Mohon tunggu...
Hari Wiryawan
Hari Wiryawan Mohon Tunggu... Dosen - Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Penulis lepas masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Penuturan Sejarah dan Isu PKI di Barak Militer Magelang Tahun 70-an

27 September 2020   00:44 Diperbarui: 29 September 2020   18:53 3112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak tentara di Komplek Militer, Ngentak, Magelang awal 1970-an (koleksi pribadi)

Setiap awal bulan Oktober di lingkungan kami, kompleks militer Ngentak, Magelang awal dasawarsa 1970-an selalu sibuk. Ada 2 peristiwa penting yang harus diperingati yaitu Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober dan Hari lahir ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) 5 Oktober.

Berbagai acara dilakukan seperti upacara bendera, lomba lukis, atau lomba deklamasi di sekolah-sekolah milik keluarga TNI AD seperti SD Sudirman I, SD Sudirman II, SD Piere Tendean, SD A.Yani, dsb. Tentu saja di kesatuan militer yang ada di lingkungan kami juga ada upacara bendera. 

Kesatuan yang ada di komplek militer Ngentak antara lain adalah Resimen Induk Kodam VII Diponegoro (Rindam VII Diponegoro), Bataliyon Artileri Medan (kesatuan ini memiliki senjata andalan berupa meriam dan berbaret coklat), Batalyon Kavaleri (bersenjatakan tank dan berbaret hitam).

Di seberang utara lapangan terdapat Batalyon Zipur (Zeni Tempur) yang bertugas membangun insfrastuktur, dan beberapa kesatuan lain.

Di sekolah dasar, para guru mengajarkan tentang peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Saya mendengar ceritera tentang PKI sejak kelas 3 SD, tahun 1973. Peristiwa yang terjadi 8 tahun sebelumnya itu, diceriterakan oleh guru kami bernama Bu Titik.

Guru ini suaranya keras dan agak galak, namun pandai berceritera. Cerita serupa juga saya dengar dari guru kelas kami waktu saya kelas IV dan kelas V (Bu Endang yang cantik, berambut panjang) dan Kelas VI (Pak Soemihardjo, yang berkumis melintang). Kadang-kadang kepala sekolah Bu Atiek Suwarti yang sudah sepuh juga masuk kelas untuk jika guru kelas kami berhalangan.

Ceritera tentang G30s/PKI juga saya dengar dari orangtua, atau kakak-kakak kami yang sudah besar. Nama 7 Pahlawan Revolusi itu melekat dalam ingatan kami, di samping sering diceriterakan juga sering jadi soal ujian di sekolah.

Kata-kata "kekejaman PKI", "lobang buaya", "gerwani" adalah diksi yang buruk dan jahat dalam pandangan saya dan juga teman-teman. Ini semua karena ceritera yang kami tangkap dari para orangtua kami dan guru kami di sekolah.

Bagi kami, mendengar nama Jenderal A Yani, Piere Tendean, Katamso, Sugiyono seperti mendengar ceritera tentang Pakde atau Paman kami sendiri.

Kami merasa dekat karena mereka juga tentara seperti ayah kami, mereka kebetulan juga berasal dari tempat di sekitar Magelang yaitu Purworejo (A.Yani), Jogjakarta (Katamso dan Sugiyono), atau Piere Tendean yang memang orang Magelang.

Secara geografis dan emosional nama para korban PKI itu sangat dekat dengan kami di Magelang. Saya tidak merasa mereka adalah pahlawan di buku sejarah, mereka adalah bagian dari keluarga kami. Para guru kami di sekolah sangat pandai berceritera dan sangat detail sehingga kami hanyut dalam suatu kesedihan yang mendalam.   

Setelah menceriterakan mengenai kekejaman PKI, guru kami juga menjelaskan tentang keberanian para pahlawan revolusi itu, tentang pengorbanan para pahlawan itu.

