Pramoedya Ananta Toer, dalam Sang Pemula (1985) menggambarkan dengan dramatis seorang tokoh pejuang yang terasing, sehingga masyarakat luas tidak mengenal sosok penting itu. Ia seorang tokoh besar bernama Tirto Adhi Suryo (TAS).
Pram menggambarkan terasingnya TAS dengan mengutip sebuah surat yang dimuat koran De Locomitief, setelah wafatnya TAS pada 7 Desember 1918. Surat itu berbunyi: "...lantaran tahun-tahun terakhirnya yang memilukan. Karena Tirto Adhi Soerjo telah menjadi kurban kerasnya sendiri dalam tujuh-delapan tahun terakhir telah sepenuh-penuhnya rusak ingatan dan takut orang..."
Menurut Pram, surat tersebut tidak mengandung maksud jahat, malah hendak memuliakan almarhum, tapi tanpa sengaja juga ikut menjatuhkan hukuman kepada TAS sebagai "orang yang telah sepenuhnya rusak ingatan dan takut orang".
Citra buruk TAS itulah yang dikehendaki para pejabat Hindia Belanda agar tokoh modernis itu tidak muncul dalam sejarah pergerakan Indonesia. Pram membeberkan adanya upaya sistematis mendiskreditkan dan menggelapkan peran besar TAS dalam menggerakkan kesadaran bangsa. Setelah Indonesia merdeka, syukurlah TAS kemudian dikenal sebagai "Bapak Pers Indonesia".
Namun kisah TAS berulang kembali. Dewasa ini nasib Tirto Adhi Suryo itu menimpa Suryo Suparto, nama kecil  Mangkunagoro VII. Ceriteranya begini:
Seorang tokoh wartawan bertanya kepada Sejarawan LIPI Dr Asvi Warman Adam, "Apakah seorang yang menyumbang 600 gulden kepada sebuah stasiun radio layak disebut sebagai  Bapak Penyiaran?"
Pertanyaan itu diajukan pada saat rehat seusai rapat di Kementerian Kominfo, Jakarta tiga tahun silam tepatnya 25 Februari 2016. Dalam rapat tadi Dr Asvi membagikan artikelnya "Radio Sebagai Alat Perjuangan: Mangkunegoro VII dan SRV" (Solosche Radio Vereeniging) yang menyebutkan bahwa Mangkunegoro VII (selanjutnya disebut MN VII), "...menyumbang 600 gulden untuk pembelian sebuah pemancar dan kemudian menyerahkan tanah seluas 6.000 meter persegi senilai 15 ribu gulden untuk pembangunan gedung studio SRV di Kestalan Mangkunegaran..".
Kalimat dari Dr Asvi W Adam itu sebenarnya ingin menghargai peran penting MN VII di bidang penyiaran namun secara tidak sengaja justru mendegradasikan "hanya dengan menyumbang kepada radio lalu akan dinombatkan sebagai bapak penyiaran?". (Dalam rapat bertajuk "Penetapan Hari Penyiaran" siang itu memang di singgung soal Bapak Penyiaran tetapi urung dibahas).
Pertanyaan sang wartawan dan kalimat artikel itu menunjukkan bahwa MN VII adalah tokoh yang tidak dikenal, asing bagi masyarakat, termasuk masyarakat media. Tokoh wartawan tadi tentu sudah banyak membaca buku sejarah.
Tapi toh merasa asing dengan nama MN VII. Tidak dikenalnya MN VII sebagai perintis penyiaran bisa dicek kepada para pengelola media penyiaran radio dan televisi di Indonesia saat ini. Apakah mereka mengenal sosok dan peran MN VII dalam penyiaran? Â
Baik Tirto Adi Suryo (1880-1918) maupun Suryo Suparto (1885-1944) adalah perintis media massa di Indonesia. TAS merintis media cetak, MN VII merintis media penyiaran. Yang menarik, menurut Pram, TAS dari garis Ibu adalah keturunan Mangkunagoro I.
Jika ini benar maka TAS dan MN VII masih bersaudara. Kedua tokoh media massa itu adalah keturunan salah satu tokoh besar bangsa Indonesia: Raden Mas Said (1725-1795) atau Pangeran Samber Nyawa yang kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunagoro I, pendiri dinasti Mangkunegaran di Solo.
Tidak ada maksud dari Dr Asvi Warman Adam untuk mengecilkan peran MN VII ketika ia menulis soal sumbangan itu. Tetapi karena sosok MN VII tidak dikenal oleh pembaca maka peristiwa sumbangan itu dilihat dengan kacamata manusia abad 21, di zaman media sosial ini, maka sumbangan itu akan menjadi buih dalam lautan. Lebih-lebih jika dinilai secara ekonomis maka akan makin tidak bermakna. Kita harus mendudukkan makna sumbangan itu pada konteks sosial budaya dan teknologi paruh pertama abad ke-20.
