IÂ
Sejarah adalah kisah panjang yang merentang dari masa lalu hingga hari ini. Kisah panjang yang menceritakan tentang perjalanan memperjuangkan apa yang dicita-citakan oleh orang-orang yang berani. Berani menerima resiko terburuk, yakni kematian. Karena itu, membaca sejarah atau mendengar tuturan tentang sejarah amat menarik perhatian. Begitu pula dengan sejarah Indonesia, yang menjadi bagian penting dari proses pendidikan untuk para siswa. Tujuannya adalah untuk menanamkan semangat kepahlawanan, menghargai jasa para pahlawan, mengenang betapa sulitnya melawan penjajahan dan memahami perlunya keberanian untuk berkorban apa saja.
Pendidikan sejarah juga memuat catatan penting dan heroik mengenai sosok dan kelompok yang layak dikenang sebagai pejuang, sebagai pahlawan yang amat berjasa bagi lahirnya suatu bangsa dan negara, juga bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan sebagai upaya untuk mensejahterakan rakyat. Catatan penting ini harus tertanam kuat dalam ingatan antar generasi dalam jangka panjang sehingga diperlukan metode yang dianggap istimewa untuk maksud tersebut.
Pada titik ini, segala hal yang dianggap berbeda, berkecederungan mereduksi atau menentang kepentingan tersebut akan disingkirkan tanpa bersisa. Tidak boleh ada nuansa hubungan yang menyisakan ruang perbedaan, sehingga makna tunggal kebenaran harus dimonopoli.
Dalam kaitan itu, kemana penulis dan penutur berpihak menjadi suatu keniscayaan sehingga manipulasi atau ketidakjujuran mengenai sejarah justeru dipercaya sebagai kebenaran.Â
IIÂ
Orde Baru telah berakhir. Soeharto juga telah lengser. Indonesia, katanya, kini sudah memasuki reformasi. Segala macam warisannya dihapus. Sebut saja dwifungsi ABRI. Namun, agaknya masih ada yang luput. Suatu warisan yang dikonsumsi banyak kepala hampir setiap hari di dalam kelas. Peristiwa '65 dan setelahnya. Lebih jelasnya, sejarah tentang PKI.
PKI adalah satu kata yang sangat gaib. Selama 50 tahun lebih, negara mencangkokkan semua sentimen negatif yang mungkin ada terhadap partai ini pada setiap kesempatan yang dipunyainya, melalui segenap teknologi yang dimilikinya.[1] Salah satunya lewat lembaga bernama sekolah. Lewat pelajaran bertajuk sejarah.
Meski Soeharto sudah lengser, tetap saja, kurikulum pendidikan masih menggambarkan PKI kejam, jahat, dan sadis. Peralihan kurikulum relatif tak membawa perubahan. Selama 50 tahun lebih, pelajaran sejarah di sekolah-sekolah masih saja menggunakan narasi Orba yang sengaja dituliskan untuk menyingkirkan PKI. Ia dianggap melakukan kudeta berdarah terhadap pemerintah Soekarno. PKI dianggap membantai para jendral dan membuang jasadnya ke lubang buaya.
Dampaknya? Bukan main! Ribuan orang setiap tahun saat tamat sekolah, membawa pikiran kalau PKI itu sadis dan atheis, maka dari itu harus dibasmi. Setiap kali kata itu beredar, kontan keributan menjalar. Dan, gambaran menyeramkan atasnya juga dilebih-lebihkan. Bahkan, tak masuk akal. Tahun 2017, gedung LBH Jakarta dikepung ribuan massa.Â
Orang-orang kalap ini menduga di dalam gedung itu tengah bersembunyi barang haram bernama PKI. Padahal, waktu itu, LBH Jakarta tengah melangsungkan solidaritas terhadap Dandy Dwi Laksono dan Penggerudukan LBH karena seminar sejarah. Kasus yang terakhir, tebak saja, digeruduk karena ditengarai berupaya membangkitkan lagi PKI. 2018, Mantan Kepala Staf Kostrad menyatakan bahwa PKI tengah bangkit kembali. "Jumlah pengikutnya kini sudah 15 juta. Jika digabung dengan anak cucu dan ditambah para simpatisan, bisa mencapai 60 juta."
Pasca '65, PKI mengalami penghancuran dalam skala yang sukar dipahami. Siapapun yang terindikasi "merah" harus berhati-hati. Seorang istri yang tak tahu-menahu aktivitas politik suami, harus meregang nyawa. Seorang anak mendapati ketika dirinya pulang ke rumah, ayahnya hilang dan tak pernah kembali. Genosida ini, sayangnya, tak pernah dibeberkan terbuka di dalam kelas. Pelajaran sejarah hanya mengajarkan kalau PKI itu barang haram. Harus dicampakkan sejauh mungkin dari pikiran dan ingatan.
Maka, apa yang dimaksud dengan PKI ketika ia disebut-sebut hari ini? Yang paling mungkin, ia adalah hantu. Tak ada namun ada. Tak hadir namun dihadirkan. Ia terus-menerus dibawakan dalam ketiadaanya untuk melegitimasi ataupun mengambil kekuasaan. Komunisme ditunjuk mendalangi kekisruhan demi kekisruhan kendati, pada kenyataannya, kekisruhan bersangkutan tak lain dari buah operasi intelijen untuk memuluskan kemenangan pemilu Soeharto. Pihak-pihak tertentu ditunjuk sebagai komunis agar elektabilitasnya hancur atau gerakannya dapat dibelejeti dengan cepat.[2] Ketakutan terhadap hantu itu kian mengakar saat presiden ikut-ikutan mengajak orang-orang untuk memberantasnya.
Di sekolah, murid-murid, juga tak pernah diberitahu sesungguhnya PKI punya andil dalam pergerakan nasional. Murid-murid tak perlu tahu kalau PKI itu embrionya berasal dari Sarekat Islam pada mulanya. Murid-murid tak perlu tahu kalau PKI adalah organisasi pertama yang berani mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda.[3]Â
Murid-murid juga tak perlu tahu kalau banyak tokoh pendiri Republik ini adalah orang-orang yang menggunakan pemikiran komunis (marxisme) untuk menggerakkan energi perlawanan terhadap penjajah.[4] Pendidikan sejarah sengaja dipenggal sedemikian rupa sehingga yang terdoktrin hanyalah soal watak pemberontakan yang ada dalam ideologi komunis. Karena itu, harus ditumpas sampai ke akar-akarnya.Â
Maka, berkesinambunganlah upaya-upaya pembinasaan apa saja yang berbau komunis, sampai hari ini. Yang terbaru, dua toko buku di Kediri dirazia karena diduga menjajakan buku-buku yang dianggap meresahkan.
III
Sudah dua puluh tahun reformasi bergulir. Sudah lima puluh tahun pula peristiwa '65 berlalu. Sudah saatnya negara berdamai dengan sejarah. PKI, kenyataanya, sudah dibabat habis.Â
Film yang dulu jadi senjata rezim menyerang PKI, juga sudah diakui dibuat sebagai alat propaganda dan minim data. Jadi, buat apalagi terus mendengungkan di kelas-kelas kalau PKI itu kotoran yang mesti dibersihkan? Apa guna membuangnya berulang-ulang ke dalam kegelapan sejarah? Ajaibnya, semakin ia dianggap sebagai kotoran, najis, dan haram maka ia semakin menarik untuk dihidu. Semakin ia dibuang dalam gelap sejarah, ada saja muncul kerlip yang menarik untuk ditelusuri.
Ketidakseimbangan penulisan dan penuturan sejarah akhirnya dicelotehkan terus menerus pada setiap ruang dan waktu yang mungkin. Subjektifitas dibenturkan dengan subjektifitas lainnya sehingga menghasilkan cibiran atas ego yang berlebihan dan cemooh atas rasa takut tanpa alasan. Indoktrinasi digugat sebagai metode yang menghina rasionalitas, membodohkan dan menumpulkan nalar kritis generasi kini dan nanti.
Para pemilik masa depan yang dicekoki dengan subjektifitas dan indoktrinasi mengenai sejarah yang tak seimbang hanya akan jadi generasi sumbang berwatak pembebek.Â
Mustahil bangsa ini menjadi bangsa yang besar karena kelak hanya akan mengikuti pengetahuan yang dituliskan dan dituturkan tanpa boleh mempertanyakan apa pun. Jika meragukan kebenaran sejarah yang tak seimbang itu, maka akan segera dicap sebagai pengikut dan penyebar paham berbahaya. Jadilah mereka murid-murid yang dibayangi rasa takut dan kehilangan kekritisan ketika mendapati hal-hal yang menyimpang dalam penyelenggaraan negara ini.
Â
[1] Geger Riyanto, Paman Gober Jadi Pahlawan Nasional (Yogyakarta: Basabasi, 2018), hal. 145.
[2] Ibid, hal. 139.
[3] Ruth T. McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010)
[4] Geger, op.cit, hal 148-153; Airlangga, dkk, Soekarno, Marxisme, dan Bahaya Pemfosilan (IndoPROGRESS, 2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H