"MAAFKAN AKU...!!! MAAFKAN AKU..., MAAA!!!"
Mata si Prajurit basah berlinang airmata. Suaranya serak parau penuh penyesalan bercampur duka. Ia memeluk kedua kaki isterinya yang terkulai kurus dan ringkih. Airmatanya deras mengalir, membasahi gaun isterinya.
"...ma...-...af...-...kan..., aku....," pinta si prajurit, napasnya memburu tersengal.
Si Prajurit tengadah, menatap wajah sendu isteri yang sangat mencintainya. Tanpa berkata kata, sang Isteri mengangguk penuh haru. Si Prajurit meraung, lalu meletakkan kepala di pangkuan isterinya. Sang Isteri membelai kepala suaminya perlahan; lembut sekali. Tangis si Prajurit kembali pecah. Badannya terguncang tak terkendali. Isterinya yang setia, yang percaya, yang tulus, yang tak pernah mengeluh, yang tak pernah lelah mendoakannya; meski ia gebuki, meski ia pukuli, meski ia tampar, meski ia maki habis-habisan, mau dan telah memafkan.
Sang isteri menunduk, mencium mesra rambut suaminya. Suaminya telah kembali. Suami yang sungguh dicintainya, yang telah diselamatkan nyawanya, oleh sebuah kidung pujian yang kerap ia lantunkan. Kembali terbayang kejadian beberapa hari yang lalu, di tengah lelap malam, tau-tau ia terbangun.Â
Seakan ia mendengar sebuah bisikan. Ada keinginan kuat yang menyuruhnya terjaga, untuk menyanyikan kidung pujian itu. Dan di tengah malam itu, 'Kidung Pujian' pun mengalun dari hatinya yang bening. Di saat yang bersamaan, suaminya yang tengah disiksa dan mengerang kesakitan di pelosok belantara, ternyata juga tengah melantunkan kidung yang sama. Tak ada yang pernah tahu, tapi mukjijat itu ada.
Sebutir air mata bening jatuh menetes, membasahi wajah suaminya.
Berapa harga sebuah kesetiaan?
Berapa nilai sebuah keyakinan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H