Aku hanya terbata saja setelah lama tak mendengar berita dari kampung. Kedua Orangtuaku sudah meninggal, juga Abangku dua tahun yang lalu. Abangku, dinikahkan ke pariban kami sebagai obat untuk keutuhan kekerabatan antar keluarga. Panjang lebar kami pun bercengkerama, aku ingin mengetahui bagaimana kehidupan kampung yang membesarkanku itu setelah aku tinggalkan. Aku bukakan jendela rumah, biar tak rancu! Betapa, bulan purnama itu masih bersinar saja. Ada yang berseru dari bulan, "Nunga sae be hutonun uloshu," artinya, sudah selesai aku menenun ulosku, membuat lamunanku seketika buyar. Terbayang sipenenun ulos pada bulan itu ialah paribanku ini.
Tetiba....
"Hanya Ulos lah yang layak dibawa di kematian. Masih kah kamu menolak tenunanku ini?" Bisik si Ibu, anak yang membukakan pintu itu. Anak Abangku, yang anakku juga.
Sekelak aku menemukan kunci kehidupan, hidup ini mesti berpakaian.
"Selimuti jiwaku!" Pintanya. Aku pun terdiam.
Paribanku ingin dihampi ( Aku menggantikan posisi Abangku sebagai kepala rumah tangganya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H