Mohon tunggu...
harjanto halim
harjanto halim Mohon Tunggu... -

SMA Karangturi 1984 UC Davis USA 1990

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sekeping Peluang

20 Mei 2018   05:40 Diperbarui: 20 Mei 2018   05:41 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

1174. SEKEPING PELUANG

Saya menjadi pembicara dalam sebuah seminar dan peluncuran buku tentang peran etnis Tionghoa di Indonesia. Tak dapat dipungkiri, etnis Tionghoa adalah sebuah anomali di tanah air. Peran dan partisipasinya semenjak jaman Kemerdekaan, bahkan semenjak jaman Sumpah Pemuda selalu ada, namun tidak pernah tercatat, apalagi terucap. Banyak tokoh Tionghoa menjadi anggota BPUPKI: Oei Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoei, Tan Eng Hoa, dan Liem Koen Hian; tapi adakah yang mengingat nama-nama itu?

Etnis Tionghoa di Indonesia selalu diidentikkan sebagai mahluk ekonomi, penguasa bisnis dari hilir sampai mudik, konglomerat super kaya, golongan Vreemde Oosterlingen (orang Timur Asing) yang eksklusif. Benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Memang ada orang Tionghoa yang kaya, tapi banyak juga yang miskin. Coba lihat saat menjelang Tahun Baru Imlik di kelenteng di Pecinan. Ratusan warga keturunan Tionghoa dari kalangan tidak mampu, mengantri panjang hingga pagar luar untuk mendapat angpao dari pengurus kelenteng. Coba tatap wajah-wajah sendu mereka. 

Atau coba lihat kehidupan masyarakat Tionghoa di Benteng, Tangerang atau di Singkawang, Kalimantan Barat. Anda akan terkejut melihat orang Tionghoa berkulit hitam legam tengah mencangkul di sawah atau orang-orang Tionghoa tengah mandi di pinggir kali. Hahh??? Mosok?? Sebaliknya, banyak etnis lain yang kaya raya, hidup bergelimang kemewahan. Pergi saja ke mal-mal di kota besar. Catat dan hitung berapa persen yang Tionghoa, berapa persen yang bukan.

"Jaman penjajahan, orang Tionghoa menjadi pedagang perantara antara VOC dan para petani," ujar seorang ahli sejarah. "Mereka diuntungkan dengan posisi itu..."

Saya mengangguk, sekaligus menggeleng. Benar, yang menjadi pedagang diuntungkan; tapi tidak semua orang Tionghoa beruntung mendapat posisi itu. Saya pernah membaca sebuah novel 'Melayu Tionghoa' yang menggambarkan pahitnya kehidupan seorang Tionghoa miskin di jaman penjajahan. Ia harus bekerja keras menangkap kodok tiap malam, lalu dimasak jadi swike esok harinya. Sen demi sen ia kumpulkan. Hanya orang-orang Tionghoa kaya bergelar mayor atau kapiten yang bisa merasakan empuknya fasilitas kolonial. Orang Tionghoa miskin harus bekerja keras, harus mengais rejeki dari hari ke hari. Sebaliknya para pejabat, kaum ningrat atau anggota keluarga kerajaan bisa menikmati fasilitas serba wah dari kolonial.

"Delapan dari sepuluh orang terkaya di Indonesia adalah Tionghoa. Mengapa bisa begitu?," tanya seorang mahasiswa peserta seminar.

Saya tersenyum, lalu menjawab, "Sebagai mahasiswa, saya berharap anda lebih kritis dan cerdas membaca data. Harusnya anda bertanya, bagaimana caranya mencapai posisi itu? Sudahkah anda pelajari, berapa tahun mereka merintis usaha? Kerja keras apa yang telah mereka lakukan? Generasi ke berapa mereka sekarang? Saya yakin, apa yang mereka capai, bukan dari kerja semalam. Mereka harus bekerja keras setiap hari, menabung sen demi sen, hidup hemat, laku prihatin, makan bubur dan asinan krai..."

Sebuah fakta kan memacu semangat jika dibenarpahami, atau malah memicu kecemburuan jika disalahpahami. Namun tak bisa dipungkiri, orang Tionghoa memang cenderung ulet dan hemat, tahan banting dan jeli melihat dan menangkap peluang.

Di atas panggung, saya melirik ke samping meja - ada benda bulat mengkilap di atas karpet. Saya membungkuk, lalu memungut benda tersebut. Ternyata sekeping uang Rp.100,-. Saya tersenyum, lalu memasukkannya ke dalam kantong.

Lumayan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun