Mohon tunggu...
Hari Wiryawan
Hari Wiryawan Mohon Tunggu... Dosen - Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Penulis lepas masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Omnibus Law dan Kasta Pengusaha

10 Oktober 2020   12:52 Diperbarui: 10 Oktober 2020   13:06 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kata-kata kunci yang cukup untuk menggerakan massa ada dua yaitu "Omnibuslaw menguntungkan pengusaha", dan "Omnibuslaw menyengsarakan buruh". 

Kata-kata ini terus berkumandang dari media sosial satu ke medsos yang lain, dari grup WA satu ke grup WA sebelah. Inilah kata-kata yang sakti yang membangun rasa permusuhan antara kelas pekerja dan kelas pemilik modal. Mengapa massa begitu mudah tersulut isu pertentangan kelas?

Dalam alam bawah sadar orang Indonesia, bersemayam pikiran bahwa masyarakat terbagi dalam strata atau kelas sosial yang berjenjang. Kelas kelas sosial itu memiliki kedudukan sosial yang tidak sama, ada yang tinggi dan ada yang rendah. Sistem sosial "Kasta" sebagaimana dipakai masyarakat Hindu pada masa yang lampau di Nusantara, tampaknya masih berlangsung hingga kini.

Dalam sistem Kasta masyarakat Hindu, kedudukan tertinggi dalam masyarakat adalah kelas Brahmana (agamawan), diikuti oleh Ksatria (tentara/ aparatur negara), Waisya (pengusaha/ pedagang), Sudra (buruh/pembantu). 

Ketika masyarakat Indonesia beragama Islam, kedudukan agamawan masih tetap tertinggi yaitu kaum Ulama/ Kyai/ Ustad. Sebagai contoh adalah adanya adanya "aksi bela ulama", "GNPF MUI" (Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia). Ketika ada serangan fisik kepada beberapa ulama, ada yang mengusulkan perlu adanya UU Perlindungan Ulama. 

Bagi orang islam di desa, Kyai adalah rujukan dan panutan hidup. Bagi masyakat kota yang "hijrah" perkataan sang Ustad  menjadi sabda yang harus ditaati. Baik Hindu maupun Islam menjunjung tinggi kaum rohaniawan. Dengan demikian sistem Kasta dalam masyarakat Hindu dalam konteks menghargai kaum agamawan, dilanggengkan dalam masyarakat Islam di Indonesia.

Bagaimana dengan kasta Ksatria (prajurit/ aparatur negara)? Kasta ini memiliki tempat yang terhormat dalam masyarakat Hindu pada masa yang lampau dan tetap lestari sampai sekarang. 

Menjadi tentara atau menjadi aparatur negara adalah impian banyak orang. Dulu, para orang tua sangat mengharapkan anaknya bisa menjadi prajurit kerajaan atau menjadi abdi dalem keraton. Kini, menjadi pegawai negeri adalah impian banyak orang. 

Menjadi tentara atau pegawai negeri adalah langkah yang aman untuk kesejahteraan di masa depan. Jika diberi kesempatan, hampir pasti setiap guru ingin menjadi guru pegawai negeri, dosen ingin menjadi dosen pegawai negeri, dokter ingin menjadi dokter yang pegawai negeri, pegawai ingin menjadi pegawai negeri.

Di Indonesia, pada masa Pemerintah Orde Baru menerapkan sistem "Dwi Fungsi ABRI" dimana setiap anggota ABRI berhak menduduki jabatan-jabatan strategis di bidang politik, ekonomi, budaya dan seluruh aspek kehidupan masyarakat tanpa harus melepas atributnya sebagai anggota militer. 

Sejauh ingatan saya, praktik Dwi Fungsi ABRI tidak mendapat penolakan yang luas di masyarakat pada umumnya. Mereka yang menolak Dwi Fungsi umumnya adalah kalangan intelektual yang belajar ilmu politik di Barat. 

Pada masa akhir Orde Baru memang muncul kebencian kepada tentara, tetapi itu lebih ditujukan kepada perilaku tentara yang arogan, bukan pada konsep Dwi Fungsi ABRI. Pada masa reformasi, Dwi Fungsi dihapus. Penghapusan Dwi Fungsi lebih banyak merupakan agenda politik sebagai konsekuensi kita menganut sistem demokrasi. Namun secara budaya sebenarnya orang Indonesia tidak mempermasalahkan. 

Kita masih ingat ketika terjadi kerusuhan di Jakarta pada awal reformasi 1998, muncul pasukan Marinir berbaret ungu yang turun ke jalan tanpa senjata api. Rakyat kemudian secara spontan menyambut aksi simpatik itu, meskipun beberapa mobil polisi dan tentara baru saja dibakar. 

Hingga kini citra TNI telah pulih sebagai pihak yang selalu membela rakyat. Kalangan oposisi yang selama ini menentang Pemerintah, hampir tidak pernah mengirtik TNI, meskipun TNI bagian dari Pemerintah Jokowi. Yang ada malah TNI disanjung sebagai pembela rakyat dan anti Komunis.

Bagaimana dengan kasta ketiga yaitu Waisya? Dalam kasta ini bermukim pedagang, pengusaha, kaum bisnis. Sikap masyarakat terhadap kasta ini bisa dilihat dari berbagai fenomena. 

Dalam berbagai ceritera rakyat, dongeng sampai sinetron di televisi jika ada penggambaran orang kaya maka biasanya orang itu jahat kepada orang miskin. Ada orang kaya yang jahat kepada pembantunya, ada orang kaya yang jahat kepada orang tuanya. 

Orang kaya yang jahat itu sering digambarkan sebagai pedagang yang sukses, pengusaha yang berlimpah. Jarang sekali digambarkan bahwa orang yang kaya dan jahat itu seorang tentara, seorang dokter atau seorang rohaniawan.

Dalam ceramah agama sering digambarkan bahwa orang yang kaya itu adalah orang yang suka menumpuk-numpuk harta, orang yang kaya lupa pada agama, orang yang kaya suka berfoya-foya, orang yang kaya cenderung berbuat jahat dan... orang yang kaya itu adalah pedagang, penguasa atau businesman yang sukses. Seorang pedagang juga digambarkan sering berbuat curang dengan "mengurangi timbangan", "mencari keuntungan sebesar-besarnya...dengan modal sekecil-kecilnya", "suka memeras tenaga karyawan", "mengeksploitasi buruh" dsb.

Belakangan dalam Wacana Islam dikembangkan ajaran tentang kemuliaan para pedagang bahwa Nabi Muhammad juga seorang pedagang, bahwa Allah memberikan jalan riski kepada kaum pedagang lebih banyak dari profesi lain. 

Namun wacana kewirausahaan itu baru sekitar 20 tahun belakangan ini. Wacana kewirausahaan dalam Islam belum mampu menggeser asumsi yang berkembang lebih kuat bahwa "kaum pedagang itu suka lupa waktu dan lupa sholat karena lebih mengutamakan daganganya dari pada beribadah". 

Pada masyarakat tradisional agraris sering berkembang adanya anggapan bahwa jika sebuah warung laris maka si pemilik warung dituduh memelihara tuyul. Jika sebuah toko laris dianggap hasil pergi ke dukun. Sebaliknya jika sebuah warung sepi akan dianggap sebagai "warungnya mahal", bila warung makan tutup maka akan digunjing sebagai "makananya tidak enak". Jadi, dengan demkian seorang pengusaha atau pedagang akan dicurigai, jika sukses dan dicemooh, jika gagal.

Pengusaha yang melakukan effisiensi akan dianggap pengusaha yang pelit. Pengusaha yang melaklukan rasionalisasi akan dicap sebagai pengusaha yang semena-mena. Pengusaha yang disiplin akan dianggap sebagai pengusaha yang kejam. Pengusaha yang bekerja keras tak kenal waktu akan dianggap sebagai "orang yang hanya memikirkan dunia, tidak pernah memikirkan akhirat". Tapi pengusaha yang bangkrut akan dianggap sebagai pengusaha yang goblok.

Di kota Solo, tata kota dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menggambarkan bagaimana hubungan Raja dan kasta pedagang. Keraton menganggap bahwa ulama sebagai pemegang otoritas keagamaan yang terhormat (Brahma/ Ulama) maka Kaum Ulama ditempatkan persis di sebelah Barat tembok Keraton yang disebut dengan Kampung Kauman, pemukiman para Kaum (Ulama). Sementara kaum pedagaang (batik) ditempatkan di sekitar 5 Km dari keraton. 

