[caption id="attachment_329805" align="alignnone" width="640" caption="Kompasianival tahun lalu (foto: dhave danang)"][/caption]
Apa kesan pertama ketika mendengar kata Kompasianival? Banyak kesan. Sebagai ajang kopdar akbar Kompasianer, ketemu dengan tokoh-tokoh nasional (di Kompasianival tahun lalu bisa ketemu dengan Ahok, penulis buku Ahmad Fuadi dan tokoh lain; di Kompasianival 2 tahun sebelumnya bisa ketemu dengan Jusuf Kalla, melihat dari dekat Musikimia), dan yang selalu heboh adalah ajang favorit-favoritan. Ini yang bikin Kompasiana menarik.
Saya sendiri, bukan bermaksud pamer, bersyukur dua tahun berturut-turut masuk dalam nominasi Kompasiana Award (tahun kemarin masuk nominasi kategori Jurnalis Warga dan tahun ini Kompasianer of The Year). Tidak ada usaha saya sama sekali untuk mendekati Admin agar saya terpilih. Saya pastikan itu. Meskipun pada Kompasianival tahun lalu sempat ada isu miring, karena banyak anggota komunitas Kampret (Kompasianer Hobi Jepret) yang masuk ke dalam nominasi. Diisukan karena ada Admin yang aktif di komunitas itu sehingga dicurigai ada kongkalikong. Namanya prasangka sah-sah saja, tapi mbok ya nggak gitu-gitu juga kaliii...!
Di tahun ini pun ajang favorit-favoritan bakal seru, penilaian negatif tentu saja ada: terutama mempertanyakan alasan admin dalam menentukan seseorang sebagai nomine. Itu selalu ada di setiap Kompasianival. Hal yang wajar, karena bagaimanapun kita tidak bisa memuaskan semua orang. Kritik dan ketidakpuasan pasti selalu ada.
Apa enaknya masuk nomine favorit-favoritan di Kompasiana? Jujur, kalau saya boleh milih, saya lebih baik tidak masuk nominasi, ini bukan basa-basi. Agak canggung saja jadinya dalam berinteraksi sesama Kompasianers. Seolah ada beban. Â Tapi, untuk mengundurkan diri, pun bukan hal yang baik. Semua saya serahkan pada Admin yang memiliki legitimasi penuh di Kompasiana. Tentunya, ada mekanisme yang dijalankan, hal itu pun sudah disosialisasikan kepada Kompasianers.
Apa yang mau saya jelaskan dalam tulisan ini? Hanya satu harapan. Bukan untuk membujuk para pembaca supaya memilihsaya. Meskipun untuk membujuk pun sah-sah saja sebetulnya. Tapi tulisan ini bukan untuk itu. Dari perhelatan Kompasianival beberapa tahun lalu, gejalanya selalu sama: ada yang tidak puas lantas mutung tidak mau lagi menulis di Kompasiana. Ada juga yang seolah mem-bully seseorang yang dianggap tidak layak masuk nominasi. Mudah-mudahan di Kompasianival kali ini hal itu tidak terjadi. Itu harapan saya.
Untuk menulis atau tidak menulis di Kompasiana adalah hak setiap orang. Puas atau tidak puas adalah hak bagi setiap orang juga. Namun, jangan sampai karena Kompasianival hal itu terjadi. Kompasianival yang tujuannya untuk lebih mempererat hubungan antar Kompasianers menjadi kontra-produktif, membuahkan hasil yang sebaliknya. Beda lagi cerita jika dalam kasus Titi pada Kompasianival dua tahun lalu. Hal itu karena menyangkut pemalsuan identitas.
[caption id="attachment_329810" align="alignnone" width="640" caption="Kang Pepih di Kompasianival dua tahun lalu (harjasaputra)"]
Dalam memilih orang atau mengidolakan yang sifatnya sosok tentu sifatnya subjektif. Ini kelemahan sistem idol-idolan. Apakah tulisan yang banyak memanen hits hingga ribuan adalah indikator dari tulisan bagus? Belum tentu. Posting esek-esek lebih cocok menempati posisi pertama jika indikatornya hits. Apakah banyaknya komentar dan saling sapa-sapaan indikator utama untuk kita memilih seseorang? Belum tentu juga. Banyak hal yang tentunya dipertimbangkan.
Sebagai website dengan basis Users Generated Content, kontenlah yang seharusnya menjadi patokan. Kualitas tulisan harus menjadi patokan utama dalam penilaian. Bayangan saya: lebih baik yang dinominasikan adalah bukan penulisnya tetapi tulisannya. Lebih cocok dengan basis web Kompasiana. Tetapi, hal ini pun akan membingungkan, jika demikian apa bedanya dengan lomba blog yang sering diadakan oleh Kompasiana. Lomba bagus-bagusan konten pun diadakan juga dalam rangka menyambut Kompasianival. Selain itu, antara tulisan dan penulis tidak bisa dibelah dua. Kadang identik. Ribet juga kalau yang di-vote adalah tulisan.
Ini semua menyadarkan kita bahwa memang tidak mudah dalam menentukan suatu standar untuk memilih siapa saja yang masuk nominasi favorit-favoritan di Kompasiana. Sangat tidak mudah.
Saya mencoba memahami bagaimana stresnya Admin menjelang perhelatan Kompasianival. Menurut obrolan dengan salah satu admin, pada hari-hari biasa saja ketika ada Kompasianer yang mengeluh atau ribut-ribut karena suatu kasus hal itu memicu stres pada Admin. Ada semacam ketakutan pada Admin ketika Kompasianers protes. Ini hal yang wajar. Sama dengan petugas Customer Service pada suatu perusahaan, yang menurut berbagai penelitian, tingkat stressnya lebih tinggi daripada pegawai lain. Resiko pekerjaan selalu ada.
So, masih ribut-ribut masalah Kompasianival? Bukan berarti tak boleh protes lho ya, tapi lebih baik mari menciptakan konten-konten yang lebih berkualitas ketimbang ribut-ribut.**[harjasaputra]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H