TAS merintis penerbitan secara mandiri sejumlah surat kabar antara lain Medan Prijaji, Januari 1907. Di tangan TAS, bangsa Indonesia bisa "memiliki" sebuah suratkabar. Apakah sebelum Medan Prijaji, ada surat kabar di Hindia Belanda? Jawabnya: Ada, bahkan banyak! Tetapi surat kabar Medan Prijaji bukan hanya berbahasa Indonesia, tetapi juga koran  pertama "milik bangsa Indonesia".
Serupa dengan TAS, MN VII memprakarsai berdirinya stasiun radio Solosche Radio Vereeniging (SRV), 1 April 1933. Apakah sebelum SRV ada stasiun radio di Hindia Belanda? Jawabnya: Ada, bahkan banyak! Tetapi SRV adalah stasiun radio pertama yang berbahasa Indonesia dan yang pertama "milik bangsa Indonesia".
Lalu apa istimewanya bangsa Indonesia memiliki surat kabar? Apa istimewanya memiliki stasiun radio? Jika tindakan TAS dan MN VII dilakukan pada abad 21 ini, maka, hal itu tidak akan berarti apa-apa, bagai menuang garam di lautan. Tapi konteks masalah adalah lebih dari satu abad yang lalu bagi apa yang dilakukan TAS, dan delapan puluh tiga tahun lalu bagi MN VII. Memiliki sebuah media massa adalah "sesuatu".
Ia prestasi yang bersejarah, suatu yang bermakna bagi bangsa ini yang terjajah lebih dari tiga abad. Bagi Belanda apa yang dilakukan TAS dan MN VII tidak berarti apa-apa karena sudah puluhan bahkan ratusan surat kabar dan radio berdiri di tangan orang Belanda. Sama halnya sudah puluhan orang Eropa dan Amerika terjun dalam laga balap mobil F-1. Orang seperti Rio Haryanto bisa dianggap sebutir beras dalam periuk. Tapi bagi Indonesia, seorang Rio Haryanto adalah sejarah yang ditorehkan dengan kebanggaan.
Buku resmi Kementerian Penerangan RI (1953) berjudul Sejarah Radio di Indonesia, mengungkap kepeloporan MN VII. Begitu pula catatan sejarah yang ditulis pada masa hidup MN VII seperti, SRV Gedenkboek (1936), atau kesaksian penulis Belanda, Cannegeiter (1937), ketua SRV, Sarsito Mangunkusumo (1939), cendekiawan Kuncoro Purbopranoto (1939) dan mantan ajudan Ratu Wilhelmina de Jonge van der Halen (1939). Para peneliti dari Asia dan Barat  juga mengungkap peran perintisan MN VII, misalnya buku atau artikel karya Eapen & Lent (1978), Colin Wild (1987), Hary Poeze (2008), Jennifer Lindsay (1997), Rudolf Mrazek (2006), Susumu Takonai (2006) dan Yampolsky (2013).
Apakah karena MN VII seorang raja sehingga memiliki akses dan fasilitas? Buku Kementerian Penerangan RI (1953) maupun para peneliti Asia dan Barat tidak menyebut adanya kepeloporan/perintisan radio oleh para raja di seluruh Nusantara termasuk dari dinasti Mataram, kecuali MN VII. Raja-raja di Nusantara pada masa perintisan radio seperti Raja Kasunanan Surakarta Pakubuwono X dan Sultan Jogjakarta Hamengkubuwono VIII tidak tercatat memiliki peran penting dalam bidang penyiaran radio.
Karena itu melihat kisah MN VII, Tirto Adhi Suryo masih beruntung karena salah satu jasanya bagi bangsa ini dalam bidang pers telah diakui oleh negara sebagai "Bapak Pers Indonesia" dan telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Sementara Suryo Suparto belum diakui oleh negara sebagai Bapak Penyiaran Indonesia.
Menteri Penerangan Mashuri pada masa Presiden Suharto telah menetapkan Tirto Adhi Suryo sebagai (Bapak) Perintis Pers Indonesia (1973), Presiden SBY telah mengangkat Tirto Adhi Suryo sebagai Pahlawan Nasional (2006). Lima tahun Presiden Jokowi tidak kunjung mengakui Suryo Suparto sebagai Bapak Penyiaran. Akankah pada Hari Penyiaran 1 April 2019 Â Mangkunagoro VII ditetapkan sebagai Bapak Penyiaran? Waullahualam (wir).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H