Keteladanan tentang keberanian melawan kejahatan (PKI adalah kejahatan) dan pengorbanan bagi bangsa (mereka bertaruh nyawa). Itulah yang selalu menjadi semangat kami waktu itu. Glorifikasi (pengagungan) kepada para pahlawan revolusi itu tidak terelakan.

Namun bagi anak tentara pahlawan yang wajib diteladani bukan hanya 7 Pahlawan Revolusi (Tuparev), tetapi ada yang lebih penting yaitu pertama adalah Pangeran Diponegoro dan Jenderal Sudirman.

Diponegoro telah terpatri sebagai nama Kodam, sedangkan Pak Dirman sudah seperti kakek kami yang selalu diceriterakan perjuangannya. 

Sejarah tentang Diponegoro tidak hanya dituturkan oleh guru di kelas atau dibaca di buku, tapi kami lihat di ruang penangkapan Diponegoro di eks Kantor Residen/Jenderal de Kock. Sehingga kami juga bisa merasakan kemarahan dan kekalutan Pangeran Diponegoro pada saat ditangkap Belanda.

Mengunjungi Kantor eks-Karesidenen di mana Pangeran Diponegoro ditangkap bukan satu atau dua kali selama saya SD, tapi berkali-kali. Sebab pada gedung yang eksotik itu terbentang halaman yang luas dan indah pemandangannya sehingga sering dijadikan lokasi latihan Pramuka di akhir pekan. Diponegoro telah menjadi ruh anak-anak tentara di Kodam VII Diponegoro.

Sejarah tentang perjuangan Jenderal Sudirman juga sering kami dengar biasanya menjelang 5 Oktober. Ceritera tentang Pak Dirman membuat kami sesak di dada, dan merasa diiris-iris dada saya.

Murid perempuan banyak yang berkaca-kaca karena guru kami menggambar di papan tulis dengan kapur dua buah paru-paru Pak Dirman, dan karena sakit TBC, maka paru-paru itu harus dipotong.

Saya masih ingat Bu Titik menghapus paru-paru sebelah kiri Pak Dirman, dan kami pun merasa teriris-iris dada kami. Dan karena sakit paru-paru itulah Pak Dirman di tandu keluar masuk hutan untuk bergerilya menentang Belanda.

"Selama di hutan Pak Dirman dan para tentara hanya makan daun-daunan," begitu kurang lebih Bu Titik mengambarkan penderitaan pejuang 45.

Para pahlawan pada umumnya digambarkan sebagai orang yang sempurna mengabdi kepada bangsa dengan penuh pengorbanan dan penderitaan. Pangeran Diponegoro menderita karena ditangkap setelah ditipu Belanda, Pak Dirman menderita sakit paru-paru ketika melawan Belanda, Pahlawan Revolusi menderita karena dibunuh PKI.

Namun ada satu pahlawan yang bagi kami membanggakan dan kami senang jika mendengar ceritera itu. Kisah pahlawan ini adalah kisah kemenangan bukan penderitaan dan kekalahan, pahlawan itu adalah Kolonel Sarwo Edhi Wibowo (kelak mertua Presiden SBY). Kehebatannya, kegagahanya selalu membuat kami senang.

Ada pahlawan yang bisa menang, karena para pahlawan yang dulu selalu kalah dan menderita. Salah satu teman saya kebetulan bernama Sarwo Edhi Wibowo, jika Bu Titik menceriterakan soal kehebatan Sarwo Edhi dia sengaja dekat ke bangku teman saya itu.

Dan teman saya, Edi (demikian kami memanggil), tersipu-sipu karena namanya selalu disebut-sebut. Kami pun tertawa di kelas melihat rekan salah tingkah.

Sejauh ingatan saya, para guru dan orangtua kami tidak pernah menceriterakan atau menggambarkan orang yang bernama Soeharto yang kebetulan juga seorang jenderal dan menjadi Presiden pada saat itu. Bahwa Soeharto adalah presiden kami mengetahui dari foto di kelas, tapi tentang kisah kepahlawananya tidak pernah menjadi topik di sekolah atau di rumah.

