[caption id="attachment_313386" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/ Kampret (Arif Subagor)"][/caption] Dua hari yang lalu di pagi hari, saya berjumpa dengan beberapa Ibu rumah tangga yang bercerita tentang kenaikan harga elpiji. Ibu ini asyik menyampaikan dampaknya naik harga elpiji terhadap kebutuhan anggaran rumah tangga mereka. Sebagai seorang pendengar yang baik, saya serius mendengarkan keluhan para ibu rumah tangga itu, sesekali saya menyela dengan bertanya kembali kepada mereka mengklarifikasi pernyataan yang saya  kurang pahami. Saya serius mendalami apa yang mereka sampaikan satu persatu, karena saya berpikir, kenaikan ini juga berdampak ke saya, karena  di tempat saya tinggal sudah terlanjur mengganti kompos minyak tanah menjadi kompor gas dengan berbahan  bakar elpiji untuk semua keperluan memasak. Bagi ibu-ibu itu, kenaikan harga elpiji tidak sekedar berdampak terhadap mahalnya harga elpiji, akan tetapi kata mereka, kenaikan ini memicu harga kebutuhan pokok lainnya di pasar lokal. Saya sesungguhnya kaget mendengar berita kenaikan harga elpiji karena tak ada kabar sebelumnya. Umumnya, sebelum kenaikan harga BBM, pemerintah mengumumkan kenaikan harga-harga barang tersebut melalui media massa atau televisi. Tapi kali ini berbeda, pemerintah tidak mengumumkan kenaikan ini, lalu terdengar berita kenaikan harga elpiji dari cakap ibu-ibu tadi. Elpiji yang mau tidak mau, orang-orang sudah memiliki ketergantungan penuh pada tabung gas ini, setelah program konversi kompor dari bahan bakar minyak tanah ke bahan bakar gas beberapa tahun silam. Nah, pada awalnya saya berpikir apa yang didiskusikan ibu-ibu tadi hanya sekedar membesar-besarkan isu untuk mencari sensasi. Akhirnya saya penasaran, setelah saya meninggal perbincangan ibu-ibu itu, saya mencari membuka gadget yang kebetulan ikut terbawa di saku celana saya. Kemudian saya membuka detik.kom dan kompas online. Lalu dari dua informasi berita online, saya membaca laporan detikcom mengkonfirmasi mengenai PT Pertamina menaikkan harga Elpiji 12 kg dari Rp. 5850 per kilogram  naik menjadi Rp. 9.809  per kilogram dan tariff mulai berlaku terhitung tanggal 1 Januari 2014. Setelah saya membaca berita ini, lalu teringat perbincangan ibu-ibu bahwa kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga kebutuhan pokok yang lain. Betapa tidak, kenaikan harga eliji itu tidak saja memainkan peran naiknya kebutuhan pokok lain, kenaikan elpiji ditentukan oleh jarak transportasi dari Jakarta ke daerah tujuan distribusi Elpiji. Kenaikan Bahan Pokok Sesudah membaca berita online tadi, lalu saya menuju pasar, yakni di Pasar Depok Jaya . Seperti biasanya, ketika saya berkunjung ke pasar ini, saya suka membeli Ikan tongkol atau tuna sebagai makanan favorit  saya.  Ketika saya Tanya harganya per kilogram adalah Rp.50.000, padahal di bulan November 2013 harga ikan tersebut masih Rp.35.000 per kilogram. Benar harga ikan telah naik. Lalu saya coba berjalan ke tempat lain untuk membeli gado-gado, ternyata harga sudah naik juga, yang sebelumnya harga Rp 8000 menjadi Rp. 10.000. Betapa saya terkejut atas kenaikan harga ini. Lalu di siang harinya, saya coba jalan ke pasar Minggu, tiba di Pasar Minggu saya membeli bubur ayam, harganya hanya naik Rp.1000 dari harga Rp.9000 dari beberapa bulan lalu menjadi Rp.10000. Saya mengingat kembali topik yang menjadi topic pembicaraan ibu-ibu tadi dengan bertanya apakah benar kenaikan harga ini ada hubungan dengan kenaikan harga elpiji. Belum ada jawaban yang pasti.  Mungkin juga ada hubungan kenaikan harga itu dengan kenaikan elpiji, sebab kenaikan harga elpiji sudah naik sejak 1 Januari 2014, sementara saya berkunjung ke tempat-tempat itu tanggal 2 Januari 2014. Harga Elpiji di Kota lain Kenaikan elpiji memang benar, namun saya menyaksikan kenaikan harga elpiji di tiap daerah berbeda.  Di Jakarta kita bias memperoleh harga elpiji 12 Kilogram saat ini Rp. 177.708 dari harga sebelumnya Rp.70.200. terhitung 1 Januari 2014. Lalu harga tersebut berbeda dengan Di Banda Aceh elpiji 12 kilogram yang sedikit lebih mahal,  dari Rp.100.00 ribu rupiah naik menjadi Rp.150.000  per tabung gas elpiji. Kenaikan harga mengacapi 50% ini tentu merepotkan. Karena beberapa rumah makan Minang di Banda Aceh terancam gulung tikar karena kenaikan harga elpiji. Sementara di Jaya Pura, harga Elpiji dengan ukuran yang sama sudah mencapai Rp.310.000 per tabung. Sesungguhnya kenaikan harga elpiji ini, bagi saya melihat akan memukul orang-orang miskin, karena mereka kemungkinan sulit untuk menjangkau harga yang terlalu mahal.  Selain itu, kenaikan ini juga akan memicu kebangkrutan pedagang kecil seperti warung nasi, pedagang jalanan, karena biaya produksi semakin membebani. Pada akhirnya kita berharap, semoga kenaikan ini tidak berdampak terlalu luas pada orang miskin, dimana pemerintah mencari cara lain untuk menanggulangi masalah ini dan mencari sumber energy baru yang tidak terlalu membebani orang miskin di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H