Ini setidaknya menggambarkan hubungan yang jauh antara Raja dan kaum pengusaha/ pedagang. Raja tidak butuh pedagang maka kaum pedagang tidak perlu dekat dengan istana. Sementara Ulama sangat dibutuhkan oleh Raja maka rumahnya harus sangat dekat dengan keraton. Sedangkan kaum Ksatria ada dalam tembok keraton.

Dalam sejarah sering digambarkan bahwa mereka yang mengeruk kekayaan Indonesia adalah penjajah Belanda dan mereka adalah kaum pedagang yang rakus yang tergabung dalam VOC (Vereeniging de Oost Indische Companie). Perang melawan VOC muncul di mana-mana yang hakikatnya adalah perang rakyat melawan kaum pedagang. Istilah "Kompeni" sebagai julukan bagi penjajah Belanda berasal dari "Compagnie" (Perusahaan). Dari sejarah kita diajarkan bahwa yang jahat adalah "perusahaan/ pengusaha" Belanda bukan "tentara" Belanda.  

Pada masa awal Reformasi, sangat santer berita tentang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikemplang oleh para konglomerat. Para pencuri uang negara adalah para pengusaha yang rakus. Besarnya nilai uang negara yang dicuri, membuat masyarakat geram. Mereka yang mengemplang pajak juga dilakukan oleh para pengusaha.

Buruknya persepsi masyarakat terhadap pengusaha itu makin tambah runyam dengan melihat kenyataan bahwa para pengusaha itu sebagian besar bertenis Tionghoa. Pada masa sekarang dimana gerakan anti China berkembang maka gambaran buruk pengusaha terutama pengusaha China makin bertambah negatif.

Pengusaha pribumi yang teliti dalam keuangan dianggap "lebih Cina dari orang Cina". Pengusaha asing yang akan melakukan investasi dicurigai akan merampok kekayaan Nusantara. Apalagi jika pengusaha asing itu dari Tiongkok, maka pengusaha itu akan dianggap iblis jadi-jadian.

Sementara itu kaum Sudra sebagai kasta terendah, meskipun mereka dipandang sebelah mata, namun secara sosial mereka dianggaap sebagai kaum yang lemah dan perlu ditolong. Ajaran Islam banyak mengajurkan agar menolong orang fakir miskin, zakat kepada kaum miskin.  Ajaran Kristen juga menganjurkana untuk mengasihi kaum papa. 

Dalam wacana politik, hampir semua partai politik selalu mengklaim membela rakyat kecil. Partai Demoktasi Indonesia Perjuagan adalah partai yang paling menonjol menyatakan diri sebagai "partainya wong cilik" dan berhasil memikat kalangan bawah. Hampir semua partai, baik partai nasionalis, komunis dan Islam selalu menyuarakan sebagai pembela kaum cilik. Siapa wong cilik itu? Satu di antara yang dianggap sebagai wong cilik atau orang fakir adalah: buruh, kaum pekerja.

Dengan demikian kasta Brahma/Ulama adalah kasta yang terhormat dan dihormati oleh kaum penguasa (Ksatria) yang berusaha membantu kasta paling rendah (Sudra). Ada sinergi antara tiga kasta itu, mereka bahu membahu untuk saling membantu. Bagaimana dengan Waisya? Nah di sinilah letak masalhnya. Kasta Waisya adalah kasat yang sangat buruk citranya dan menjadi musuh masyarakat sebagaimana diuraikan di atas.

Dan kini ketika Omnibuslaw dicap sebagai "menguntungkan pengusaha" dan "menyengsarakan buruh" bak bensin yang siap dibakar. Ketika alam bawah sadar sudah terbentuk lama maka akan mudah memanggil kembali kebencian publik kepada kelas menengah pengusaha (Waisya). Mungkin ini salah satu penyebab mengapa Indonesia tertinggal dari bangsa Asia lainya: buruknya persepsi kepada pengusaha. Dan... itu yang sedang dilawan Jokowi. (Wir).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun