[caption id="" align="alignnone" width="624" caption="Stiker Pendaftaran Pemilih | Kompasiana (Kompas.com, Roderic Adrian M)"][/caption] Tulisan ini masih terkait dengan tulisan sebelumnya, yaitu bagaimana pengalaman saya terlibat langsung sebagai pelaku pengawal suara dan koordinator tim sukses selama dua periode pemilu. Sengaja saya tuliskan secara lengkap berbagai bentuk praktek kecurangan dalam pemilu karena sebentar lagi Pilpres. Kecurangan pada Pilpres modusnya hampir sama dengan Pileg, karena proses dan sistemnya sama. Proses dan sistem pemilu di Indonesia masih banyak celah untuk dilakukan kecurangan. Nanti akan terlihat jelas di mana saja kecurangan itu dapat dilakukan. Ini penting dipahami bagi siapa saja yang terlibat dalam pemilu, baik sebagai penyelenggara pemilu maupun bagi para tim sukses. Kecurangan pada pemilu dapat terjadi di semua lini, sejak dari TPS hingga suara digiring ke KPUD dan KPU Provinsi, tetapi ada yang kadar kecurangannya mudah dideteksi dan ada yang susah dideteksi. Bagi yang pengalaman, tentu mereka akan bermain di level "kecurangan yang susah dideteksi" atau istilahnya kecurangan yang safe and secure. Tulisan ini akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kecurangan pada pra-pencoblosan, hari pencoblosan, dan pasca-pencoblosan (di-posting menjadi dua bagian). A. Pra Pencoblosan 1. Kongkalikong dengan Panwas Panwas juga manusia, punya sisi gelap yang bisa dimanfaatkan. Panwas yang seharusnya mengawasi proses pemilu seringkali terjebak sebagai aktor pelanggar pemilu. Ini mudah ditemui dan saya lihat sendiri: bagaimana keberpihakan panwas yang 'kejam' hanya pada pihak yang tidak memberikan upeti tetapi 'fleksibel' pada pihak pemberi upeti. Bahkan mereka menawarkan diri. Contohnya adalah pada pemasangan alat peraga kampanye. Dalam aturan jelas tertulis bahwa dalam pileg misalnya alat peraga tidak boleh ditempatkan di zona-zona terlarang, seperti jalan protokol, fasilitas umum, dan tempat yang dilarang lainnya. Tetapi, di Mataram contohnya, di jalan protokol terpampang besar billboard berukuran segede gaban yang menampilkan gambar seorang caleg lengkap dengan nomor urutnya. Tapi jika yang tidak memberikan upeti, jangankan di jalan protokol, di jalan kampung saja langsung dicabut. Pernah suatu kali ada tim saya yang lapor bahwa baliho yang dipasang di dekat rumahnya diancam akan dicabut oleh panwas tingkat desa. Malam harinya si panwas itu mendatangi rumah tim saya. Meminta sejumlah uang jika ingin tidak dicabut. Saya tolak. Kalau dicabut biarkan saja tapi untuk memberikan uang nanti dulu. Kongkalikong dengan panwas bukan hanya dilakukan pada kegiatan pemasangan alat peraga, tapi juga pada saat pencoblosan dan pasca-pencoblosan. 2. Money Politics Ini yang parah. Money politics tidak bisa dihindari di era demokrasi liberal. Sistem demokrasi kita memiliki lubang yang sangat lebar untuk memungkinkan para peserta pemilu melakukan praktek politik uang. Siapa yang punya uang dialah yang akan menguasai pemilih. Hal ini didukung oleh budaya kita yang semuanya diukur oleh materi. No free lunch dude. Ke toilet saja bayar, belok di pertigaan juga bayar, hadir di undangan harus ngasih amplop, dan banyak lagi budaya-budaya kita yang jika dilihat sepintas seolah wajar tapi menyimpan benih kapitalisme. Apalagi dalam