Mohon tunggu...
Harjoko Sangganagara
Harjoko Sangganagara Mohon Tunggu... -

pendidik dan pengamat budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Shanghai Antara Jazz dan Revolusi

17 Oktober 2016   18:28 Diperbarui: 17 Oktober 2016   18:32 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

16 Mei 2007. Dini hari pesawat China Air dengan nomor penerbangan nomor sekian dari bandara Hangzhou mendarat dengan mulus di Shanghai International Aiport. Bangunan bandara sangat besar sehingga memasukinya serasa seperti di dalam mal. Begitu besar dan luasnya seperti bandara Beijing, aku tidak ingat lagi rincian bangunannya. Orang nampak sibuk, hiruk pikuk bersliweran dengan membawa trolley berisi koper tas dan bawaan lainnya. Ini memang kota bisnis yang supersibuk dan mungkin yang terbesar di Cina melebihi kesibukan Hong Kong atau Beijing.

Karena sudah tengah malam atau dini hari kami langsung menuju hotel. Tetapi perjalanan yang agak jauh dari bandara memberi kesempatan padaku menyaksikan pemandangan kota di waktu malam. Kesan pertama : glamour, bercahaya, penuh warna, ramai, tidak pernah tidur, struktur yang massif dan  raksasa. Jalan-jalan bebas hambatan dibuat bertingkat-tingkat, meliuk-liuk, vernakular, seperti menggiring kendaraan yang melaju di atasnya ke satu titik yang menyedot kita entah menuju ke mana. Seperti roaller coaster saja.

Mata yang terkantuk-kantuk pun menjadi nyalang saat mendengar pemandu yang bercerita tentang sektor properti yang dirajai oleh orang-orang Rusia yang menguasai tanah dengan harga termahal mendekati miliaran rupiah per meter persegi. Dan akhirnya kami pun tiba di penginapan. Namun saya lupa nama penginapannya.

17 Mei 2007.

Udara dingin iklim sub tropis dapat kunikmati di pagi hari sambil duduk tenang di lobby hotel. Entah karena berada di tepi sungai Huangpu atau karena tidak begitu jauh dari laut sehingga angin dapat berembus dengan bebas, udara Shanghai (yang artinya di atas permukaan laut) di pagi hari sungguh menyegarkan kulit. Padahal penduduk Shanghai sangat padat melebihi angka 13 juta. Sehingga ada pepatah Cina mengatakan kalau pergi ke Shanghai itu seperti “menonton kepala orang” karena jalan dipadati begitu banyak orang yang lalu lalang nyaris saling bertabrakan sehingga yang nampak hanya kepala nya saja.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan aku bergegas ikut rombongan menuju Shanghai Exhibition Center di wilayah konsesi Perancis karena memang ke sini tujuan utamaku datang ke kota ini. Shanghai secara administratif setara dengan sebuah provinsi atau kabupaten di Tanah Air.  Oh ya meskipun  secara geografis terbelah oleh Sungai Huangpu menjadi dua bagian, yakni Puxi (barat) dan Pudong (timur), Shanghai terbagi  ke dalam tiga area utama Tiga area utama di kota Shanghai adalah French Concessions dan Old City (Kota Tua) yang berada di barat Sungai Huangpu  dan Pudong di timur sungai. Old City di bagian selatan berlanggam China dengan gang-gang, pasar-pasar dan kuil-kuil. French Concessions di bagian barat Old City dan British and American Concessions yang secara kolektif disebut sebagai International Settlement (pemukiman internasional) berada di utara. The Bund yang berada di sepanjang sisi sungai ditandai dengan bagunan-bangunan kolonial yang megah serta dua jalan utama perbelanjaan, Nanjing Lu dan Huaihai Lu. Sedangkan Pudong , distrik yang paling baru berada di sisi timur sungai dan kini menjadi pusat bisnis dangan bangunan-bangunan pencakar langit tertinggi di dunia.

