Mohon tunggu...
Hariyawan Esthu
Hariyawan Esthu Mohon Tunggu... Ghostwriter -

Ghostwriter, peminat masalah sosial-budaya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hilman, Gerakkan Anak-anak Motor untuk Selamatkan Lahan-lahan Terlantar

10 Mei 2016   16:06 Diperbarui: 10 Mei 2016   16:18 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Di sini hal mustahil bagi masyarakat biasa mengumpulkan atau pemasukan sebesar itu. Makanya dengan sedikit sentuhan analisis ekonomi itu, masyarakat banyak yang tertarik,” ujarnya.

Diakui Hilman, memang dalam teknis pelaksanaanya tidak mudah, karena karakteristik masyarakat di sana yang tadinya karyawan, yang menghasilkan uang itu dari hasil bekerja, tiba-tiba bagaimana diajarkan wirausaha dan perduli lingkungan. Jalan keluarnya, Hilman kemudian mengolaborasikan antara petani yang senior dengan pemuda. Misalnya, seperti diketahui, di kota banyak orang dibuat susah dengan keberadaan geng motor. Asal tahu saja, di daerah juga ada.

“Anak-anak muda tersebut kalau disentuh langsung ‘kan larinya brutal. Saya dekati mereka, ajak ngobrol bagaimana keinginan mereka, kita pun masukan harapan kita. Saya tidak habis ide. Komunitas para pemuda bermotor yang ada di sini, saya tarik ke kehutanan dengan membuat sebuah komunitas yang saya namakan KMPH, yaitu Komunitas Motor Perduli Hutan, pada tahun 2010. Mereka dikasih lahan garapan,” cerita Hilman.

kmphh-5731a3097893735d056b2f74.jpg
kmphh-5731a3097893735d056b2f74.jpg
Komunitas Motor Peduli Hutan kini memiliki lahan garapan. * dok. hilman

Soal pemberian lahan garapan pada KMPH, bagi Hilman karena tanah itu bukan tanah pribadi, tetapi tanah negara. Biasanya kalau masyarakat mengelola tanah negara, kalau tidak dikoordinir, ketika pemerintah memerlukan tanah itu, bukan berterima kasih masyarakat itu, malah demo. Justru Hilman dengan masyarakat membuat komitmen. Membuat legalitasnya dari pemerintah, Hilman membuat komitmen dengan masyarakat.

“Boleh ditanami, tetapi ketika pemerintah memerlukan, kita serahkan. Misalnya suatu saat tanah ini diambil negara untuk kepentingan negara, kita tidak akan demo-demo, bahkan akan berterima kasih. Kepentingannya tentu untuk benar-benar kepentingan negara,” ungkapnya.

Karena telah diberi lahan garapan, KMPH pun merasa telah diberi kepercayaan dan tanggung jawab. Akhirnya, mereka juga membantu dalam penanaman. Hal positif yang sangat membantu, penanaman itu biasanya ke pelosok yang jauh-jauh; untuk dipikul jauh, kendaraan juga tidak masuk, merekalah yang berbuat. Mereka bawa pohon-pohon itu ke motor, membawanya ke hutan. Hobinya tersalurkan, mereka pun punya investasi karena diberi lahan garapan.

“Jadi kalau bicara petani, di daerah lain biasanya kakek-kakek ya, aki-aki atau 50 tahun ke atas, tetapi di sini 70%-nya adalah pemuda. Pemuda yang nganggur-nganggur tadinya, sekarang jadi petani,” jelas Hilman bernada bangga.

Tentu saja, kata Hilman, banyaknya para pemuda itu kemudian bergabung, justru karena dorongan para orangtuanya juga. Seperti diketahui, di wilayah perkebunan dulu itu masih ada nilai-nilai feodalisme warisan Belanda, dengan lahirnya istilah “anak gedongan” dan “anak bedengan”. Anak gedongan adalah anak-anak para tokoh atau pejabat di perkebunan. Sedangkan anak bedengan, adalah anak-anak yang orangtuanya bekerja keras sebagai pekerja di perkebunan. Ayah Hilman adalah salah satu tokoh di perkebunan. Lebih-lebih, di perkebunan itu yang namanya tokoh, maka di mata masyarakat dinilai tokoh sekali. Dengan demikian, nasib Hilman berada di kelompok “anak gedongan”. Hal selanjutnya, Hilman yang dulunya hidup di kota, dengan sendirinya bergaya kota, tiba-tiba pulang kampung, mau jadi petani; panas-panasan, hujan-hujanan. Anak gedongan yang kemudian hidup lama di kota, ketika pulang kampung, ternyata mau bekerja keras, bermandi peluh.

“Kang Hilman saja mau, kamu koktidak?” Kurang-lebih seperti itu dorongan yang disampaikan para orangtua agar anak-anaknya mau melibatkan diri melakukan penghijauan bersama Hilman.

Diakui Hilman, basickeilmuan dirinya di kehutanan sebenarnya tidak ada. Pendidikan terakhir Hilman adalah SMEA. Dengan sendirinya, ilmu keekonomianlah yang lebih dia kuasai daripada ilmu kehutanan. Terapi ketika dirinya bergerak di satu bidang kewirausahaan, ilmu keekonomiannya itu ternyata bisa dimanfaatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun