Mohon tunggu...
Hariyanto Imadha
Hariyanto Imadha Mohon Tunggu... wiraswasta -

A.Alumni: 1.Fakultas Ekonomi,Universitas Trisakti Jakarta 2.Akademi Bahasa Asing "Jakarta" 3.Fakultas Sastra, Universitas Indonesia,Jakarta. B.Pernah kuliah di: 1.Fakultas Hukum Extension,UI 2.Fakultas MIPA,Universitas Terbuka 3.Fakultas Filsafat UGM C.Aktivitas: 1.Pengamat perilaku sejak 1973 2.Penulis kritik pencerahan sejak 1973

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik: 70 % yang Datang ke TPS adalah Rakyat yang Sok Faham Politik

28 Februari 2014   03:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SIKAP SNOB atau sok memang dimiliki sekitar 70% warga dunia. Ada sok tahu, sok mengerti sok faham dan lain-lain. Itu merupakan gejala umum. Menurut hasil survei, orang cerdas di dunia ini jumlahnya hanya ada 0,001% atau dari 1.000 orang hanya ada satu orang yang cerdas. Apalagi, 50% jumlah pemilih dalam pemilu atau pemilukada adalah rakyat yang berpendidikan lulusan SD atau SD tidak tamat. Pastilah, pemahaman mereka tentang politik sangat minim sekali. Bahkan, mereka yang lulusan SMA, bergelar S1, S2, S3 juga banyak yang awa politik. Mereka datang ke TPS membawa alasan masing-masing dan ternyata alasan mereka mencerminkan ketidakfahaman mereka tentang politik. Bagaimana komentar mereka yang datang ke TPS? Di bawah adalah hasil survei penulis sejak pemilu 2004 hingga pemilu 2009. Kelihatannya alasan mereka benar dan masuk akal, padahal dari alasan itu mencerminkan bahwa mereka sebenarnya masih awam politik atau bodoh di bidang politik. A.Pertanyaan: “Kenapa Anda datang ke TPS dan memilih?” Jawaban mereka: 1.”Yah. Daripada nganggur di rumah, kan nggak ada salahnya datang ke TPS untuk memilih” Komentar: Dia pemilih yang tidak punya motivasi yang benar 2.”Wah, kalau saya nggak memilih, nanti kita nggak punya wakil rakyat, dong?” Komentar: Dia pemilih yang tidak rasional karena tidak ada negara yang angka golputnya 100% 3.”Memilih, sih. Soal mereka nanti korupsi, itu urusan dia sama Tuhan”. Komentar: Dia termasuk pemilih yang cara berpikirnya spekulatif (untung-untungan) 4.”Nggak enak aja. Wong tetangga-tetangga saya juga memilih, masak saya tidak memilih?” Komentar: Dia termasuk pemilih yang tidak punya pendirian 5.”Lho, kan nggak ada ruginya bagi saya untuk memilih mereka. Komentar: Dia termasuk pemilih yang sesungguhnya tidak menggunakan pertimbangan politik 6.”Soalnya yang jadi caleg cowok gue, sih. Ya,pastilah saya pilih” Komentar: Dia pemilih yang berdasarkan emosi daripada rasio 7.”Selama ini artis yang akan saya pilih kan bersih. Tidak pernah ada kasus korupsinya” Komentar: Dia pemilih yang melihat pilihannya hanya dari sudut penampilannya saja (hanya kulit-kulitnya saja) 8.”Ya, sebagai warganegara yang baik, pastilah saya akan memilih” Komentar: Dia pemilih yang tidak tahu kriteria warganegara vyang baik, yaitu warganegara yang mematuhi peraturan perundang-undangan. 9.” Memilih itu kan wajib. Ya, saya harus patuh pada kewajiban saya, dong” Komentar: Dia pemilih yang tidak tahu bahwa memilih adalah hak, bukan kewajiban 10.”Demi kepentingan bangsa dan negara, saya memilih” Komentar: Dia pemilih yang sik nasionalis 11.”Saya memilih karena saya percaya mereka akan memperjuangkan aspirasi rakyat” Komentar: Dia pemilih yang apriori, hanya bermodalkan prasamngka baik saja, padahal belum tentu hasilnya baik 12.”Saya akan memilih berdasarkan hati nurani. Tidak mungkin salah” Komentar: Dia pemilih yang tidak faham psikologi. Tidak tahu kalau hati nurani itu bisa salah. 13.”Sebelum memilih, saya sudah shalat meminta petunjuk dari Tuhan, kok” Komentar: Dia pemilih yang sok dekat dengan Tuhan. 14.”Memilih adalah hak saya. Buat apa orang lain ribut-ribut?” Komentar: Dia pemilih egoistis. Tidak mau mendengarkan pendapat orang lain yang benar. 15.”Kalau menginginkan perubahan, ya kita harus memilih” Komentar: Dia tidak tahu apakah memilih pasti akan merubah keadaan. Berubah ke arah yang lebih baik atau lebih buruk? 16.”Saya yakin, pilihan saya tidak salah” Komentar: Dia pemilih yang tidak tahu bahwa keyakinanpun bisa salah. 17.”Kalau saya lihat sih, iklan-iklan politiknya bagus-bagus” Komentar: 18.”Yang penting saya memilih. Soal salah pilih, itu soal nanti” Komentar: Dia pemilih yang berkepribadian masa bodoh. 19.”Memilih berarti ikut memperbaki kondisi bangsa dan negara” Komentar: 20.”Ooo, memilih itu lebih baik daripada tidak memilih” Komentar: 21.”Memilih ada harapan. Kalau tidak memilih kan tidak ada harapan” Komentar: Dia pemilih yang penuh harapan, angan-angan yang penuh ketidak pastian. 22.”Kayaknya tampilan mereka meyakinkan,deh. Jadi, saya pasti memilihnya” Komentar: Dia pemilih yang silau hanya penampakan seseorang saja. Sok positive thinking. 23.”Memang saya tidak kenal, tapi saya suka penampilannya deh” Komentar: Dia pemilih yang terpukau oleh figurnya saja 24.”Saya sudah terima uang. Gak enak kalau saya tidak memilih” Komentar: Dia pemilih yang merasa berhutang budi karena sudah diberi uang 25.”Saya pilih dia karena dia janji akan memperbaiki jalan di komplek perumahan saya. Komentar: Dia termasuk pemilih yang mudah dikadalin atau dibohongi orang lain, apalagi tidak ada perjanjian tertulis di atas meterai. Dan masih banyak lagi alasan-alasan mereka yang datang ke TPS untuk memilih. Hawab-jawaban mereka mencerminkan ketidakfahaman mereka tentang dunia politik yang sesungguhnya yang sekarang terjadi di Indonesia. B.Pertanyaan sekitar “kualitas” capres atau caleg Namun, apa jawaban mereka jika pertanyaannya berbobot politik dalam arti yang sesungguhnya? “Apa kriteria capres/caleg yang berkualitas?” “Apakah Anda sudah mengetahui track recordnya?” “Apakah Anda yakin benar-benar capres/caleg yang Anda pilih benar-benar berperilaku baik?” “Apakah Anda tahu prestasi mereka sebelumnya?” “Apakah Anda tahu bahwa mereka benar-benar mempunyai kompetensi untuk menjadi capres/caleg? Ternyata, jawaban mereka mencerminkan ketidakfahaman mereka tentang politik. -Tidak tahu kriteria capres/caleg berkualitas -Tidak tahu apa itu track record atau rekam jejak -Tidak tahu apakah yang akan dipilihnya berkepribadian baik atau tidak -Tidak tahu prestasi yang dimiliki para capres/caleg sebelum mencalonkan diri -Tidak tahu apakah capres/capeg mempunyai kompetensi atau tidak Kesimpulan umum: 1.70% pemilih tidak faham politik (hanya sok faham politik saja) 2.memilih hanya berdasarkan “Ilmu Kira-Kira” 3.Memilih berdasarkan pertimbangan subjektif. 4.Kalau mereka salah pilih, tidak mau mengakui kesalahannya 5.Alasan-alasan mereka merupakan kesalahan berlogika (cara berpikir) Kesimpulan khusus: Pemilih yang tidak berkualitas, akan menghasilkan presiden dan wakil rakyat yang tidak berkualitas juga. Kecuali, parpol menyiapkan capres dan calegnya yang benar-benar berkualitas melalui seleksi yang ketat tanpa memungut biaya satu senpun. Konsekuensinya: -Mereka bisa salah pilih -Yang mereka pilih ternyata bermasalah (korupsi, kolusi, nepotisme,gratifikasi, suap,sogok,pungli dan semacamnya). Catatan: -Maaf, saya jarang sekali membaca komen-komen -Angka 70% merupakan angka estimasi dan pengganti kata "cukup banyak" Hariyanto Imadha Pengamat perilaku Sejak 1973

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun