Mohon tunggu...
Hariyono Leaks
Hariyono Leaks Mohon Tunggu... Jurnalis - Berita untuk rakyat, bukan untuk pejabat

Narasi@Banyuwangi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Darurat Korupsi dan Darurat Pembajakan Demokrasi

3 Oktober 2021   15:56 Diperbarui: 3 Oktober 2021   16:18 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyuwangi 3 Oktober 2021.

Akibat Sistem Politik dan Birokrasi yang Amburadul serta seringnya ketidakpastian Hukum di Indonesia inilah salah satu faktor ketidakpuasan masyarakat kepada pemerintah maupun aparat penegak hukum. 

Selain juga praktek korupsi dihampir semua lini yang terjadi selama ini sudah kelewatan batas.

Beberapa bulan kebelakang ini saja KPK telah berhasil melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepada sejumlah pejabat negara atau pejabat publik mulai dari tingkat Menteri, Gubernur, Bupati, Anggota DPR RI, DPRD hingga sekelas Camat, itu hanya di KPK. 

Belum lagi tangkapan di Kejaksaan maupun Kepolisian yang tentu juga tak kalah banyak.

Sebut saja mulai dari menteri Edhy Prabowo sebagai tersangka dalam kasus suap ekspor benih Lobster saat masih menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. 

Menteri Sosial Juliari Batubara yang menitipkan dana Rp 10 ribu dari tiap paket pengadaan bansos COVID-19 seharga Rp 300 ribu.

Kemudian yang terbaru wakil ketua DPR RI Aziz Samsudin dengan kasus suap yang menyeret banyak tersangka didalamnya, dan juga Bupati Probolinggo bersama suaminya anggota DPR RI yang melibatkan puluhan orang menjadi tersangka hingga sekelas camat. 

Yang artinya korupsi sekarang ini bukan lagi dilakukan sendiri, bahkan sudah berjamaah.

Perbuatan melanggar hukum ini adalah bentuk "Moral Hazard" yang sedang dipertontonkan kepada publik dalam kondisi bangsa dan negara yang tengah menghadapi krisis hampir di setiap sektor akibat Covid 19.

Hemat kami, ini semua bisa terjadi merajalela di Indonesia tidak lepas dari sistem politik dan birokrasi yang amburadul. Budget atau biaya politik yang sangat mahal dan tidak terkendali dalam konteks Demokrasi Elektoral di Indonesia membuka celah pejabat publik baik Eksekutif maupun Legislatif melakukan tindak pidana korupsi.

Hal ini berakibat pada iklim politik di Indonesia menjadi tidak sehat dan bersifat destruktif (merusak) terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat. Padahal korupsi adalah tindak pidana yang masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime).

Seyogyanya KPK untuk tidak saja memberikan sanksi berupa penjara tetapi juga melakukan penyitaan atas seluruh aset/harta kekayaan para koruptor yang diperolehnya dari hasil kejahatan korupsi. 

Agar betul-betul bisa membuat efek jera kepada pelaku koruptor dan pelajaran kepada publik khususnya para pejabat untuk berhati-hati terhadap tindak pidana korupsi.

Ketidakpastian hukum juga terjadi di dunia usaha kecil menengah, misalnya banyaknya regulasi yang berbeda-beda, terjadi tumpang tindih. 

Seperti bagaimana UU Minerba skala kecil galian C, yang dulu kewenangannya di Daerah ditarik ke Provinsi lalu di tarik ke Kementerian yang hingga kini masih sulit diakses bagi pengusaha kecil menengah didaerah. 

Dan contoh kecil ini terjadi di Kabupaten Banyuwangi dan mungkin juga di daerah lain. Akibatnya pengusaha tambang tidak mau mengurus perijinan dan terjadi perusakan alam.

Belum lagi persoalan yang berskala besar, yang mana dalam proses penindakannya sudah mampu mengikis habis anggapan publik, bahwa hukum hanya tajam kebawah dan tumpul keatas. 

Padahal harusnya dengan di sahkannya UU Omnibuslow, UU Cipta Kerja bisa segera diterapkan dan minimal menyelesaikan persoalan tersebut.

Belakangan ini kita juga dipertontonkan akrobatik hukum yang disajikan oleh tokoh negeri ini. Dimana Menkumham di gugat oleh eks kader Partai Demokrat kubu Moeldoko ke Mahkamah Agung, terkait AD/ART Partai Demokrat lewat kuasa hukumnya Prof. Yusril Ihza Mahendra yang notabane adalah ketua partai politik juga.

Kami (publik) mengganggap upaya Judicial Review ini sebagai upaya "Begal Politik" juga ada upaya paksa merobek demokrasi serta modus memutarbalikkan fakta hukum yang tak beretika. 

Ini sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi kita, karena bisa juga terjadi ke semua partai politik jika mahkamah agung mengabulkannya, dan inilah bisa disebut darurat begal demokrasi.

Walaupun kami menggangap yang dilakukan eks kader Partai Demokrat kubu Moeldoko lewat kuasa hukumnya Yusril gak ada gunanya, selain hanya lelucon kegaduhan yang dipertontonkan ke publik. 

Analisa kami kalaupun Judicial Review itu dikabulkan mahkamah agung maksimal hanya merivisi SK Maenkumham terkait AD/ART partai dan itu hanya sebagian kecil, karena di partai politik itu sendiri ada mahkamah partai. Dan itu pun pandangan kami adalah ancaman tersendiri ketidakpastian hukum di partai politik indonesia.

Penulis: Danu Budiono (Aktivis Sosial Politik dan Aktivis Prodem Banyuwangi)/Dokpri
Penulis: Danu Budiono (Aktivis Sosial Politik dan Aktivis Prodem Banyuwangi)/Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun