"Waduh pak..pertanyaan ini sederhana tapi saya juga bingung jawabnya..tidak terpikir malah oleh saya. Nanti saya tanyakan dulu ya pak ke rekan lain yang memang tuna netra dari bayi. Saya kan tuna netranya pas sudah dewasa."
"Kalau yang tuna netra dari dewasa bagaimana?"
"Tuna netra yang dari dewasa atau remaja tentu punya gambaran karena sudah pernah melihat. Seringnya kalau saya bukan membayangkan tapi merasakan. Saya bisa tahu suasana pantai misalnya yang sejuk karena merasakan bukan membayangkan: merasakan angin yang bertiup di pantai, bau udaranya juga berbeda, pasir yang diinjak pun beda."
"Terus tahunya wanita cantik?"
"Ya diraba dong pak. Lalu muncul bayangan dan dicocokkan ke gambaran tipe cantik yang dulu sebelum menjadi tuna netra."
"Ya masa semua orang harus diraba pak?"
"Hahhahaa..iya dong pak. Kalau untuk orang lain ya jelas susah. Tapi minimal dari baunya.
Itu sekelumit cerita yang bisa saya sajikan mengenai sisi kehidupan tuna netra. Sekembalinya Pak Muri setelah memijat, akhirnya saya bergumam di hati: "Alhamdulillah saya bersyukur sampai saat ini bisa melihat. Susah untuk membayangkan bagaimana saya bisa hidup dalam kegelapan permanen. Gelap karena mati listrik sebentar saja rasanya tidak menentu."**[harjasaputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H