Oleh: Aulia Romadhona Effendi
Paralayang, satu kata yang memberikan percikan asa bagi kami. Seperti banyak manusia  lainnya, kami hanya manusia-manusia yang penasaran akan alam semesta. Beruntungnya,  rasa penasaran tersebut dapat sedikit diobati dengan kegiatan paralayang yang kami jalani  dengan Mapagama sebagai jembatannya. Kami---Dhona, Joanna, Carina, Harits, dan  Hanggara selaku tim gladimadya paralayang yang mengantongi mimpi untuk terbang di  Banda Neira, bersama Fauzi, teman kami dari divisi paralayang Mapagama, berangkat ke  Bogor pada Agustus 2020. Â
Maret 2020, kami latihan paralayang untuk pertama kalinya, kami latihan membuka parasut  sebagai persiapan untuk take off paralayang---atau biasa disebut ground handling---di Jogja.  Pertengahan Maret 2020, pandemi Covid-19 meledak di Indonesia yang kemudian  mengharuskan kami karantina mandiri di kediaman masing-masing. Setelah tertunda  beberapa bulan, Agustus 2020 kami bersama berangkat ke Puncak, Bogor, Jawa Barat setelah  menyamakan agenda dengan Mas Get selaku instruktur kami. Saat itu, aku (Dhona) diberi  amanah sebagai kepala divisi paralayang di Mapagama. Dengan Carina, Harits, dan Fauzi  yang baru pertama kali akan terbang paralayang, aku merasa seperti mengantarkan anak anakku pergi sekolah, rasanya campur aduk!Â
Latihan paralayang kami di Puncak, Bogor tentunya meliputi ground handling yang diselingi  dengan teori mengenai alat-alat yang digunakan dalam kegiatan paralayang, aerodinamika,  airmanship, cuaca, dan segala hal lain terkait paralayang. Selain membagi materi mengenai  paralayang dalam bentuk pdf maupun buku, Mas Get lebih suka mengisi cawan ilmu kami  dengan cara bercerita dan evaluasi kegiatan di sela istirahat kami.Â
Carina dan Harits---serta  Fauzi tentunya---memiliki target untuk melaksanakan first jump atau penerbangan solo  pertama mereka pada kegiatan kami kali ini. Sedangkan aku dan Joanna yang telah  mendapatkan sertifikasi pilot paralayang sebagai novice pilot atau PL1, bertugas untuk  mendampingi teman-teman yang hendak terbang untuk pertama kalinya dan ikut berproses  dalam kegiatan manajemen.Â
Hanggara selaku pendamping teknis dalam tim kami juga ikut  berpartisipasi untuk memberikan evaluasi dan mengontrol kegiatan kami, khususnya dalam  bidang teknis. Sayangnya, Mas Mike, pendamping manajemen tim kami tidak dapat turut  hadir karena kesibukan akademiknya. Â
Suhu di Puncak memang dingin, namun terik mataharinya begitu menyengat, dan cukup  membakar kulit kami yang latihan ground handling dari pagi hingga sore. Setelah beberapa  hari latihan take off dengan metode alpine launch dan reverse launch, tahap selanjutnya ialah  latihan terbang dari Bukit 10, yakni bukit di area landing dengan ketinggian sekitar 15 meter  yang cukup untuk latihan take off, kontrol parasut selama beberapa detik, dan landing. Perjuangan kami makin terasa disini. Selain kulit yang menggelap, luka-luka dan lebam-
lebam juga kami bawa pulang pasca latihan. Herannya, hal-hal tersebut tidak membuat kami  malas untuk latihan, justru rasa penasaran mengenai paralayang makin menggebu. Well, a  smooth sea never made a skilled sailor, right?Â
Sebagai kadiv waktu itu, melihat perjuangan teman-teman dari mulai ground handling, jatuh  bangun di Bukit 10, hingga akhirnya dapat terbang dari Bukit 250, perasaanku begitu campur  aduk, tentunya dengan rasa bahagia, haru, dan bangga yang mendominasi. Mungkin rasanya Â