Mohon tunggu...
Harja Saputra
Harja Saputra Mohon Tunggu... profesional -

http://www.harjasaputra.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sikap Anas Menunjukkan Perang Bratayudha Sudah Dimulai

8 Januari 2014   13:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:01 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap Anas yang menolak untuk datang ke KPK bagi orang umum akan dinilai sebagai sikap pembangkangan. Namun bagi orang yang ahli strategi dan ahli negosiasi sikap ini menunjukkan bahwa perang besar mulai dikobarkan olehnya.

Henry Mintzberg dalam bukunya, Strategy Safary, pernah mengutip pendapat dari Harold Nicholson bahwa konflik dan konfrontasi adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, karena meningkatkan emosi. Untuk menghindari tersebut, orang akan selalu berusaha untuk bersikap baik dan memikat siapa saja yang ada di sekelilingnya, berharap sikap itu akan membawa respon yang baik. Tetapi pengalaman sering membuktikan logika ini salah: orang yang Anda layani dengan baik akan menilai Anda sebaliknya. Mereka akan melihat Anda lemah dan mudah dieksploitasi. Diperlakukan baik tidak otomatis mendatangkan ucapan terima kasih tetapi menciptakan yang lain: anak yang manja atau seseorang yang membutuhkan belas-kasihan.

Bagi mereka yang percaya bahwa kebaikan akan membawa kebaikan akan banyak kalah dalam segala jenis negosiasi. Tujuan perang adalah untuk menciptakan pengaruh dengan membuat nightmare bagi lawan. Jika Anda mudah untuk menekan keinginan dan memunculkan kepercayaan dengan bersikap baik, hal itu hanya memberikan peluang bagi mereka untuk memanfaatkan kebaikan Anda. Itulah sifat manusia. Selama berabad-abad, mereka yang bergelut dengan perang telah mempelajari pelajaran ini dengan cara yang keras.

Ketika sebuah bangsa mengabaikan prinsip ini, hasilnya seringkali tragis. Pada Juni 1951, misalnya, militer AS menyerang secara keras melawan gerakan Pembebasan Rakyat China di Korea karena China dan Korea Selatan terdapat sinyal untuk siap melakukan negosiasi. Kedua negara ini mengadakan pembicaraan namun pada saat yang sama mereka mempersiapkan penyerangan dan memperkuat pertahanan. Ketika negosiasi gagal dan perang berlangsung kembali secara lebih keras. Itu artinya, ketika perang sudah dinyatakan, tak ada lagi ruang untuk negosiasi. Perang ya perang.

Pola ini terjadi juga dalam peperangan Vietnam dan terjadi dalam beberapa kasus pada Perang Teluk tahun 1991. Pasukan Amerika datang untuk mengurangi kerusakan, mengakhiri peperangan secepatnya, dan menggalang perdamaian. Negosiasi pun dilakukan namun akhirnya berujung dengan kegagalan. Pada kasus ini, berusaha untuk mendamaikan dan menyelamatkan malah memicu perang yang lebih luas, lebih banyak pertumpahan darah dan tragedi.

Dari tiga perang tersebut, pelajarannya sederhana: dengan usaha yang terus menerus dengan melancarkan serangan, hal itu akan memaksa musuh-musuh untuk takluk. Memposisikan diri pada posisi yang sekuat mungkin dan dapat memenangkan perang. Inilah strategi yang sedang dilancarkan Anas. Ya, "perang".

Anas dalam hal ini juga sedang memainkan peran sebagaimana Charles de Gaulle lakukan. Apa itu?

Pada bulan Juni 1940, segera setelah Jerman menghancurkan pertahanan Perancis dan pemerintah Perancis menyerah, Jenderal Charles de Gaulle terbang ke Inggris. Dia berharap mengamankan dirinya di sana sebagai pemimpin Kemerdekaan Perancis, sebagai lawan dari penaklukan yang dilakukan Jerman.

Charles de Gaulle tidak pernah bersikap menyerah ketika di Perancis. Dari awal de Gaulle menampilkan dirinya sebagai satu-satunya orang yang dapat menyelamatkan Perancis setelah kekalahannya. Dia menyiarkan pidato ke wilayah Perancis melalui radio. Dia mengunjungi Inggris dan Amerika, menunjukkan maksud dia, memperagakan seakan-akan dia Joan of Arc (sosok legendaris dari cerita rakyat Perancis). Dia melakukan kontak penting untuk keberlangsungan Perancis.

PM Inggris, Winston Churcill, dan presiden AS waktu itu, Franklin Roosevelt, mengagumi de Gaulle. Namun kesan yang mereka tangkap adalah: de Gaulle sebagai seorang yang arogan.

Waktu berlalu dengan beberapa proses negosiasi. Namun respon de Gaulle selalu sama: dia tidak pernah kompromi. Dia tidak akan menerima apapun. Dalam proses negosiasi dia terkadang pergi dari proses negosiasi, semuanya menjadi sangat jelas bahwa baginya semua dianggap tidak ada apa-apa. Pada akhirnya dua pemimpin besar itu memberikan apa yang dia inginkan. Kini namanya bahkan dikenang sebagai salah satu nama bandara di Perancis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun