Secara geografis dan emosional nama para korban PKI itu sangat dekat dengan kami di Magelang. Saya tidak merasa mereka adalah pahlawan di buku sejarah, mereka adalah bagian dari keluarga kami. Para guru kami di sekolah sangat pandai berceritera dan sangat detail sehingga kami hanyut dalam suatu kesedihan yang mendalam. Â Â
Setelah menceriterakan mengenai kekejaman PKI, guru kami juga menjelaskan tentang keberanian para pahlawan revolusi itu, tentang pengorbanan para pahlawan itu.
Keteladanan tentang keberanian melawan kejahatan (PKI adalah kejahatan) dan pengorbanan bagi bangsa (mereka bertaruh nyawa). Itulah yang selalu menjadi semangat kami waktu itu. Glorifikasi (pengagungan) kepada para pahlawan revolusi itu tidak terelakan.
Namun bagi anak tentara pahlawan yang wajib diteladani bukan hanya 7 Pahlawan Revolusi (Tuparev), tetapi ada yang lebih penting yaitu pertama adalah Pangeran Diponegoro dan Jenderal Sudirman.
Diponegoro telah terpatri sebagai nama Kodam, sedangkan Pak Dirman sudah seperti kakek kami yang selalu diceriterakan perjuangannya.Â
Sejarah tentang Diponegoro tidak hanya dituturkan oleh guru di kelas atau dibaca di buku, tapi kami lihat di ruang penangkapan Diponegoro di eks Kantor Residen/Jenderal de Kock. Sehingga kami juga bisa merasakan kemarahan dan kekalutan Pangeran Diponegoro pada saat ditangkap Belanda.
Mengunjungi Kantor eks-Karesidenen di mana Pangeran Diponegoro ditangkap bukan satu atau dua kali selama saya SD, tapi berkali-kali. Sebab pada gedung yang eksotik itu terbentang halaman yang luas dan indah pemandangannya sehingga sering dijadikan lokasi latihan Pramuka di akhir pekan. Diponegoro telah menjadi ruh anak-anak tentara di Kodam VII Diponegoro.
Sejarah tentang perjuangan Jenderal Sudirman juga sering kami dengar biasanya menjelang 5 Oktober. Ceritera tentang Pak Dirman membuat kami sesak di dada, dan merasa diiris-iris dada saya.
Murid perempuan banyak yang berkaca-kaca karena guru kami menggambar di papan tulis dengan kapur dua buah paru-paru Pak Dirman, dan karena sakit TBC, maka paru-paru itu harus dipotong.
Saya masih ingat Bu Titik menghapus paru-paru sebelah kiri Pak Dirman, dan kami pun merasa teriris-iris dada kami. Dan karena sakit paru-paru itulah Pak Dirman di tandu keluar masuk hutan untuk bergerilya menentang Belanda.
"Selama di hutan Pak Dirman dan para tentara hanya makan daun-daunan," begitu kurang lebih Bu Titik mengambarkan penderitaan pejuang 45.