Pada area bekas wilayah Perancis terdapat bangunan tempat pertemuan bersejarah, di mana perwakilan sel-sel komunis China membentuk partai nasional pada 23 Juli 1921. Mereka terdiri dari12 peserta resmi termasuk Mao Zedong. Polisi menemukan tempat ini sehingga para peserta segara diungsikan ke dalam boat di Danau Nan di Zhejiang.

Pudong sampai pertengahan abad ke-20 merupakan bagian kota yang termiskin, dengan pemukiman kumuh dan tempat bagi gangster terkenal Du Yuesheng. Pada tahun 1990 Pudong memperoleh status sebagai Specific Economic Zone dan menjadi tempat gedung-gedung pencakar langit kenamaan di dunia. Di sini pula terdapat The Oriental Pearl TV Tower setinggi 457 m yang menawarkan pemandangan kota Shanghai.

The Bund yang dikenal dengan nama Zongshan Lu adalah jantung kolonial kota Shanghai selain dengan Sungai Huangpu juga dengan hotel-hotel, bank-bank, perkantoran dan klub yang menjadi simbol kebesaran kekuatan komersial Barat. Bangunan-bangunan tua masih berdiri megah, ada yang telah dibangun tahun 1906 seperti The Palace Hotel dan ada pula yang dibangun tahun 20-30 an seperti Hong Kong & Shanghai Bank. Di sisi sungai  terdapat trotoar yang luas dan merupakan tempat yang terbaik untuk menyaksikan lalu lintas sungai dan setiap pagi hari penduduk lokal  melakukan senam (tai chi) di tempat itu.

Sungai Huangpu yang membelah Shanghai mengalir 110 km dari sumbernya, Danau Dianshan dan kemudian melanjutkan alirannya sepanjang 28 km ke bawah untuk bertemu Sungai Yangzi. Selain menyuguhkan pemandangan indah lansekap tepian sungai beserta metropolitan modern Pudong juga dipenuhi dok yang selalu sibuk, boat yang lalu lalang dan paket perjalanan menyusuri sungai selama tiga setengah jam menuju Sungai Yangzi. Orang Shanghai selalu mengklaim bahwa sepertiga perdagangan internasional memasuki Cina melalui Sungai Huangpu yang selalu sibuk abadi.

Shanghai dulu dan sekarang

Sampai tahun 1842 Shanghai hanyalah pelabuhan kecil, tapi sejak pemerintah China menyerah pada keinginan Barat untuk memperoleh konsesi perdagangan maka pelabuhan-pelabuhan di timur China termasuk Shanghai menjadi pos luar negara-negara Barat yang penting. Mereka memperoleh hak ekstra teritorialitas di mana orang-orang Barat boleh tinggal dengan menggunakan hukum negara mereka sendiri. Sehingga orang AS, Inggris dan Perancis memperolah konsesi yang ekslusif dengan sistem pengadilan dan kepoliasian tersendiri. Situasi itu menarik tidak saja para pengusaha, tetapi juga pengungsi, kriminal dan revolusionerian. Campuran ini berpotensi menjadikan Shanghai bersinar dan terseret ke dalam situasi politik yang riuh di antara dua perang dunia yang baru berakhir tahun 1940-an ketika orang-orang asing menyerahkan hak mereka kepada pihak oposisi yang mulai berkembang.

Shanghai juga merupakan destinasi belanja utama di China. Sebelum PD II penduduk asing kota Shanghai yang glamor membutuhkan barang-barang terbaik dan reputasi Shanghai akan kemewahan berlanjut hingga kini dengan toko-toko yang memuaskan selera dan kantong. Shanghai juga kota yang cemerlang secara kebudayaan, dengan pergelaran opera, teater, akrobat, musik klasik dan jazz yang berlanjut. Kehidupan malamnya dipenuhi dengan restoran, bar, cinema dan klub malam yang fashionable. Dengan demikian Shanghai menjadi kota metropolitan yang tidak pernah tidur seperti kesan pertama saya saat menyusuri jalan-jalan yang gemilang dengan sinar lampu antara bandara dan tempat penginapan meski waktu telah melewati tengah malam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun