[caption id="attachment_307962" align="alignnone" width="630" caption="Fajroel Rahman membahas buku Ahok untuk Indonesia (harjasaputra)"]
![1400725990277339391](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1400725990277339391.jpg?t=o&v=555)
[caption id="attachment_307963" align="alignnone" width="630" caption="Nurul dan Fajroel (harjasaputra)"]
![14007260491226853265](https://assets.kompasiana.com/statics/files/14007260491226853265.jpg?t=o&v=555)
Di antara paparannya yang lain, Fajroel pun melakukan sedikit kritik terhadap buku tersebut. Menurutnya, judul bukunya "Ahok untuk Indonesia" tapi ia mencari-cari adakah tulisan yang membahas khusus mengenai harapan atau kemungkinan Ahok untuk jadi presiden atau wakil presiden, namun ia tidak menemukan hal itu.
Fajroel juga mengemukakan bahwa tulisan yang tertuang dalam buku "Ahok untuk Indonesia" bukan seperti tulisan di halaman opini Kompas yang selalu menonjolkan bahasa yang kaku, biar terkesan akademis. Tulisan Kompasianers dalam buku lebih cair, keluar dari pakem seakan-akan biar terlihat pintar, sehingga lebih menarik.
"Saya juga penulis seperti para Kompasianers. Namun saya menulis di Opini Kompas yang bahasanya sangat serius. Sering juga membaca Kompasiana meskipun memang bukan sebagai penulis di situ, terutama setelah muncul tulisan dari penulis semacam Jilbab Hitam, tulisan mengenai tindakan plagiat dosen senior UGM, dan tulisan-tulisan unik lainnya", ujarnya.**[harjasaputra]
[caption id="attachment_307970" align="alignnone" width="630" caption="Michael Sendow pada sesi diskusi (harjasaputra)"]
![1400727008159080654](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1400727008159080654.jpg?t=o&v=555)
[caption id="attachment_307971" align="alignnone" width="630" caption="Heidy Sengkey pada sesi diskusi (harjasaputra)"]
![1400727099267204551](https://assets.kompasiana.com/statics/files/1400727099267204551.jpg?t=o&v=555)