pemilihan umum, suara diukur oleh besaran rupiah. Berapa besar dana yang diberikan, siapa yang memberikan lebih besar dialah yang dipilih. Suara dengan sendirinya merupakan komoditas yang diperjual-belikan. Tak heran jika banyak makelar-makelar politik dadakan yang menawarkan suara ribuan. Karena begitulah adanya. Berapa kisaran harga untuk satu suara? Bervariasi, berbeda-beda untuk setiap daerah dan berbeda-beda juga untuk setiap tingkatan calon. Di NTB, misalnya, di Dapil yang jumlah suaranya sedikit, money politics untuk DPRD tingkat II di kisaran harga 200 sampai 300 ribu rupiah. Adapun untuk DPRD tingkat I di kisaran harga 100 sampai 150 ribu. Bagi DPRD I yang hanya memberi 50 ribu rupiah banyak yang hangus suaranya tertimpa oleh yang memberi lebih besar. Sementara untuk tingkat DPR-RI (Pusat) di kisaran harga 30 hingga 50 ribu rupiah. Untuk DPR Pusat lebih kecil karena target suara yang lebih besar: 100 ribu sampai 200 ribu suara. Dengannya jika target 100 ribu suara maka harus siap 5 milyard. Itu pun harus dilipatgandakan menjadi 10 milyard karena mengantisipasi target tidak tercapai. Ada angka error di setiap tindakan. Money politics ini juga ada trik tersendiri. Jika salah timing maka tetap akan gigit jari: memberi pada saat jauh-jauh hari pada pemilih akan ditimpa oleh pemberian lain. Pemilih umumnya akan melupakan yang lama. Memori manusia cenderung hanya akan ingat pada yang terakhir. Money politics biasanya dilakukan di H-1. Malam sebelum pencoblosan sampai pagi hari sebelum pemilih berangkat ke TPS di situlah amplop beredar ke tiap rumah. Siapa yang melakukan ini? Tim sukses, tidak mungkin calegnya langsung. Di banyak wilayah, bahkan panwasnya juga ikut membagikan. Dengannya caleg susah untuk dijerat, karena tim sukses atau orang lain yang membagikan. Kecuali ada bukti yang menguatkan, seperti kartu nama caleg yang diselipkan di dalam amplop. Tanpa itu susah untuk membuktikannya. Hal ini sudah diantisipasi dari awal, tim sukses umumnya sudah dikasih arahan untuk tidak memasukkan kartu nama caleg ke dalam amplop. Diberikan secara terpisah dengan amplop. Banyak cara untuk berbuat licik. Ada lagi cara lain yang dinilai oleh para caleg lebih aman. Money politics dilakukan dua tahap: sebelum pencoblosan dan sesudah pencoblosan. Pemilih diberikan uang sekadarnya dulu pada saat H-1 dan jika dapat menunjukkan bukti bahwa ia sudah mencoblos nama dirinya, yaitu berupa foto, maka pemilih akan diberikan uang lebih besar. Ini terjadi di Jawa Tengah menurut teman-teman saya yang dapil bosnya di sana. Ini relatif lebih cerdas, karena memberi sesudah pencoblosan akan menang ketika dalam perdebatan ditanya, tinggal dijawab: "ngasih setelahnya kok, anggap saja itu uang untuk ongkos bukan membeli suara. Beli itu kan uangnya duluan". See..selalu ada cara untuk curang. Bagaimana dengan Pilpres, apakah akan ada perang money politics lagi? Tetap ada meskipun tidak sederas di Pileg. Dari pengalaman pilpres 2009 umumnya bukan Capres yang keluar uang. Melainkan caleg-caleg yang sudah diputuskan menang oleh KPU-lah yang akan keluar uang serta para pengusaha yang menjadi sponsor. Di setiap daerah ada saja pengusaha yang jadi sponsor. Tak kalah menarik adalah para penjudi yang siap bertanding memenangkan jagoan yang menjadi taruhannya. Untuk para caleg terpilih atau