Â
Seorang taruna angkatan udara di Indonesia mendapat julukan sebagai "karbol". Kata 'karbol' merujuk pada salah seorang perintis TNI AURI bernama Marsekal Muda TNI Prof dr Abdul Rahman Saleh. Ia adalah seorang perwira angkatan udara yang dikenal dengan sebutan "Pak Karbol". Â Julukan "Pak Karbol" diberikan karena Abdul Rahman Saleh dikenal rajin setiap pagi selalu menjaga kebersihan lantai dengan cara mengepel, dimana kain pel-nya diberi cairan atiseptik yang dikenal dengan sebutan karbol.
Setiap pagi dimana ia tinggal apakah di rumah atau di asrama selalu berbau karbol. Maklum, Â Abdul Rahman Saleh adalah seorang dokter lulusan STOVIA. Mungkin karena ayahnya, Mohammad Saleh, juga seorang dokter maka soal kebersihan adalah obsesinya. Dari situlah orang menyebut dia sebagai "Pak Karbol".
Tapi "Pak Karbol", bukan hanya milik TNI AURI. Pak Karbol juga tidak asing bagi Radio Republik Indonesia (RRI). Dialah salah satu pendiri RRI dan  Kepala RRI yang pertama. Oleh karena itu nama Pak Karbol diabadikan sebagai "multi pahlawan".
Di Malang, Pak Karbol diabadikan sebagai nama Lapangan Udara, karena jasanya di TNI AURI. Di Solo, Abdul Rahman Saleh diabadikan sebagai nama Jalan di depan gedung RRI, karena jasannya di RRI. Jauh sebelum RRI berdiri Pak Karbol sudah menjadi Ketua VORO 1937-1940 (Vereeniging Ostersche Radio Oemroep), sebuah Radio Ketimuran di Jakarta yang merupakan anak dari SRV (Solosche Radio Vereeniging). (Di Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, ada Patung Pak Karbol  karena jasanya di bidang kedokteran.)
Para aktivis radio -setelah Jepang menyerah kepada Sekutu- yang merangkap sebagai tentara rakyat sebetulnya bukan hanya Pak Karbol. Aktivis radio yang lain, Maladi, misalnya, Â juga seorang anggota TP (Tentara Pelajar) yaitu sebuah laskar tentara rakyat dikalangan Pelajar yang sangat terkenal di Jawa Tengah. Nama lain yaitu yaitu S. Harto dari Radio Semarang juga seorang tentara.
Konon kabarnya S Harto kemana mana selalu membawa pistol. Bahkan ketika diajak Maladi ke Jakarta sekitar 9 Septermber 1945 dari Semarang ke Jakarta, S Harto tetap membawa pistol. Tapi perlu dicatat bahwa bulan-bulan itu, -sebelum dan sesudah Proklamasi 17 Agustus 19145- RRI dan TNI belum lahir.
Kedekatan para aktivis radio dengan tentara rakyat bukan hanya karena beberapa personilnya yang anggota militer. Kedekatan radio dan militer adalah karena kesamaan cara pandang dalam melihat masalah bangsa pada saat itu. Hal ini tentu menarik sebagai bahan penelitian lebih lanjut mengapa ada banyak kesamaan cara pandang antara aktivis radio dan para militer yang kelak kemudian masing-masing mendirikan RRI dan TNI.
Masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia saat itu, setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, adalah bagaimana menghadapi Jepang yang sudah kalah, dan bagaimana menghadapi Sekutu yang sebentar lagi datang. Â Jepang kalah sudah jelas, tapi mau diapakan tentara 'kate' ini? Inilah yang membuat geregetan para pejuang di daerah.
Karena Jepang masih menguasai aset-aset penting seperti peralatan dan pemancar radio. Bagaimana menghadapi sekutu? Inilah yang selalu membuat was-was.