[caption caption="dakwatuna.com"][/caption]
KAMUS Besar Bahasa Indonesia member pengertian kata “sampah” adalah barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Mengacu pada UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang berbentuk padat. Lebih jauh, sampah adalah segala sesuatu yang tidak terpakai atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia. Dari semua pendapat, bisa ditarik kesimpulan bahwa sampah adalah segala sesuatu benda yang tidak dikehendaki lagi keberadaannya yang berasal dari aktivitas manusia.
Bagaimana bila setiap saat “sampah” itu tumpah ruah di ruang keluarga kita? Dalam arti konotatif, sampah yang dimaksud penulis adalah tayangan-tayangan televisi yang sama sekali tidak mengedepankan norma-norma kesantunan, yang setiap waktu dihadirkan di ruang keluarga kita. Sebagaimana makna denotative sampah, secara konotatif tayangan “sampah” sebagai sesuatu yang tidak terpakai, sesuatu yang harus dibuang, segala sesuatu yang tidak dikehendaki lagike beradaannya, ternyata berserakan di layar televisi kita, mengotori pikiran dan perasaan suami/istri kita, anak-anak kita, kakak/adik kita, lingkungan terdekat yang kita cintai.
Hal ini pula yang mencuat saat Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu bertemu sejumlah pengelola program televisi nasional di Istana Merdeka, Jakarta. Jokowi kembali mengungkapkan keprihatinannya terhadap tayangan televisi yang cenderung hanya mengejar rating tanpa mengedepankan norma-norma kesantunan. Akibatnya, masyarakat terjebak pada dimensi sensasional semata. Media hanya mengejar rating dibandingkan memandu public untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif.
Jokowi mengaku sudah menampung banyak keluhan dari berbagai kelompok masyarakat saat blusukan. Kebanyakan kelompok masyarakat mengeluhkan tayangan televisi yang tidak mendidik. Terutama para guru, yang meyayangkan anak-anak melupakan ajaran moral dan budi pekerti karena terpengaruh tontonan seperti sinetron.
Jokowi mengingatkan, jangan sampai pengelola media televisi memandu public untuk masuk ke sektor-sektor yang konsumtif, bermewah-mewahan, juga ke sektor yang tidak rasional. Ia berharap konten program acara yang ditayangkan televisi member dampak positif, terutama yang mengutamakan budi pekerti, moral, dan nilai kebaikan.
Sesuai kesantunan seorang presiden, tentunya Jokowi tidak menyebut tayangan sinetron yang memandu public untuk masuk ke sektor-sektor yang konsumtif, bermewah-mewahan, juga yang tidak rasional itu diberinya label sebagai “tayangan sampah”. Tetapi kita sebagai masyarakat, setelah memafhumi pengertian maknawi sampah secara denotatif, sebagai sesuatu yang tidak terpakai, tidak dikehendaki, atau sesuatu yang harus dibuang, karena menjebak kita menjadi konsumtif, bermewah-mewahan, serta tidak rasional, tidak berlebihan bila semua itu kita beri label sebagai “tayangan sampah”.
Kontribusi Suara
Semakin pesatnya perkembangan teknologi, membuat siapa pun –tanpa ada batasan usia— mudah untuk mengakses segala macam tayangan. Mulai dari tayangan yang mengadung unsure kekerasan, kriminal, pornografi, percintaan, dan lainnya sangat mudah untuk kita jumpai sehari-hari. Parahnya, tayangan-tayangan tidak mendidik ini dapat diakses dan ditonton secara sangat mudah oleh anak-anak.
Program atau acara yang kurang mendidik seperti sinetron, FTV, komedi dengan saling mengejek, dan sebagainya tayang di jam yang dapat diakses oleh anak-anak. Film dan kartun yang mengandung unsur kekerasan tayang bebas begitu saja. Tidak semua orangtua menyadari dampak buruk televisi. Bagi yang tidak sadar, cenderung melakukan pembiaran bagi anak-anaknya untuk melihat tontonan yang ada di televisi, sepanjang anak tersebut masih ada di dalam rumah dan masih bisa diawasi oleh orangtua.
Entah program yang dilihat tersebut memang cocok untuk anak-anak atau tidak. Karena meskipun yang dilihat anak adalah film kartun, tetapi di dalamnya masih memuat kekerasan, atau perkelahian. Apalagi yang ditonton tidak hanya film kartun, tetapi film-film atau sinetron-sinetron yang di dalamnya mengandung intrik-intrik, konspirasi atau hanya mengumbar mimpi-mimpi indah, hilir-mudiknya hewan jadi-jadian yang tidak rasional, yang semuanya adalah “sampah”. Tetapi bagi orangtua yang sadar benar pada perkembangan anaknya akan memperhatikan secara sungguh-sungguh apa yang sedang ditonton anak-anak mereka, apakah tontonan tersebut memang cocok untuk perkembangan psikologi anaknya atau tidak.
Media berpengaruh positif dan negatif; bisa bermanfaat untuk pendidikan, mendorong kemajuan, atau mengungkapkan hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui menjadi pengetahuan penting. Sebaliknya, media juga mempunyai pengaruh buruk dan merusak. Baik dan buruk ini bisa terjadi di tengah-tengah bangsa yang mengutamakan kebebasan, atau oleh bangsa yang sebaliknya, melakukan pengontrolan dan tekanan berlebihan terhadap media.
Pro dan kontra terhadap kedua pendekatan ini memunculkan perdebatan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai negara maju. Di tengah-tengah situasi ini, kecerdasan diperlukan untuk bisa memilih antara yang bermanfaat dan yang mudarat. Berbagai studi tentang dampak sosial media mengingatkan semua pihak untuk menilai hal-hal yang mungkin saja merugikan diri, keluarga, atau masyarakat dan lingkungannya.
Kita sebagai pihak yang perduli terhadap masa depan bangsa, hanya bisa mengimbau kepada pihak stasiun televisi dan pembuat programnya bisa lebih "melek" dan "sensitif" terhadap program yang dibuat dan ditayangkannya. Sedangkan sebagai orangtua, kita bisa mengambil sikap untuk keluarga kita agar tidak menonton “tayangan sampah”. Logikanya, bila kita menonton “tayangan sampah”, artinya kita berkontribusi menyumbangkan satu suara untuk dibuatkannya kembali tayangan yang kualitasnya serupa. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H