Mohon tunggu...
Hari Yadi
Hari Yadi Mohon Tunggu... -

PhD Student in Tohoku University,\r\nUniversitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dahlan Iskan dan “Jiwa Melayani“ ala Jepang

22 Maret 2012   11:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:37 2408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_177830" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Beberapa hari ini milist ramai membahas bagaimana pak Dahlan  Iskan turun dari mobil dan  mengatur lalu lintas di gardu (pintu) tol.  Menarik juga untuk direnungkan. Betapa tidak, berpuluh2 tahun kita disuguhi manajemen yg terstruktur dengan kaku. Tiba2 kita disuguhi, tontonan yang langsung berdampak positif kemana2. Seorang kawan saya orang Jepang, pertama kali saya ajak ke Indonesia mengikuti rapat2 bisnis, dia berkomentar "wah... banyak sekali ya  rapatnya...".. Komentar yang singkat , tapi penuh sindiran. Budaya yang kita kira hal yang lumrah, namun ternyata menjadi menarik bagi orang asing. “Budaya ngomong dan Budaya kerja”.

Saya mempunyai pengalaman ketika lewat didepan kantor walikota, saya lihat para staff berdasi berjas rapi memegang sapu . Mereka bersemangat membersihkan halaman  walikota. Sepertinya melibatkan seluruh staff disitu. Walaupun berjas berdasi rapi, mereka tak segan-segan memunguti sampah dengan sungguh-sungguh. Di tempat saya bekerja juga demikian. Hal yang bisa saya rasakan adalah bagaiman secara langsung menghayati  rasanya menjadi pelayan publik. Dasar pemikirannya adalah "Kualitas perusahaan sangat tgt pd kualitas karyawannya". Pekerjaan mengumpulkan sampah terutama bg karyawan baru ini sangat penting agar sejak  dini merasakan dan mengenali jiwa melayani sbg pegawai publik. Tujuan utamanya adalah penanaman kesadaran dan mengembangkan kesadaran sbg seorang pegawai publik.

[caption id="attachment_167674" align="aligncenter" width="196" caption="dok. pribadi"]

1332417342362189587
1332417342362189587
[/caption]

Terlihat digambar adl.pegawai Bank yg sedang membersihkan trotoar di depan kantornya di Sendai. Sehingga orang lewat pun merasa senang dengantrotoar yang bersih tanpa sampah.

Mengomentari tanggapan pak DI via sms " .....Setiap kali sy masuk gerbang tol yg antre panjang sy selalu sms kepada direksi jasa marga. Tapi kok tidak ada tindakan nyata. ......Saya tidak henti-hentinya mengingatkan itu. Pelayanan itu harus baik. Apalagi ini melayani orang yg mau mbayar. Kalau melayani orang yg mau mbayar saja tidak baik, bagaimana melayani masyarakat kecil yg tidak punya uang?..." .  Saya jadi teringat waktu  kerja di kedutaan asing di Tokyo.  Suatu hari saya berangkat kerja dicegat polisi dan menanyakan Visa. Saya tunjukkan paspor saya , dan selesailah urusan. Tapi besoknya terulang lagi dengan petugas yang berbeda, sampai saya terlambat kerja. Teman saya orang Jepang memberitahu kalau besok dicegat lagi, bilang saja sama polisi itu "kamu digaji dari pajak yang saya bayar”, tolong jangan ganggu saya". Betul juga ternyata  kalimat sakti itu manjur sekali. Dengan sigap tanpa melihat paspor saya lagi langsung siap grak dan memberi hormat kepada saya. Hah,,,!,,,,?....! sebegitu sensitif kah pegawai publik disini terhadap hak2 rakyat....? Dikantor walikota juga banyak sekali petugas yang keliling menghampiri para pengantri membantu melengkapi berkas2 yang kurang. Ketka saya mengurus keterlambatan pembayaran asuransi dikarenakan bencana gempa dan tsunami saya dihampiri seorang petugas yang jongkok disamping kursi saya. Begitu hormatnya mereka kepada rakyat biasa sekalipun.

Kesadaran pegawai publik seperti  contoh diatas memang tidak bisa diperoleh secara instan. Namun melalui proses yang panjang dan ditanamkan sejak dini. Bahkan sejak duduk dibangku SD anak2 Jepang sudah diajari bagaimana pelayani pelanggan. Saya sendiri sering terlibat mengajarkan secara langsung bagaimana anak2 SD di latih menjadi pelayan restoran. Doktrin yang ditanamkan adalah bukan lagi "Pelanggan adalah Raja", namun "Okyaku sama wa Kamisama desu",,, artinya "Pelanggan adalah Dewa".

Pak D I datang dari dunia interpreneur tulen ,,,, dimana semua value yang diperoleh equivalen dengan pelayanan yang diberikan. Tentu sangat berbeda dengan budaya perusahaan BUMN yang mempunyai sejarah tersendiri. Bisa difahami bagaimana gemesnya pak DI menghadapi kemacetan lalu lintas yg ternyata hanya disebabkan  karena  tersumbatnya arus di pintu Tol.

Seandainya para pelayan publik kita di Indonesia sejak dini lebih ditanamkan kesadaran akan jiwa melayani, mungkin sedikit akan membantu terciptanya "Clean Governor". Tidak ada kata terlambat untuk memulai, “Maju terus Indonesia-ku, Tanah Air ku tercinta,,,!!! ”.

Hariyadi, Japan Maret 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun