Mohon tunggu...
Harmen Batubara
Harmen Batubara Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Buku

Suka diskusi tentang Pertahanan, Senang membaca dan menulis tentang kehidupan, saya memelihara blog wilayah perbatasan.com, wilayahpertahanan.com, bukuper batasan .com, harmenbatubara.com, bisnetreseller.com, affiliatebest tools.com; selama aktif saya banyak menghabiskan usia saya di wialayah perbatasan ; berikut buku-buku saya - Penetapan dan Penegasan Batas Negara; Wilayah Perbatasan Tertinggal&Di Terlantarkan; Jadikan Sebatik Ikon Kota Perbatasan; Mecintai Ujung Negeri Menjaga Kedaulatan Negara ; Strategi Sun Tzu Memanangkan Pilkada; 10 Langkah Efektif Memenangkan Pilkada Dengan Elegan; Papua Kemiskinan Pembiaran & Separatisme; Persiapan Tes Masuk Prajurit TNI; Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah; Cara Mudah Dapat Uang Dari Clickbank; Rahasia Sukses Penulis Preneur; 7 Cara menulis Yang Disukai Koran; Ketika Semua Jalan Tertutup; Catatan Blogger Seorang Prajurit Perbatasan-Ketika Tugu Batas Digeser; Membangun Halaman Depan Bangsa; Pertahanan Kedaulatan Di Perbatasan-Tapal Batas-Profil Batas Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Papua di Tengah Keterbatasan Sarana Pendidikan

14 Mei 2010   02:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:13 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kalau anda ke Papua, salah satu potensi yang luar biasa dan unik dari kemampuan orang Papua adalah menyanyi,kalau saya bandingkan kebolehan bernyanyi antara orang-orang Maluku,Papua, dan Batak hemat saya nyaris sama, lagu, tarian dan bernyanyi sudah menjadi darah daging bagi mereka. Hanya saja kalau di Maluku dan Batak, saluran untuk itu sudah ada tersedia di berbagai sarana yang ada. Katakan misalnya kedai kopi, lapo tuak boleh dikatakan kedai kopi atau warung-warung yang ada sudah menyediakan organ tunggal atau gitar tunggal dan juga di rumah-rumah ibadah mereka sudah akrab dengan kegiatan serupa, sehingga kapan saja mereka bisa bernyanyi. Tetapi di Papua kondisinya sangat berbeda, sarana kearah itu masih sangat langka. Padahal kalau potensi ini ditangani dengan baik dan inovatif pastilah banyak cara yang bisa dilakukan. Minimal dari kedua daerah ini pasti akan dapat melahirkan penyanyi sekelas Black Brothers, Brury Marantika, Glend fredly, the Pambers, Eddy Silitonga dll yang tidak terhitung jumlah dan hebatnya, dan itu bisa mendunia. Tetapi semua itu, butuh hal-hal yang mendasar, salah satunya sarana pendidikan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusianya.

Saya membayangkan semangat bersekolah di Papua, harus dipadukan antara budaya dan kegemaran mereka, salah satunya adalah berupa padepokan di jawa, atau sejenis pasantren kalau di kalangan islam, mungkin sejenis balai warga untuk papua. Intinya mereka bersekolah, dan sekaligus menggali potensi bakat alamiahnya dalam lingkungan yang mereka suka. Bisa lewat tari, nyanyi dan berburu. Di Balai ini mereka diberi sarana peningkatan gizi yakni dengan memberikan mereka sarapan pagi dan makan siang yang di sediakan oleh balai, begitu juga dengan sarana pakaian mereka, diberi seragam dan sepatu serta perangkat alat-tulis menulis. Kalau ini bisa di wujudkan alangkah hebatnya perubahan yang bakal terjadi, terlebih lagi kalau kita melihat anggaran pendidikan kita yang sudah dinaikkan menjadi 20% dari PDB.

Tetapi alangkah kagetnya, takkala wartawan Kompas Ichwan susanto dan Edna C pattisina ( Kompas, 12/5 ) yang menuliskan realitas sarana pendidikan di Papua, simaklah apa yang mereka tuliskan:

Sarana pendidikan sungguh sangat terbatas, lihat misalnya SD persiapan Gueintuy di Distrik Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua Barat, yang ada sekarangbaru berupa sekolah di balai kampung, ruangnyajuga tidak di sekat, jadipembeda kelas I dan II berdasarkan susunan kursi plastik yang diatur sejajar dengan jarak pemisah tidak lebih dari 1 meter. Di sisi berlawanan, kursi juga diatur sejajar untuk tempat duduk anak kelas III.

