Hujan rintik-rintik membasahi jalan setapak menuju gereja tua Paroki X. Lukas berdiri di depan pintu utama, memandang altar yang kosong dari kejauhan. Di sana, kenangan-kenangan masa lalu berkelebat: tawa adik-adik misdinar, langkah teratur menuju altar, dan lantunan doa yang khusyuk. Tetapi kini, semua itu terasa jauh.
"Lukas? Apa yang kamu lakukan di sini?" suara lembut namun ragu membuyarkan lamunannya. Pastor Rafael berdiri di belakangnya, membawa payung kecil yang hampir tidak melindungi bahunya dari hujan.
"Hanya melihat-lihat, Pastor," jawab Lukas, tersenyum tipis.
"Masuklah. Kita bicara di dalam."
Di ruang tamu pastoran yang sederhana, Lukas menceritakan kekhawatirannya.
"Organisasi ini berbeda sekarang, Pastor. Kekhusyukan hilang. Adik-adik tidak lagi memahami makna pelayanan. Tapi, setiap kali saya mencoba membantu, saya merasa seperti orang asing."
Pastor Rafael menghela napas panjang. "Saya tahu, Lukas. Saya juga merasakan itu. Tapi masalahnya, para pengurus saat ini -- terutama mereka yang senior seperti Tante Margaretha dan Pak Yosef -- merasa tidak nyaman jika ada perubahan besar."
"Jadi, apa yang bisa kita lakukan?" tanya Lukas, nada suaranya mulai menunjukkan ketegangan.
"Saya punya ide," kata Pastor Rafael, matanya menatap Lukas dengan penuh keyakinan. "Bagaimana jika kita buat program pelatihan khusus? Pelatihan ini akan memulihkan tata gerak liturgi dan kedisiplinan yang dulu pernah kamu tanamkan. Kamu bisa terlibat secara informal, tanpa jabatan resmi. Dengan begitu, kita tidak terlalu menarik perhatian."
Lukas tersenyum samar. "Itu ide yang bagus. Tapi, apakah pengurus saat ini akan setuju?"
"Kita jalankan sebagai bagian dari pembinaan rutin, bukan perubahan besar. Kalau dimulai perlahan, mungkin mereka tidak akan merasa terancam," jelas Pastor Rafael.
Dalam beberapa minggu, rencana itu mulai berjalan. Lukas hadir di pertemuan-pertemuan kecil, memberikan pelatihan tentang makna pelayanan, tata gerak liturgi, dan kedisiplinan. Para anggota muda mulai menunjukkan perubahan. Mereka tampak lebih antusias dan terarah.
Namun, desas-desus mulai menyebar. Tante Margaretha, salah satu senior, berbicara di pertemuan pengurus.
"Saya mendengar Lukas terlibat lagi. Apakah ini keputusan yang bijak?" tanyanya tajam.
"Dia tidak mengambil jabatan apa pun, Tante," jawab Clara, pengurus muda yang mendukung Lukas. "Dia hanya membantu adik-adik memahami tugas mereka."
"Tetap saja. Dengan reputasinya, kita harus berhati-hati. Bagaimana jika ada masalah di kemudian hari?"
Pak Yosef mencoba menenangkan suasana. "Mari kita lihat hasilnya dulu. Jika memang ada manfaat, bukankah kita semua diuntungkan?"
Beberapa hari kemudian, Pastor Rafael menerima surat dari keuskupan. Wajahnya tegang saat mengumumkannya di hadapan para pengurus.
"Saya dipindahkan ke Paroki Y. Ini berarti kita harus mencari moderator baru untuk misdinar."
Semua terdiam. Berita itu mengejutkan. Bahkan Lukas yang diam-diam hadir di belakang gereja merasa terpukul.
Setelah misa malam itu, Pastor Rafael mendekati Lukas di luar gereja.
"Maafkan saya, Lukas. Saya ingin sekali memperbaiki ini semua bersama kamu, tapi waktu saya sudah habis di sini. Kamu harus melanjutkan apa yang sudah kita mulai," katanya dengan nada penuh harap.
Lukas terdiam, lalu menjawab pelan. "Mungkin ini tanda, Pastor. Tanda bahwa saya harus melangkah perlahan. Tapi saya akan tetap mendukung adik-adik dari jauh, meskipun tidak sebagai pendamping resmi."
Pastor Rafael menepuk bahunya. "Tuhan selalu punya rencana, Lukas. Percayalah, usaha kecilmu tidak akan sia-sia."
Waktu berlalu. Organisasi misdinar tetap dalam kebingungan. Pastor baru yang ditugaskan menggantikan Pastor Rafael belum menunjukkan arah yang jelas. Sementara itu, Lukas memutuskan untuk terus melayani dalam diam -- bukan sebagai pendamping resmi, tetapi sebagai saudara tua yang sesekali hadir memberi dukungan kecil.
Suatu malam, saat Lukas berjalan pulang dari gereja, ia mendengar lonceng berdentang. Dalam gemanya, ia merasa seolah Tuhan berbicara: "Tidak semua perubahan harus dimulai dengan revolusi besar. Kadang, kehadiran yang sederhana adalah awal dari segalanya."
Dengan hati yang tenang, Lukas melangkah pergi, membawa harapan bahwa suatu hari nanti, organisasi yang ia cintai akan menemukan jalan kembali. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI