PADA banyak kasus kekerasan terhadap anak, seperti juga telah disinyalir pihak kepolisian dan institusi pemerhati anak, ternyata pelakunya adalah orang dekat korban. Bila tidak ada kaitan keluarga, pelaku berasal dari lingkungan yang dekat dengan rumah korban. Lihat saja tewasnya PNF (9), siswi kelas 2 di SD Kalideres, Jakarta Barat beberapa waktu lalu, ternyata pelakunya tinggal tidak jauh dari rumah korban. Begitu juga pelaku tewasnya AGL (9), di Denpasar, Bali. Bocah cantik ini diduga kuat dibunuh oleh ibu angkatnya sendiri. Tidak ketinggalan, korban YYN (14), pada April lalu siswi SMP di Ulak Tanding, Bengkulu ini, ternyata tewas di tangan para pemuda tetangganya.
Kenyataan miris ini dipertegas temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang menyatakan kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan lokus kekerasan pada anak ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Hasil monitoring dan evaluasi KPAI, dalam kurun itu di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persennya anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, sisanya menjadi koraban di lingkungan sekolah, dan urutan berikutnya menjadi korban di lingkungan masyarakat.
Pada banyak kasus yang menimpa anak-anak, keberadaan lingkungan tidak lagi nyaman, tidak lagi aman, dan tidak lagi ramah untuk anak-anak bermain. Padahal, bermain adalah dunia anak-anak. Bermain adalah cara anak-anak untuk mengenal lingkungan sekitar, mengembangkan kemampuan bersosialisasi, mengasah nalar dan rasa, juga mengembangkan keterampilan fisik. Pentingnya bermain dalam perkembangan anak, seperti bekerja bagi orang dewasa. Kalau orang dewasa bekerja 8 jam sehari, maka sebanyak itulah anak-anak perlu bermain.
Tidak hanya dari segi keilmuan, dari segi hukum, Undang Undang Perlindungan Anak No. 23/2002, Pasal 11, menegaskan bahwa anak-anak punya hak untuk “kegiatan rekreasi dan bermain untuk pengembangan diri.” Bila anak-anak tidak mendapatkan dunia bermainnya, maka hak-hak mereka telah terampas. Kini di Indonesia, jumlah anak ada sekitar 87 juta jiwa yang harus dijaga oleh negara (Detik.com, 27/03/16). Dari jumlah anak sebanyak itu, berapa banyak yang telah terampas dunia bermainnya?
Sadar terhadap pentingnya hak-hak anak ini, Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sejak 2006 mencanangkan terwujudnya Kota Layak Anak (KLA). KLA adalah kota yang menjamin setiap anak untuk memperoleh semua haknya selayaknya warga sebuah kota, baik hak kesehatan, pendidikan, mendapatkan perlindungan, dan berpendapat tanpa ada diskriminasi.
Sejak kebijakan KLA dirintis pada 2006, sejumlah kepala daerah pun kemudian serta-merta mencanangkan wilayahnya sebagai KLA. Sampai akhir 2014 saja, tercatat ada 230 kabupaten/kota yang mencanangkan wilayahnya sebagai KLA. Namun seiring dengan bermunculannya berbagai kasus kekerasan yang terjadi pada anak di berbagai kota/kabupaten, seiring pula belum terpenuhinya hak-hak anak dalam hak kesehatan, pendidikan, mendapatkan perlindungan, dan berpendapat tanpa ada diskriminasi, maka dengan sendirinya kota/kabupaten tersebut seperti “mengerem diri” untuk tidak terlalu menggembar-gemborkan wilayahnya sebagai KLA. Kota/kabupaten ini lebih memilih segala program pembangunannya diorientasikan pada pemenuhan terhadap hak-hak anak daripada sekadar gembar-gembor, yang akhirnya kecolongan juga.
Keterlibatan Keluarga
Tidak seperti membangun sebuah gedung yang bisa dilihat langsung hasilnya, membangun sebuah KLA membutuhkan waktu panjang. Membangun KLA adalah membangun sebuah konsep, program, dan tatanan untuk mendapatkan anak yang sehat, cerdas, berakhlak mulia, terlindungi, dan bisa aktif berpartisipasi dalam kebijakan publik. Seperti telah disinggung, setidaknya ada empat bidang yang harus digarap, yakni bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, dan partisipasi anak.
