DARI sebuah laman kisah-kisah inspiratif, penulis tertarik pada salah satu percakapan antara ayah dengan seorang anaknya.
“Ayah, temanku tadi cerita kalau ayahnya selalu membiarkan tangannya sendiri digigit nyamuk sampai nyamuk itu kenyang, supaya ia tidak menggigit temanku. Apa Ayah juga akan berbuat yang sama?”
“Tidak. Tetapi, Ayah akan mengejar setiap nyamuk sepanjang malam, supaya tidak sempat menggigit kamu atau keluarga kita.”
“Yah, aku waktu itu pernah dengar cerita ada ayah yang rela tidak makan supaya anak-anaknya bisa makan kenyang. Kalau Ayah bagaimana?”
“Ayah akan bekerja keras agar kita semua bisa makan sampai kenyang. Jadi, kamu tidak harus sulit menelan karena melihat ayahmu menahan lapar.”
Si anak tersenyum puas, lalu memeluk ayahnya dengan penuh sayang.
“Makasih, Ayah. Aku bisa selalu bersandar pada Ayah.”
Sembari mengusap-usap rambut anaknya, sang Ayah membalas, “Tidak, Nak! Tetapi Ayah akan mendidikmu supaya bisa berdiri kokoh di atas kakimu sendiri, agar kamu nantinya tidak sampai jatuh tersungkur ketika Ayah sudah tidak ada lagi di sisimu. Karena tidak selamanya Ayah bisa mendampingimu.”
Jadi, adalah bijak bila semua orangtua tidak hanya menjadikan dirinya tempat bersandar bagi buah hati mereka, melainkan juga membuat sandaran itu tidak lagi diperlukan di kemudian hari. Adalah bijak jika para orangtua membentuk anak-anaknya sebagai pribadi mandiri kelak di saat orangtua itu sendiri tidak bisa lagi mendampingi anak-anaknya di dunia.
Apakah kita sebagai seorang ayah –kepala keluarga-- sudah menjadikan diri kita sandaran yang dapat diandalkan bagi anak-anak dan istri kita, pun ketika kita telah tiada? Apakah kita sudah menyiapkan masa depan keluarga kita?
Masa Depan Adalah Hari Ini
Masa depan tercermin dari hari ini. Seseorang bisa ditebak dari cara hidupnya saat ini. Pemalas, pasti melarat. Penipu, pasti menderita. Pesimis, pengomel, suka nyinyir, pengiri hati, pasti tidak kaya. Namun tidak berarti seorang optimis, pekerja keras, pemberani, orang pintar atau orang baik akan kaya raya, sukses, dan bahagia. Tidak ada jaminan orang baik akan lancar hidupnya. Hal pasti, orang jahat tersiksa hati nuraninya. Tidak ada yang bisa meramalkan masa depan manusia, namun menurut para ahli perencana keuangan, cara kita merencanakan keuangan pribadilah yang akan mempengaruhi hidup kita di kemudian hari.
Prinsip perencanaan keuangan sebenarnya sangat sederhana. Pendapatan dikurangi dengan pengeluaran kita. Jika lebih, maka disebut tabungan. Sebaliknya kalau kurang, disebut dengan hutang.
Setidaknya ada dua tipe orang berdasarkan cara mereka melakukan perencanaan keuangan pribadinya.
Pertama, orang yang pintar mengatur pengeluaran.
Inti perencanaan keuangan adalah mengatur pendapatan dan pengeluaran sedemikian rupa, sehingga akhirnya menghasilkan tabungan. Orang yang pintar mengatur pengeluaran biasanya kurang pandai mencari uang. Kelebihannya adalah menekan pengeluaran, sehingga terjadi selisih antara pendapatan dengan pengeluaran. Tipe orang seperti ini harus belajar mendisiplinkan diri.
Ke dua, orang yang pintar memperbesar pendapatannya.
Tidak ada manusia yang benar-benar sempurna. Ada tipe orang yang memang pintar menghasilkan uang, namun juga pintar menghabiskannya. Seharusnya pengeluarannya tetap, sementara pendapatannya meningkat. Namun kenyatannya tidak demikian. Pengeluarannya mengikuti pendapatannya. Semakin banyak uang yang dihasilkan, semakin besar pula uang yang dihabiskan.
Alhasil, perencanaan keuangan pribadi bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan. Pada tipe mana Anda termasuk dalam melakukan perencanaan keuangan pribadi, hal jelas tipe keduanya mendasarkan pada prinsip perencanaan keuangan yang sederhana; pendapatan dikurangi dengan pengeluaran kita, sehingga mewujud dalam bentuk apa yang disebut tabungan.
Menabung dan Menabung
Sejak zaman dahulu, orangtua-orangtua kita menyadari arti pentingnya menabung. Tidak segampang seperti sekarang, uang tinggal disimpan di dompet. Kalau pun uang dalam jumlah banyak, tinggal pergi ke bank; isi form, ditabung ke kasir, beres. Bisa juga pergi ke ATM dengan setoran tunai. Tidak seperti orang dulu, karena kebiasaan berkopiah setiap hari, uang pun diselipin di kopiah, songkok, atau peci. Ada yang setiap hari mengenakan sarung, maka menyimpan uangnya dengan diselipin di gulungan sarung. Bagi perempuan, uang tersebut diselipin di balik BH. Ada yang menyimpan uang di balik bantal; saat mau tidur, bila di bantal terasa grenjel-grenjel, maka uangnya masih ada. Ada juga yang dimasukin di tiang bambu; bambu dilubangi dan setiap hari uang dimasukkan ke lubang itu, kalau sudah penuh bambu dibongkar, tiang pun diganti.
Tentu, dengan cara berbeda, kita sewajarnya menuruti jejak kebiasaan merancang masa depan dengan menabung. Tidak dimungkiri, tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan sempat menurun ketika pada tahun 1998 krisis moneter dan perbankan menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank.
Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan, di antaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.
Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard, baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.
Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas. Atas tuntutan itu, keluarlah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.
Pada 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan undang-undang tersebut, keragu-raguan dan ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan –terutama untuk menabung—bisa tertepiskan, karena LPS, suatu lembaga independen berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, telah dibentuk.
Jadi, untuk saat ini tidak ada alasan untuk tidak menabung –juga berinvestasi. Tidak ada alasan bagi keluarga untuk menjadikan diri kita sandaran keluarga untuk hari ini dan masa depan. Pun ketika kita telah tiada, sandaran itu tetap terasa ada oleh keluarga. Kita akan senantiasa serasa ada di tengah keluarga.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H