Bahkan jika TVRI menyiarkan siaran pidato Presiden, orang-orang dewasa malah saling menyindir tapi tidak pernah berani menyebut nama secara langsung.

"Pidato kok moco (Pidato kok baca)", "durung pantes dadi presiden (belum pantas jadi presiden)", "bedo karo sing ndisik (beda dengan yang dulu, maksudnya Bung Karno)" dan sebagainya. Selalu saja ada yang menggunjing soal pidato yang membosankan dari Soeharto.

Mengapa mereka tidak suka pada sosok Soeharto? Saya menduga para perwira militer (perwira pertama dan perwira menengah) yang tinggal di Kompleks Militer Ngentak adalah orang yang sebenarnya pro-Bung Karno.

Mereka masih mencintai Bung Karno, namun karena perubahan politik mereka menyembunyikan sikap politiknya. Di kamar tamu mereka di kompleks militer itu sudah pasti tidak ada foto Bung Karno. Namun di dalam kamar tidur atau bahkan gudang, foto Bung Karno masih ada. Saya terbiasa keluar masuk rumah tetangga ketika mengerjakan PR bersama atau waktu main petak umpet.

Di rumah saya -kebetulan orang tua saya punya pesawat televisi 17 inch merek Sharp-  tempat berkumpul ibu-ibu dimalam hari yang mau menonton film serial di TVRI. Suatu malam  salah seorang ibu berceritera bahwa dirinya baru saja mudik ke Jawa Timur dia sekeluarga menyempatkan diri untuk berziarah ke makam Bung Karno.

Dengan nada emosional ibu itu berceritera bahwa dirinya tidak rela. "Beliau itu Proklamator lho, masak makamnya hanya gundukan tanah. Bung Karno itu yang membuat kita merdeka," kata sang Ibu yang tinggal di depan rumah kami.

Bung Karno sebenarnya tidak terlalu dipuja di kalangan keluarga militer (jika dibandingkan dengan Diponegoro dan Pak Dirman), tetapi jasanya tetap dihormati.

Ayah saya selalu menyimpan buku Di Bawah Bendera Revolusi karya Bung Karno di sisi paling kiri almari buku, karena buku itu paling tebal dan paling tinggi diantara buku-buku ayah saya.

Sementara Soeharto sama sekali tidak mendapat tempat d ikalangan perwira militer di kompleks militer Ngentak, Magelang. Justru anak buah Soeharto yang moncer: Sarwo Edhi Wibowo.

Prestasi Soeharto di bidang militer juga tidak dianggap cemerlang bagi lingkungan tentara. Soal peristiwa 6 jam di Jogja, misalnya. Ayah saya juga heran kok Soeharto jadi pahlawan, karena semua tahu bahwa peristiwa itu jasa Sri Sultan Hamengkubuwono IX, bukan Soeharto.

Dalam penuturan sejarah di kalangan anak tentara, yang saya tangkap adalah bahwa kita harus meneladani para pahlawan atas pengorbanan mereka. Saya sama sekali tidak menangkap adanya anjuran agar kita membenci Belanda atau membenci PKI.

Bahwa Belanda dan PKI digambarkan telah berbuat jahat kepada kita, ya benar. Namun tidak ada anjuran agar kita membalas perbuatan mereka, tidak ada anjuran membenci mereka. Di sekitar rumah kami, di luar kompleks, juga ada orang PKI.

Secara bisik-bisik kita sering menggunjing bahwa si A atau si B itu adalah PKI. Namun dalam keseharian kami tidak pernah mengucilkan mereka.

Setelah pensiun, Ayah saya mempekerjakan seorang mantan tahanan politik (tapol) setelah keluar penjara. Ayah saya melarang menyebut dia PKI karena dia sudah dihukum dan sudah menjalani hukuman itu.

Kini banyak orang yang menuduh PKI hanya untuk menyerang lawan politik. Mungkin mereka adalah anak buah Soeharto yang tidak pernah dianggap sebagai pahlawan di kalangan keluarga tentara di Ngentak, Magelang dasawarsa 1970-an. (wir)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun