Mengenai alasan susah pembuktian motif, disangkal oleh pendapat bahwa pembuktian nanti bisa digali dalam proses peradilan. Pihak aparat penegak hukum fokus untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh seorang tersangka teroris. Pembuktian motif dapat dilakukan dengan menelusuri bukti adanya unsur jaringan. Jika seseorang melakukan kejahatan teror dan ada bukti tergabung dengan jaringan terorisme, maka unsur motif tersebut bisa dibuktikan.
Dari keterangan jaksa yang hadir dalam rapat pun disampaikan bahwa selama ini motif teroris melakukan kejahatan mayoritas motifnya politik dan ideologi. Ditambah lagi keterangan dari ahli, yaitu Prof. Muladi, bahwa motif politik bermakna crimes againts government.
Adapun dari pihak pendukung frasa motif, alasan kuatnya adalah agar kejahatan terorisme dapat dibedakan dari kejahatan biasa. Kejahatan terorisme termasuk the most serious crime, kejahatan serius sehingga penanganannya berbeda. Tingkat hukumannya pun berbeda. Dikhawatirkan jika tidak dicantumkan frasa tentang motif maka membuka ruang sangat luas masuknya unsur kejahatan biasa pada kejahatan terorisme. Dan, ini berbahaya. Karena setiap orang rentan dituduh sebagai teroris jika tidak ada pembeda dengan kejahatan biasa.
Misalnya, seorang suami mengancam atau berbuat kekerasan pada mantan istri lalu mengancam akan membakar seluruh rumah di suatu perumahan gara-gara masalah pembagian harta gono-gini. Ini jelas masuk ke dalam definisi, yaitu menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan rasa ketakutan luas. Tapi apa iya itu bisa disebut terorisme? Sangat janggal sekali. Itu seharusnya bukan terorisme tetapi kejahatan biasa, dijeratnya melalui KUHP bukan oleh Undang-undang Terorisme.
Ketiga, perdebatan juga terjadi pada apakah kata "gangguan keamanan" ataukah "gangguan keamanan negara". Gangguan keamanan saja sangat luas. Keamanan apa? Keamanan kampung? Berarti jika seorang maling itu jelas mengancam keamanan kampung, bisa disebut teroris juga. Harusnya di situ menggunakan opsi kedua yaitu mencantumkan kata "negara". Namun, disangkal bahwa kata "keamanan" saja sudah termuat di dalamnya pemahaman "keamanan negara", sebab dari awal konsideran sudah menyebutkan bahwa "tindak pidana terorisme membahayakan ideologi negara, keamanan negara, kedaulatan negara, nilai kemanusiaan...dan seterusnya".
Akhirnya disepakati frasa yang dicantumkan di definisi adalah "gangguan keamanan" tanpa kata "negara" karena berpegang pada alasan di atas.
Fraksi-fraksi di DPR selain PDIP dan PKB memilih alternatif kedua yaitu yang mencantumkan unsur motif, dan kedua fraksi tersebut memilih alternatif pertama sesuai dengan usulan pemerintah. Debat terjadi apakah kedua opsi ini harus diputuskan pada rapat Tim Perumus ataukah pada tingkat Pansus dengan Menteri. Ini juga sempat panas, karena wakil dari pemerintah bersikukuh untuk membawa kedua alternatif tersebut ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu pada rapat pansus dengan menteri. Mereka tidak berani memutuskan pada tingkat tim perumus.
Selanjutnya, pada rapat kerja Pansus dengan Menteri Hukum dan HAM, hadir juga Panglima TNI, wakil dari Kapolri, kejaksaan, dan BNPT, aneh bin ajaib seluruh fraksi memilih opsi dua. PDIP dan PKB yang awalnya memilih opsi pertama berbalik arah memilih opsi kedua. Dan, pemerintah pun akhirnya mendukung pendapat seluruh fraksi dengan memilih opsi kedua.
Rapat kerja Pansus dengan Menteri yang saya perkirakan akan alot dan panas ternyata dugaan saya meleset. Malah diwarnai dengan banyak berbalas pantun di antara Menteri dan Ketua Pansus. Menandakan suasana kebatinan antara Pemerintah dan DPR sudah dalam gelombang yang sama. Tidak ada lagi perbedaan tajam tentang definisi ini.Â
Satu hal yang perlu dicatat, adanya definisi tentang terorisme di undang-undang ini adalah terobosan besar, karena tidak banyak negara yang mencantumkan definisi terorisme di undang-undang. Ini akan menjadi nilai positif Indonesia di mata dunia.
Adapun tentang penindakan terorisme, awalnya sangat reaktif, kini paradigmanya sangat proaktif. Tidak lagi fokus hanya pada penindakan, tetapi juga pada pencegahan dan perlindungan terhadap korban. *[HS/Tenaga Ahli Pansus RUU Terorisme]