Mohon tunggu...
Hari Wiryawan
Hari Wiryawan Mohon Tunggu... Dosen - Peminat masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo.

Penulis lepas masalah politik, sejarah, hukum, dan media, dosen Usahid Solo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Raden Patah dan "Kader Darah" Pilpres

18 Agustus 2018   11:56 Diperbarui: 18 Agustus 2018   12:29 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Karena itu, adalah mustahil mendirikan kerajaan baru, dengan raja baru dan agama baru tanpa unsur Majapahit. Jika kerajaan berdiri tanpa unsur Majapahit maka bisa-bisa negeri itu hanya berdiri seumur jagung saja, mati dengan sendirinya karena rakyat tidak peduli atau menghadapi pemberontakan dari berbagai penjuru. Jika kerajaan baru tadi hanya memiliki unsur Islam, tanpa unsur Majapahit, bisa jadi akan dituduh sebagai agen asing di bumi Nusantara. 

Dengan demikian maka dua unsur itu bagaikan dua sisi mata uang: "unsur Islam" dan "unsur Majapahit" harus menyatu dalam satu sosok. Karena raja adalah penguasa tunggal, raja tidak memiliki wakil. (Kelak dua unsur ini digunakan dalam memilih pasangan pemimpin di Indonesia modern dimana ada unsur Islam dan unsur nasionalis {Majapahit}).

Singkat kata, Raja Islam di tanah Jawa harus memiliki jiwa "kemajapahitan", 24 karat, yang tidak diragukan lagi oleh siapapun. Jika di Indonesia yang modern saat ini untuk mengukur kadar "keindonesiaan" bisa dilihat dari kesetiannya kepada NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal ika dan sebagainya. Maka di zaman itu kadar "kemajapahitan" seorang raja diukur hanya dari satu tolok ukur saja yaitu: darah, trah atau keturunan. 

Dan darah itu harus langsung dari sang Maharaja Majapahit sendiri: Brawijaya. Pada masa tahun-tahun rencana pendirian Kerajaan Demak raja yang berkuasa di Majapahit adalah Bre Kertabumi yang bergelar Brawijaya V, yang kelak menjadi raja terakhir Majapahit.

Para wali yang ahli  dalam hal agama, ahli dalam startegi dan politik tidak ada satu pun yang merupakan keturunan langsung dari Raja Majapahit Brawijaya. Begitu pula para santri di Giri dan Ampel tidak ada yang berdarah murni Majapahit, kecuali satu nama: Raden Patah atau Fatah. Ini adalah nama Islam yang diberikan kepada mualaf keturunan Cina, Raden Jinbum, santri dan menantu Sunan Ampel.  Unsur keislaman dan kemajapahitan itu akhirnya terjawab dalam sosok kader darah 24 karat, putra kandung Brawijaya V dengan isteri selir berdarah Cina itu: Raden Patah.

Hubungan antara Raden Patah dan ayahnya, Brawijaya V cukup unik. Ketika sang ibunda mengandung Raden Patah, ia diceraikan oleh suaminya, Brawijaya V. Mantan selir itu kemudian menikah lagi dengan seorang Adipati (Gubernur) Palembang bernama Aryo Damar dalam keadaan mengandung Raden Patah. Padahal Aryo Damar adalah putra tertua Brawijaya V.

Masa lalu dan sepak terjang orang tua Raden Patah tidak terlalu penting bagi masyarakat luas dimana sistem feodalisme sangat mengakar. Bahkan etnisitas juga tidak dipersoalkan, Raden Patah bukan orang Jawa tulen, separuh berdarah Cina dan lahir di Palembang. Tak ada tuduhan agen 'aseng'. Bagi para wali yang utama adalah bahwa Raden Patah adalah putra kandung Brawijaya V. Raden Patah memiliki dua unsur utama  yaitu "Islam" dan "Majapahit".

Darah Majapahit penting bagi kultur masyarakat yang feodalistik, agar rakyat memberikan dukungan penuh. Kalangan elit juga akan segan dengan raja Islam itu karena di dalam tubuhnya mengalir darah Brawijaya sang kaisar dari imperium Majapahit. Dalam masyarakat yang feodalistik-paternalistik maka rekayasa para wali adalah wajar dalam menjawab tantangan zaman saat itu. 

Cita-cita mendirikan kerajaan Islam terpenuhi dengan mengurangi resiko konflik militer dengan Majapahit dan menekan pula gejolak konflik horizontal. Salah satu wejangan Sunan Ampel kepada Raden Patah adalah tidak boleh menyerang Majapahit, menyerang Majapahit sama dengan anak durhaka kepada ayahanda.

Kini Indonesia telah merdeka, Majapahit tinggal sejarah. Bayang-bayang Majapahit hanya terlintas dalam pikiran alam orang Indonesia. Unsur Majapahit dalam kepemimpinan Indonesia tinggal semangat persatuan bangsa sebagaimana warisan Sumpah Palapa. 

Hubungan darah dengan Majapahit tidak diperlukan lagi bagi pemimpin Indonesia. Kita adalah negara dan bangsa merdeka yang menjunjung tinggi demokrasi. Semua warga negara memiliki hak yang sama. Untuk menjadi pemimpin tidak perlu berdarah bangsawan. Namun ditengah reformasi dan demokrasi kini muncul bibit-bibit politik dinasti yang mengagungkan "kader darah".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun