Pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sudah selesai dengan telah disahkannya RUU tersebut pada rapat paripurna hari ini (25/5/2018). Prosesnya yang cukup lama sempat membuat gaduh karena seakan DPR dan Pemerintah terkesan lambat dalam menyelesaikannya. Saya tak ingin membahas masalah alasan lama atau tidaknya dan siapa yang membuat lama. Sudah tuntas masalah ini.Â
Satu hal yang menjadi catatan dan perlu disimak adalah perdebatan seputar definisi terorisme. Definisi ini sudah dirumuskan sejak bulan April 2018, namun karena tiba masa reses maka pembahasannya ditunda hingga 1 bulan dan dilanjutkan pada saat masa sidang pada bulan Mei. Di antara jeda itu terjadilah peristiwa terorisme di beberapa tempat secara beruntun.Â
Hal ini menyebabkan semua pihak seakan ingin mencari "kambing hitam" dan semua pihak menjadi sangat concern terhadap definisi terorisme ini yang dinilai penyebab terlunta-luntanya pembahasan RUU. Padahal, kalau melihat dinamika pembahasan pasal-pasal yang lain, masih banyak materi lain yang pembahasannya lebih lama daripada pembahasan definisi. Misalnya tentang lama waktu penangkapan dan penahanan, pembahasannya berbulan-bulan. Namun karena beririsan dengan momen tadi, definisi menjadi sangat seksi.
Densus 88 bahkan sempat menolak adanya definisi padahal Kapolri sendiri telah menyampaikan rumusan definisinya. Ini juga yang mewarnai pembahasan perdebatan tentang definisi menjadi alot.
Pada rapat 23 Mei 2018, semua fraksi menyampaikan pandangannya mengenai definisi terorisme. Debat panas disertai berbagai argumentasi tak dapat dihindarkan. Bahkan ada momen di antara anggota sesama fraksi berbeda pendapat.
Di antara anggota fraksi Gerindra bahkan sempat berseberangan pendapat yang membuat semakin panasnya pembahasan. Dialektika seperti ini sudah biasa saya saksikan. Karena memang harus seperti itulah pembahasan norma undang-undang. Lembaga legislatif jangan hanya sebagai lembaga stempel, asal bilang "setuju", tapi harus mengkritisi dan mengkoreksi banyak hal tentang kebijakan yang akan diterapkan oleh eksekutif.Â
Berikut adalah dua opsi definisi terorisme:
Rumusan Definisi Alternatif I:
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Rumusan Definisi Alternatif II:
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Pertama, ide besar harus adanya definisi adalah agar terorisme dapat diidentifikasi secara jelas dan tidak ada sentimen terhadap kelompok tertentu. Hal ini disampaikan dalam pidato Ketua Panitia Kerja (kebetulan saya yang membuat naskah pidatonya). Jika tidak ada definisi, maka kita seakan mengejar kejahatan yang tidak jelas, seperti mengejar hantu.Â
Di pihak lain, yang tidak setuju pada adanya definisi alasannya karena definisi terorisme sangat banyak. Jika dikumpulkan lebih dari 100 definisi dari berbagai sumber dan dari berbagai negara. Dan, negara yang mencantumkan definisi terorisme dalam undang-undang sangat sedikit.
Kedua, perdebatan terjadi terutama pada frasa "motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan". Pihak pemerintah bersikeras untuk tidak memasukkan frasa motif ini dengan alasan sudah ada kesepakatan di antara para lembaga terkait pada saat rapat terbatas untuk tidak mencantumkan motif di batang tubuh undang-undang. Motif akan dimasukkan pada Penjelasan Umum.
Dari berbagai diskusi, alasan tidak mau dicantumkan tentang motif pada batang tubuh adalah karena dikhawatirkan akan membatasi ruang penyidik dalam memburu para teroris, karena susah untuk membuktikan motif seseorang. Alasan lainnya adalah, jika dicantumkan motif politik atau motif ideologi, maka harus ada pasal khusus yang menerangkan mengenai bagaimana cara menentukan suatu perbuatan termasuk ke dalam motif politik atau motif ideologi. Dalam pasal-pasal yang sudah dibahas tidak ada pasal mengenai itu diterangkan. Ini dikhawatirkan menjadi ambigu.