Paus adalah salah satu hewan yang sangat luar biasa dan mengagumkan. Ada dua hal menarik yang, membetot rasa keingintahuan saya. Pertama, mengapa binatang yang cerdas dan perenang ulung di samudra raya ini, justru sering terempas? Kedua, apakah benar bahwa paus adalah hasil evolusi dari beruang?
Kasus-kasus terdamparnya paus di Indonesia, semakin sering terdengar belakangan ini, terakhir kejadian di Bali. Sejak tahun 1987 hingga 2011 tercatat sudah ada 78 kasus. Menurut para peneliti mamalia laut, yang dibahas dalam Majalah National Geographic Indonesia edisi April 2012, “ada 4 kemungkinan yang menyebabkan paus terdampar. Pertama, karena sakit yang disebabkan oleh parasit atau tercemar logam berat. Kedua, mengalami disorientasi, baik karena pengaruh sonar frekuensi rendah atau karena cuaca yang buruk. Dan ketiga, karena pengaruh bintik matahari dan siklus bulan”.
Saya tidak ingin membahas lebih jauh mengenai ini, saya ingin langsung membahas pada pertanyaan kedua, apakah Paus Berevolusi dari Beruang?
Sampai saat ini, para evolusionis masih kekeuh, bahwa, paus itu berevolusi dari salah satu ras beruang, yang bentuknya mirip seekor anjing. Pemikiran ini bermula ditularkan oleh tulisan Charles Darwin melalui bukunya, The Origin of Species. Meskipun sejak awal penerbitan buku tersebut khususnya masalah evolusi paus ini sudah banyak ditentang oleh para ahli, tetapi tidak sedikit juga yang mendukung.
Saya termasuk orang yang tidak percaya, karena memang tidak ada dasar ilmiahnya. Dan untuk jumlah yang tidak sedikit inilah saya ingin mencoba menularkan pemikiran saya.
Sebagaimana dikemukakan banyak para ahli sebelumnya, bahwa penolakan itu didasarkan pada adanya batasan ketat di dalam informasi genetis yang sudah ada. Variasi di dalam spesies itu dimungkinkan, termasuk juga pada beruang, tetapi variasi ini tidak menambah informasi baru di dalam gen sehingga mengubahnya menjadi ikan paus.
Tetapi Darwin berpendapat berbeda, dia berimajinasi, variasi itu dapat berkembang tanpa batas. Suatu ras beruang, melalui seleksi alam, menjadikannya semakin terbiasa dengan lingkungan perairan, sehingga mulut semakin lebar, sampai akhirnya menjadi paus.
Tentu saja pandangan ini tidak bisa dipertanggungjawaban. Kondisi lingkungan yang berubah tidak bisa diabsorbsi ke dalam informasi genetis. Ini adalah dasar penolakan para ahli di awal penerbitan bukunya Darwin itu.
Saya akan membahas masalah ini, tetapi saya coba kaitkan dengan penelitian baru-baru ini yang dilakukan oleh Alistain Evans dan timnya dari Monash University. Para peneliti, yang terdiri dari 20 ahli Biologi dan Paleontologi itu, yang katanya berhasil mengukur laju kecepatan evolusi pada beberapa kelompok hewan mamalia.
Hasil penelitian yang dipublikasikan baru-baru ini dalam Jurnal Proceedings of The National Academy of Science’s itu cukup menarik. Menariknya, mereka menyimpulkan bahwa perubahan bentuk dari hewan seukuran tikus ke gajah dibutuhkan 24 juta generasi. Sedangkan paus butuh dua kali lebih cepat dari mamalia darat. Sehingga kurang lebih, mungkin, dibutuhkan 12 juta generasi untuk menjadi paus. Artinya, ada 12 juta representasi generasi atau spesies transisi dari beruang ke bentuk ikan paus.