anggota dewan yang sedang menjabat, ada semacam tugas dari partai masing-masing untuk mensukseskan capres yang didukung oleh partainya. Caleg terpilih dibebani tugas oleh partai dan umumnya disertai beban pendanaan sendiri. Atau dana dari partai yang dikumpulkan dari iuran yang ditarik secara rutin setiap bulannya. B. Kecurangan Pada Saat Pencoblosan 1. Kecurangan di Tingkat TPS (KPPS) Ini yang paparannya agak panjang karena melibatkan banyak pihak. Pada saat pencoblosan adalah kecurangan yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah berpengalaman, karena relatif lebih aman dibanding harus bermain setelah pencoblosan di PPS (Panitia Pemungutan Suara Tingkat Desa), PPK (tingkat kecamatan), atau ketimbang bermain di KPUD. Kenapa relatif lebih aman? Permainan di PPS, PPK dan KPUD lebih beresiko karena mempermainkan rekap. Selain itu, basis rekap dari PPS, PPK dan KPUD adalah harus mengacu ke rekap TPS (C1). Jika ada ketimpangan data di PPS desa misalnya tetap saja data yang di TPS acuannya. Terutama data C1 Plano. Mengendalikan Formulir Undangan Pemilih (C6) Kecurangan ini saya masukkan di sini, harusnya di poin sebelum pencoblosan, hal ini sengaja untuk memudahkan melihat peran KPPS (panitia pemilihan di tingkat TPS) yang sangat penting. Kecurangan pemilu yang banyak dilakukan adalah dengan melibatkan KPPS di tingkat TPS. Ini permainan yang banyak dilakukan. Ketua dan anggota KPPS yang jumlahnya 7 orang (ditambah 2 orang Linmas/Hansip) adalah ujung tombak dari permainan pada pemilu. Jabatan Ketua KPPS dengan sendirinya adalah jabatan yang banyak dikejar oleh masyarakat di tingkat desa. Jabatan ini umumnya diisi oleh tokoh masyarakat. Permainannya halus, tidak seperti di PPS atau PPK maupun di KPUD. Modus kecurangan yang dilakukan oleh KPPS adalah mengatur undangan pemilih (formulir C6). Formulir C6 diberikan oleh KPPS seharusnya pada semua orang yang terdaftar pada DPT. Tetapi tidak demikian adanya. Kebanyakan KPPS sudah bermain, karena sebelumnya sudah ada deal dengan pihak yang berkepentingan. Jangan heran kalau sebelum pencoblosan, rumah-rumah makan atau hotel penuh dengan pertemuan caleg/partai yang isi pesertanya adalah para ketua KPPS. Di Pilpres pun akan seperti itu. KPPS akan dikondisikan lagi. Formulir C6 diberikan kepada masyarakat dengan pilihan: siapa saja yang dianggap mampu dikendalikan maka undangan itu disampaikan. Undangan juga disampaikan jika masyarakat yang bersangkutan memiliki potensi protes. Agar tidak ribut nantinya. Adapun bagi lansia atau pemilih yang tidak bisa dikendalikan undangan tidak akan diberikan. Jika protes, mereka tinggal bilang tidak ada di list DPT. Karena tokoh masyarakat, umumnya masyarakat enggan untuk protes lebih jauh. Beda lagi jika KPPSnya bukan tokoh masyarakat, ribut akan terjadi. Karena dikendalikan oleh KPPS maka akan banyak sisa formulir C6. Di sinilah permainannya. Sisa formulir C6 diberikan kepada tim khusus. Satu orang bisa dapat 3 bahkan 5 undangan, artinya satu orang bisa mencoblos lebih dari satu kali, karena punya lebih dari satu undangan. Sisa formulir C6 itu akan disisakan sedikit, tidak dihabiskan. Untuk alasan bahwa ada masyarakat yang meninggal atau sudah pindah..**[harjasaputra] Membongkar Kecurangan pada Pemilu Bagian 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H