Baik terkait secara langsung maupun tidak langsung untuk turut membangun KLA, khususnya dalam penguatan peran keluarga, April tahun lalu Direktorat Keayahbundaan di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pun diresmikan dengan nama Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Sejumlah program sudah direncanakan instansi tersebut, seperti penanganan perundungan atau bullying, pendidikan penanganan remaja, penguatan prestasi belajar, pendidikan karakter dan kepribadian, pendidikan kecakapan hidup, serta pendidikan pencegahan perilaku destruktif.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga ini juga akan mengembangkan program pencegahan perdagangan orang, narkoba, dan HIV/AIDS agar keluarga Indonesia menjadi lebih kuat. Sekadar informasi, Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga berada di bawah Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas. Struktur ini telah disetujui oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan nomor 11 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga memiliki empat subdirektorat, yakni Program dan Evaluasi, Pendidikan Bagi Orangtua, Pendidikan Anak dan Remaja, serta Subdirektorat Kemitraan. Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga bermaksud agar penduduk usia dewasa memperoleh wawasan dan pemahaman tentang kiat mendidik anak sejak janin hingga dewasa. Kemendikbud menargetkan hingga 2019, jumlah penduduk dewasa yang mendapatkan layanan pendidikan keluarga mencapai 4.343.500 orang.
Sasaran yang ingin dicapai dari serangkaian program ini adalah meningkatnya akses dan mutu layanan pendidikan keluarga dan melayani orangtua. Tujuannya, program ini harus bisa menyasar orangtua dari masyarakat bawah yang belum terpapar informasi parenting.
Urusan Wajib Pemerintah Daerah
Sebagai salah satu upaya pemenuhan hak anak, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan sebagai salah satu Konsekuensi Negara RI, yang telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 dan mengimplementasikan Amanat PP No. 38 tahun 2007, bahwa pembangunan anak merupakan salah satu urusan wajib pemerintah daerah.
Melihat urgensi pembangunan anak merupakan salah satu urusan wajib pemerintah daerah, maka hasil yang diharapkan dari terwujudnya satu pemahaman bersama tentang pengembangan kota/kabupaten di Indonesia menuju KLA, juga adalah terwujudnya satu sistem pembangunan yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan yang ditujukan untuk pemenuhan hak-hak anak.
KLA dapat diwujudkan dengan beberapa cara, bisa dimulai dari tingkat yang paling bawah atau dapat pula melalui fasilitasi dan dorongan dari pusat. Dapat dimulai dari individu, keluarga, RT/RW, desa/kelurahan, dan kecamatan. Selanjutnya, diharapkan adanya dukungan dari unsur legislatif, yudikatif, SKPD terkait, perguruan tinggi, LSM/organisasi yang peduli tentang anak dan unsur anak (Forum Anak, OSIS, Pramuka). Intinya, semua mesti terlibat dalam pemenuhan hak-hak anak.
Pemenuhan hak-hak anak serta penghormatan pada potensi dan martabat anak, sesungguhnya dapat menjadi indikator utama untuk menentukan seberapa sehat sebuah masyarakat dan seberapa sehat sebuah negara. Sementara itu, dikaitkan dengan sistem tatakelola pemerintahan, pemenuhan hak-hak anak, dan penghormatan pada potensi serta martabat anak merupakan salah satu bentuk nyata dari berjalannya sistem tatakelola pemerintahan yang baik (good governance).
Melihat masih terjadinya berbagai kasus kekerasan terhadap anak, negara ini masih jauh untuk bisa dikatakan sebagai negara ramah anak, yaitu negara yang secara aktif terus-menerus memenuhi hak-hak anak sebagai bagian dari hak-hak warga negara, yang pada saat bersamaan juga terus menghormati potensi dan martabat mereka.
Namun demikian, KLA harus digelorakan, dicita-citakan, karena kebijakan KLA merupakan upaya untuk mewujudkan janji Indonesia Ramah Anak. Bila kabupaten/kotanya sudah ramah anak, pada akhirnya provinsi dan negara juga akan ramah anak.
Filosofinya cukup sederhana, bila sebuah kota layak untuk anak, niscaya layak pula buat siapa saja. Semua bisa dimulai dari pemenuhan hak-hak anak untuk menikmati dunianya, dunia bermain yang nyaman, aman, dan ramah. Tidak terkecuali dengan kehadiran orang-orang dekat, yang berkontribusi secara sehat bagi tumbuh-kembangnya pewaris keturunan dan penerus bangsa kita ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H