Kalau pendapat Darwin itu benar, bahwa paus itu berevolusi dari beruang. Maka sesuai penelitian Evans dkk, paling tidak dibutuhkan 12 juta generasi. Nah, sekarang mari kita telaah pemikiran Darwin itu, menggunakan perhitungannya Evans.
Serentetan generasi dari beruang hingga menjadi paus itu, bukanlah jumlah yang sedikit. Kalau hipotesis Darwin itu benar, dan penelitian Evans itu itu bisa dibuktikan. Tentunya akan banyak ditemukan timbunan fosil-fosil species hewan transisi sebelum paus itu menjadi beruang. Itu baru hanya dari satu contoh spesies saja, yang produk akhirnya Paus. Lalu bagaimana dengan spesies hewan lainnya yang sama-sama mengalami evolusi? Artinya, betapa luar biasa tebalnya lapisan kerak planet bumi ini oleh timbunan fosil. Sangat, sangat, tebal!. Tetapi, adakah bukti-bukti fosil hewan transisi ini yang ditemukan?
Sehingga tidak heran, jika Darwin pun dalam The Origin of Species pun sempat galau, sebagaimana yang dia tulis secara khusus pada halaman 185. Menurutnya, “jika spesies berasal dari spesies lain melalui perubahan, mengapa kita tidak melihat banyak bentuk transisi di mana-mana?”
Kegalauan Darwin pun beralasan, faktanya, hewan peralihan yang seharusnya jumlahnya luar biasa itu tidak ditemukan di belahan bumi mana pun. Sejak buku ini diterbitkan tahun 1958, hingga artikel ini saya tulis, 27 April 2012, fosil-fosil peralihan itu tidak pernah berhasil ditemukan. Paling tidak dari 12 juta spesies peralihan itu, ada 5 atau 10 atau 20 fosil.
Fakta kedua
Saya mencoba mengikuti logikanya para evolusionis, kira-kira bagian apa yang lebih dulu mengalami perubahan, sebelum beruang itu nyemplung menjadi paus? Mungkin, tubuhnya yang semula dilindungi oleh bulu yang tebal dan lebat, akan mulai berkurang; atau, tangannya yang semula memiliki cakar akan berubah menjadi ada sedikit selaput; atau, kakinya, yang mungkin akan menghilang, dan seterusnya. Dan tentu, masih banyak perubahan-perubahan awal lainnya.
Pertanyaannya, apakah bentuk perubahan awal itu sudah dapat berfungsi dengan baik? Tentu saja belum berfungsi. Perubahan kecil itu tentu bukan suatu kebaikan, melainkan kerugian bagi eksistensi hewan tersebut. Bayangkan, bulu tebal yang dia butuhkan di udara yang dingin, yang notabene masih hidup di darat justru malah berkurang. Cakar yang dia gunakan untuk bertahan hidup melawan musuh alaminya, justru menjadi ditumbuhi selaput. Kakinya, sedikit demi sedikit mulai menghilang yang justru masih sangat dibutuhkan ketika dia hidup didarat.
Perubahan-perubahan kecil (mikro mutasi) ini jelas-jelas sangat merugikan bagi kelangsungan hidup hewan tersebut. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak berguna di tahap awal perkembangan bisa terus berkembang, apalagi diabsorbsi menjadi informasi genetis? Jangankan berkembang, bertahan hidup saja susah. Konklusi yang sama, juga pernah dijelaskan oleh Richard Goldschmidt, seorang ahli genetika dari University of California, dalam bukunya, Material Basis of Evolution. Menurutnya, kumpulan mutasi-mutasi kecil tidak dapat membentuk spesies baru. Variasi yang terjadi bukanlah spesies yang insipien (spesies permulaan).
Dengan demikian, tidak adanya rentetan fosil peralihan yang terkubur di lapisan kerak bumi, membuktikan bahwa hipotesis Darwin mengenai evolusi Paus ini keliru. Lalu, apakah penelitian Alistain Evans itu tidak layak dipercaya? Khusus masalah ini, akan saya bahas pada tulisan terpisah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H