Tak ada meja yang digunakan siswa putra-putri asli Papua itu untuk menulis. Mereka menulis hanya beralaskan pada paha masing-masing. Sementara papan tulis hanya disandarkan ke dinding sehingga guru harus berjongkok saat menorehkan kapur tulisnya. SD Persiapan Gueintuy ini dirintis sejak tahun 2000. Pasalnya, di kampung dengan sekitar 80 keluarga ini, sebagian besar anak-anak malas berangkat ke sekolah terdekat di SD YPK Warmare yang jaraknya mencapai 4 kilometer. ”Kalau tidak sekolah sejak SD, mereka tidak akan berpendidikan. Saat besar nanti, mereka hanya akan menghabiskan waktu untuk mabuk. Padahal, orang Papua harus berpendidikan agar cepat maju,”

Kini, untuk sementara SD Persiapan hanya menampung anak-anak kelas I, II, dan III. Untuk kelanjutan kelas IV, V, dan VI hingga SMP dan SMA, mereka harus melanjutkannya ke kota distrik di Warmare. Bersekolah di SD Persiapan itu orangtua siswa tidak ditarik uang sepeser pun. Meski demikian, tingkat kehadiran anak-anak sangat rendah. Dari total 60 siswa, tak jarang yang hadir hanya separuhnya. Penyebabnya, anak-anak malas ke sekolah dan tidak ada dorongan orangtua.

Pemandangan serupa juga terdapat di SD Inpres Sugemeh Amban Manokwari. Di SD yang hanya berjarak 3 kilometer dari kantor Gubernur Provinsi Papua Barat dan kurang dari 400 meter dari Universitas Negeri Papua ini, satu ruangan digunakan untuk proses belajar-mengajar murid kelas I hingga IV. Murid kelas V dan kelas VI juga menggunakan ruangan sama saat siang hari. Kepala SD Inpres Sugemeh Budi Sunarso mengatakan, kondisi ini telah berlangsung sejak sekolah didirikan tahun 1998.

Guru honorer setempat, Lilis Rumansara, mengaku tetap sulit berkonsentrasi saat mengajar. Ia berharap ruang kelas tambahan bagi proses belajar-mengajar segera disediakan. Kini, sebuah ruang kelas memang telah disediakan Pemerintah Provinsi Papua Barat. Namun, ruang itu belum dapat digunakan karena dipakai untuk gudang menyimpan semen dan berbagai bahan bangunan untuk pembangunan dua ruang baru yang disediakan Pemerintah Kabupaten Manokwari. Papua Barat, yang pemerintahannya mulai eksis sejak 2006, berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional 2008, memiliki 777 sekolah dasar negeri/swasta dengan 109.246 siswa. Angka putus sekolah di daerah ini cukup tinggi, yaitu 3,69 persen (2008), atau telah membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 5,28 persen.

Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Manokwari Barnabas Mandacan mengatakan, gambaran kondisi sekolah di Warmare dan Amban seperti yang diuraikan di atas cukup menunjukkan kualitas pendidikan di Papua. ”Saya melihat peningkatan kualitas pendidikan hanya tampak di kota. Di daerah pedalaman, rata-rata guru memang ada, tetapi jarang hadir karena sering di kota dengan berbagai alasan,” ujarnya. Hal-hal seperti ini, kata Barnabas, membuat masyarakat menilai status otonomi khusus beserta seluruh kewenangan dan dana yang diberikan pusat kepada pemda telah gagal dilaksanakan.

Bagaimana membangun Papua kalau perhatian para pimpinan lokal arahnya tidak ke sana, parpol yang ada juga tidak seluruhnya mampu memberikan pendidikan politik yang memadai, yang menonjol adalah rebutan kepemimpinan yang tiada ahir. Kita bisa melihatnya dari mereka yang mengikatkan diri kepada ikatan adat, kemudian para pemegang kekuasaan yang secara formal jadi pimpinan daerah, dan mereka yang punya keinginan untuk mempunyai pemerintahan sendiri. Sayangnya ke tiga poros kekuatan ini tidak bisa saling sinergis, dan malah kerap sekali malah saling berhadap-hadapan. Dengan adanya otonomi daerah, memang tokoh lokal kian menguat, tetapi sayangnya tokoh lokal ini, masih belum mampu menjadi jembatan yang mensinergiskan potensi pusat dan daerah; sehingga program pembangunan yang ada sering terganggu oleh perselisihan paham yang tidak perlu. Nah dalam kondisi seperti itulah program pendidikan makin tidak terperhatikan yang dengan demikian kian menjauhkan semangat untuk meningkatkan kualitas sarana SDM Papua. Papua secara teori potensinya mudah dikembangkan tetapi faktanya, jauh panggang dari api.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun