Mohon tunggu...
Hariyanto Sofyan Benyal
Hariyanto Sofyan Benyal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Tua

Menyukai kopi hitam yang sedikit atau tidak ada gulanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Aldi Taher, Figur Pertama yang Mencoba "Bug" Sistem Pemilu

27 Mei 2023   03:07 Diperbarui: 28 Mei 2023   07:15 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Artis peran Aldi Taher. (Foto: KOMPAS.com/FIRDA JANATI)

Ada fenomena menarik sekaligus menggelitik pada kontestasi politik pemilu kali ini.

Seorang Aldi Taher, yang bagaimanapun layak disebut figur, dianggap "mengkelabui" dua partai dengan mencalonkan diri sebagai caleg dari keduanya. 

Bedanya, kepada PBB "beliau" ini menyatakan sikap akan menjadi calon DPRD DKI yang pada akhirnya kita semua tahu, jadi dicalonkan sebagai caleg DPRD DKI lewat PBB. Lalu tidak berselang lama, Aldi Taher, The Son of Chaos, lewat PERINDO maju sebagai calon DPR RI.

Menariknya, pihak KPU kesulitan untuk menginventaris berkas persyaratan Aldi Taher karena katanya ini baru pernah terjadi seseorang mencalonkan diri pada dua embaga berbeda sekaligus, lewat partai berbeda. 

Pada dasarnya setiap bakal calon punya kesadaran hukum yang cukup tinggi, misalnya ketentuan tentang syarat pencalonan sudah barang tentu melekat diluar kepala semua bakal calon. 

Pasal 240 ayat (1) hurus o dan p UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu secara gramatikal tegas mensyaratkan seorang bakal calon "hanya" dicalonkan di 1 lembaga perwakilan dan di 1 daerah pemilihan.

Frasa "hanya" dalam ilmu perundang-undangan sebagai sebuah bahasa hukum memberikan pengerian jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut.

Angka 269 BAB I Kerangka Peraturan Perundang-undangan Lampiran  UU Pembentuka Peraturan Perundang-undangan jelas tentang itu.

Meskipun demikian legalitasnya, berbeda dengan sudut pandang politik, hal ini tetap dapat diperdebatkan. 

DPR RI dan DPRD secara terminologi mungkin memiliki presentese tinggi dalam kesamaan nama, tapi secara ketatanegaraan keduanya tentu merupakan lembaga yang benar-benar berbeda. 

Layaknya nama Aldi, mungkin dimiliki banyak orang, tetapi apakah orang-orang itu merupakan entitas yang sama? Tentu tidak. Bahwa Separation of Power yang mewujudkan trias politica hanya terjadi dalam skala nasional pada lembaga-lembaga tertinggi secara hirarkis.

Bagaimanapun kekuasaan Legislatif tetaplah hanya dimiliki DPR RI. DPRD hanya wujud mini kloning akibat desentralisasi yang memandatkan daerah mengurusi rumah tangganya sendiri, termasuk aturan-aturan rumah. Tepatnya pada daerah ini terjadi apa yang disebut Distribution of Power.

Sejauh ini jelas bahwa DPR RI dan DPRD adalah dua lembaga yang berbeda, sehingga pencalonan Aldi Taher sejatinya gagal memenuhi syarat sebagaimana termuat dalam UU Pemilu. 

Jadi, sebelum berbicara lebih jauh tentang persyaratan tidak dipilih dalam dua daerah pemilihan, Aldi Taher sudah gugur pada persyaratan tidak dipilih untuk dua lembaga berbeda yang kedudukannya lebih dahulu sebelum persyaratan dua daerah pemlihan, meskipun keduanya bersama persyaratan-persyaratan lain merupakan kesatuan yang holistik dan tidak dapat dipisah.

Namun bila diperhatikan secara legal positif dan psikologis para pemilih, DPR RI dan DPRD masih dianggap sama sebagai lembaga legisatif, sehingga pencalonan terhadap keduanya secara bersamaan tidak dianggap melanggar hukum. 

Tidak sepenuhnya salah memang karena perbedaannya hanya kentara dalam ruang teoritis ketatanegaraan, sehingga dalam tampilannya yang membawa unsur "legislatif" oleh banyak masyarakat  atau barangkali juga aparatur hukum keduanya sama saja. 

Inilah yang dimaksudkan sebagai Bug atau kecacatan dalam sistem pemilu. Sebuah bug pada suatu sitem sering tidak disadari sampai ada yang memanfaatkannya. Begitulah Aldi Taher, pengguna Bug pertama dalam sistem pemilu kita.

Peristiwa pencalonan Aldi Taher lewat dua partai yang tidak saling tahu menahu dalam kesempatan ini sangat penting dipergunakan sebagai bahan edukasi politik dan hukum kepada masyarkat luas. 

KPU selaku lembaga negara yang menjadi panitia dari penyelenggaran pemilu harus memberikan putusan yang tegas dalam perstiwa ini.

Atau, setidak-tidaknya, menampilkan sikap yang jelas dalam memperbaiki bug sistem pemilu dengan memberikan kepastian dari setiap pengertian kata yang frasanya dicurigai dapat dimanfaatkan pihak lain.

Oleh karena itu, sehingga dengan keputusan yang jelas dan bijak itu pada akhirnya dapat menjadi preseden pada peristiwa-peristiwa serupa pada pemilu-pemilu nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun