
Harmen Batubara- CEO wilayahperbatasan.com, wilayahpertahanan.com penulis buku “Papua, Kemiskinan Pembiaran dan Separatisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H