Cerita mashyur ini bermula ketika Nabi Muhammad SAW heran melihat seorang pria yang lama berdiam diri di masjid padahal matahari sudah mulai tinggi dan waktunya orang bekerja. Setelah ditanya Rasulullah, pria itu menjawab bahwa dia lama berdoa karena banyaknya hutang yang di tanggungnya. Nabiyullah nan pengertian itu kemudian mengajari pria tersebut untuk membaca doa yang perlu dibaca menjelang pagi dan petang:
"Allahumma inni a'udzubikaminal hamni wal hazani. Waa'udzubika minal ajzi wal kasli. Wa a 'udzubika minal bughli wal jubni. Waa'udzubika min gholabatiddaini wa qahrirrijal."
(Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari rasa kesusahan dan duka-cita. Dan aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas, dan aku berlindung kepada Engkau dari bakhil dan pengecut. Dan aku berlindung kepada Engkau dari pengaruh berhutang dan kekuasaan orang lain).
Doa di atas diterjemahkan dengan redaksi yang indah oleh ulama dan sastrawan kharismatik Indonesia, Allahyarham Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Buya Hamka.
Sampai di sini pikiran saya menerawang, merenungi kenyataan dalam kehidupan saya. Tetangga rumah persis di sebelah kanan dan kiri rumah saya adalah pemeluk agama Kristen. Di depan rumah saya adalah tetangga sekaligus kolega saya di kampus yang beragama Islam dengan nuansa Kejawen. Di sebelah kiri tetangga depan rumah adalah keluarga keturunan Tionghoa yang telah memeluk agama Islam sejak beberapa tahun yang lalu.
Alhamdulillah, kami rukun-rukun saja, sama-sama relijius, menjunjung tinggi toleransi, dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan di kampung kami.Â
Teringatlah saya pada apa yang pernah disampaikan oleh almarhum Buya Hamka, "Meskipun pandangan kita berbeda, kita masih bisa bertetangga secara jujur. Karena pada pendirian kami, agama itu tidak bisa dipaksakan. Agama adalah soal petunjuk dan hidayah Ilahi."
***
Di suatu pagi nan dingin ketika menjalani kuliah magister yang kedua di Monash University of Melboune, saya menyepi di Perpustakaan Sir Louis Matheson untuk membaca dan menulis makalah tentang budaya menulis dan membaca di Indonesia.Â
Di tengah kesibukan mencari sumber bacaan, saya iseng membuka arsip-arsip lama majalah terbitan Indonesia dan menemukan foto wajah Buya Hamka saat meninggal.
Saya tertegun lama sekaligus terpesona memandang foto itu. Tampak wajah beliau tersenyum, seolah-olah secuil pemandangan surga telah diperlihatkan sebelum pelupuk mata nan mulia itu tertutup selamanya di dunia.
Seakan-akan beliau telah mendengar Malaikat Maut lembut berkata, "Wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaan-Nya."
Malang-Melbourne, Pandemi Covid-19
@haritsmasduqi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H